WELCOME

SELAMAT BERKUNJUNG DI GURU BAHASA INDONESIA SMKN 10 MALANG SEMOGA DAPAT BERMANFAAT"

Minggu, 18 Januari 2015

Keunggulan Dan Kelemahan Linguistik Fungsional dalam Bahasa Indonesia



           Linguistik fungsional dipelopori oleh Roman Jakobson dan Andre Martinet, kehadirannya sangat berarti dalam upaya menjembatani kesenjangan (gap) antara linguistik struktural Amerika dan Eropa. Linguistik struktural (Eropa) banyak dipengaruhi oleh gagasan fungsi-fungsi linguistik yang menjadi ciri khas aliran Praha. Trubeckoj terkenal mengembangkan metode-metode deskripsi fonologi, maka R. Jakobson terkenal karena telah menyatakan dengan pasti pentingnya fonologi diakronis yang mengkaji kembali dikotomi-dikotomi F. de Saussure antara lain dikotomi yang memisahkan dengan tegas sinkronis dan diakronis.
          Andre Martinet banyak mengembangkan teori-teori aliran Praha. Dengan tulisannya tentang netralisasi dan segmentasi. Pikiran-pikirannya telah memperkaya dan mengembangkan studi linguistik, terutama fonologi deskriptif, fonologi diakronis, sintaksis, dan linguistik umum, disamping ia menerapkan metode dan linguistik modern dengan menaruh perhatian yang luar biasa pada kenyataan bahasa aktual.
Gagasan Jakobson merupakan pengembangan dari pemikiran-pemikiran aliran Praha. Selain fungsi linguistik sebagai ciri khas sekolah Praha, ia juga menyoroti fungsi-fungsi unsur tertentu dan fungsi-fungsi aktivitas linguistik itu sendiri. Jakobson memandang suatu tindak linguistik dari enam sudut, yaitu (1) dalam hubungan dengan pembicara, (2) pendengar, (3) konteks, (4) kontak, (5) kode, dan (6) pesan. Sehingga ia menemukan enam fungsi, yaitu:
1.    Ekspresif, berpusat pada pembicara, yang ditujukan oleh interjeksi-interjeksi;
2.    Konatif, berpusat pada pendengar, yang ditujukan oleh vokatif dan imperative;
3.    Denotative, berpusat pada konteks, yang ditujukan oleh pernyataan-pernyataan faktual, dalam pelaku ketiga, dan dalam suasana hati indikatif;
4.    Phatic, berpusat pada kontak, yang ditujukan oleh adanya jalur yang tidak terputus antara pembicara dan pendengar. Misalnya, dalam pembicaraan melalui telefon, kata-kata ‘hello, ya..ya…, heeh’ yang dipergunakan untuk membuat jelas bahwa seseorang masih mendengarkan dan menunjukan jalur percakapan tidak terputus;
5.    Metalinguistik, berpusat pada kode; yang berupa bahasa pengantar ilmu pengetahuan, biasanya berisi rumus-rumus atau lambang-lambang tertentu;
6.    Puitis, berpusat pada pesan.
    Selanjutnya gagasan dan pandangan Jakobson lain adalah telaah tentang aphasia dan bahasa kanak-kanak. Aphasia yang dimaksud adalah gejala kehilangan kemampuan menggunakan bahasa lisan baik sebagian maupun seluruhnya, sebagai akibat perkembangan yang salah. Gangguan afasik dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1.    Similarity disorders, yang mempengaruhi seleksi dan subtitusi item, dengan stabilitas kmbinasi dan konsstektur yang bersifat relative.
2.    Contiguity disorders, yang seleksi dan subtitusinya secara relative normal sedangkan kombinasi rusak dan tidak gramatikal, urutan kata kacau, hilangnya infleksi dan preposisi, konjungsi, dan sebagainya
          Jakobson juga menekankan pentingnya korelasi-korelasi fonologis sebagai seuntai perbedaan-perbedaan arti yang terpisah.  Menurut buku Jakobson dan Halle Fundamentals of Language, 1956, menyatakan ciri-ciri expressive, configurative, dan distinctive:
1.    Expressive, meletakan tekanan pada bagian ujaran  yang berbeda atau pada ujaran yang berbeda; menyarankan sikap emosi pembicara;
2.    Configurative, menandai bagian ujaran ke dalam satuan-satuan gramatikal, dengan memisahkan ciri kulminatif satu persatu, atau dengan memisahkan membatasinya (ciri-ciri demarkatif);
3.    Distinctive, bertindak untuk memperinci satuan-satuan linguistik, dimana ciri-ciri itu terjadi secara serempak dalam untaian, yang berujud fonem.
          Fonem-fonem dirangkaikan ke dalam urutan; pola dasar urutan serupa itu berujud suku kata. Dalam setiap suku kata terdapat bagian yang lebih nyaring yang berupa puncak. Bila puncak itu berisi dua fonem atau lebih, maka salah satu daripadanya adalah puncak fonem atau puncak suku kata.

          Tokoh lain dalam linguistik fungsional adalah Andre  Maertinet, ia juga  mengembangkan  teori-teori Sekolah Praha.  Pikiran-pikiran Martinet mengenai fonologi deskriptif, fonologi diakronis, sintaksis, dan linguistik umum merupakan sumbangan pemikiran bagi linguistik modern. Fonologi sebagai fonetik fungsional harus berdasarkan fakta-fakta dasar atau mengetahui fungsi-fungsi perbedaan bunyi bahasa sebagaimana mestinya.
          Martinet mencurahkan perhatian pada fonologi diakronis, dengan mencoba membuat deskripsi murni, dimana fonologisasi dan defonologisasi direkam, disertai keterangan tentang perubahan-perubahan menurut prinsip-prinsip umum. Kriterium interpretasi dasar diberikan oleh dua unsur yang berlawanan:
(1) efisiensi dalam komunikasi, dan
(2) tendensi pada upaya yang minimum.
          Ia juga menyatakan analisis fonem ke dalam ciri-ciri distingtif mengungkapkan adanya korelasi-korelasi, dimana sebuah fonem yang terintegrasi dalam untaian korelatif akan menjadi stabil. Ia telah mengembangkan gagasan artikulasi rangkap yang menarik. Ucapan bahasa pertama-tama melalui suatu artikulasi dalam monem-monem yang berupa unit-unit dasar gramatis yang oleh para linguis Amerika disebut morphem. Sejumlah ujaran yang tak terbatas dapat diidentifikasikan oleh monem-monem yang terbatas jumlahnya. Setiap artikulasi melibatkan ekspresi dan isi. Monem adalah satuan dwimuka: ekpresi dan isi. Bagi Martinet, konsep dasar analisis fonologi yaitu fonem sedangkan bagi Jakobson yaitu ciri distingtif.
          Martinet juga menerapkan wawasan fungsionalnya pada sintaksis, dan telah mensintesakan teori-teorinya itu dalam tulisan-tulisan yang ringkas dan seimbang:  Elements of General Linguistics, dan A Functional View of Language.  Didalam karya tersebut  dirumuskan dengan jelas perbedaan antara (i) monem fungsional, seperti preposisi, kasus akhiran, yang konetif dan centrifugal yang menunjukkan adanya hubungan diantara satu unsur dengan bagian ujaran; dan (ii) monem pengubah, seperti satuan gramatikal artikel yang centripetal; nilai tunggal atau jamak dan unsur-unsur yang dibutuhkan.
          Martinet juga menggarisbawahi juga fungsi sintaksis sebagai gagasan yang sentral. Gagasannya ini berupa kelanjutan wawasan fungsional yang telah disarankan oleh Sekolah Praha. Fungsi-fungsi bahasa dan fungsi-fungsi unsur linguistik sebagai suatu sistem unsur-unsur atau struktur unsur-unsur, dipelajari untuk menjelaskan perbedaan bahasa dengan sistem tanda buatan yang mungkin distrukturkan dalam suatu cara yang sama tetapi tak dapat memiliki fungsi-fungsi yang sama seperti bahasa. Bagaimanapun pandangan struktural itu dapat dirujukkan kembali dengan pandangan fungsional, meskipun hal itu bagi Martinet adalah pelengkap logisnya. Pilihan nama fungsional sebagai pengganti struktural, menunjukkan bahwa aspek fungsional adalah paling membuka pikiran, dan bahwa hal itu tidak mesti dipelajari secara terpisah dari yang lain.
          Pada khasanah kebahasaan, bila memahami gagasan dan pandangan linguistik Fungsional, maka aliran ini sangat mempengaruhi tata bahasa dalam khasanah perkembangan linguistic sebelumnya, sekaligus membuka cakrawala baru agar aspek fungsional menjadi pertimbangan penelitian bahasa. Dengan menelurkan istilah fungsional, praktis landasan yang digunakan dalam melihat bahasa berdasarkan fungsi, khususnya tataran fonologi, morfem, dan sintaksis. Keunggulan aliran ini adalah kita dapat mengetahui bahwa setiap fonem (bunyi) itu memiliki fungsi, sehingga dapat, membedakan arti. Setiap monem (istilah Martinet) yang diartikulasikan memiliki isi dan ekspresi, dengan begitu dapat dilihat fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar yaitu sintaksis, aliran ini menekankan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat, maksudnya unsur linguistik dalam sebuah kalimat dapat dijelaskan dengan merujuk pada fungsi sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi, aliran ini telah berhasil melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi dan menginspirasi gagasan adanya relasi antara struktur dan fungsi bahasa.
          Sementara dalam dunia sastra, gagasan Jakobson tentang enam fungsi bahasa menjadi pijakan dalam menelaah karya sastra. Idenya tersebut melahirkan istilah model komunikasi sastra, yang memusatkan pada pesan yang terkandung dalam karya sastra. Model ini banyak diadopsi untuk menggali fungsi bahasa dalam wacana baik wacana ilmiah maupun non ilmiah, sastra maupun non sastra.  
          Dalam kebahasaan, aliran ini tentunya memiliki beberapa titik lemah,diantaranya gagasan fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen fungsional untuk menentukan makna dalam penelitian bahasa, seperti pada tataran sintaksis hanya menyebutkan adanya fungsi dalam setiap struktur bahasa, namun tidak menjelaskan terminologi apa saja yang tercakup di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun kalimat yang benar berdasarkan fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada tataran fonologi dan morfologi. Jadi, kelemahan aliran ini adalah tidak mampu menguraikan fungsi unsur linguistik lebih rinci, khsususnya . pada tataran sintaksis. Dalam struktur kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan komponen apa saja yang tercakup dalam aspek fungsional pada kalimat. Sebagaimana kita ketahui ada fungsi lain dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi pragmatis.
          Sementara dalam dunia sastra, fungsi bahasa yang dinyatakan oleh Jakobson, ketika diterapkan dalam menganalisis karya sastra memiliki kekurangan. Model komunikasi sastra Jakobson tidak memperhatikan potensi kebahasaan yang lain. Model mengabaikan relevansi sosial budaya. Padahal, sosial budaya memainkan peranan penting dalam memahami makna bahasa, terlebih dalam karya sastra karena di dalamnya melibatkan aspek sosio cultural yang sangat kental. Mengacu pada model komunikasi sastra, karya sastra hanya bertumpu pada pesan yang disampaikan, padahal pemahaman karya sastra sangat tergantung pada pemahaman pembaca. Adanya unsur keterkaitan intertektualitas dan intratekstualitas dalam memahami karya sastra perlu diperhatikan, karena setiap karya sastra tidak ada yang berdiri sendiri. 
          Lalu, bagaimana aplikasi aliran ini dalam bahasa Indonesia? Ketika berbicara fungsi maka kita harus memahami konsep fungsi dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bisa jadi konsep yang ditawarkan oleh aliran ini tidak dapat diserap dalam semua bentuk, struktur dan fungsi sesungguhnya dalam bahasa Indonesia. Sebagian kita dapat memperhatikan contoh berikut ini:

Fonologi
Morfologi
Sintaksis
/b/, /a/, /k/, /u/
/p/, /a/, /k/, /u/
Me + tulis
Pe + tulis
Letusan Gunung Merapi itu telah menewaskan 200 orang.

I.           Jika dilihat dari contoh fonologi, penggunaan fonem /b/ pada kata dan /p/ pada tidak mempunyai makna. Namun karena diposisikan bersama sebagai pasangan minimal (minimal pairs), dimana keduanya daerah artikulasi yang sama yakni bilabial, maka penggunaan fonem /b/ dan /p/ menjadi memiliki fungsi pembeda makna.
II.           Dari aspek morfologi dapat dilihat contoh penggunaan awalan Me- dan Pe-. Awalan me-tulis dan pe-tulis memiliki fungsi pembeda. Me-tulis menjadi ‘menulis’ sebagai kata kerja dan pe-tulis menjadi ‘penulis’. Penggunaan morfem bebas atau kata dasar yang sama namun didahului oleh morfem terikat yang berbeda maka fungsinya pun menjadi berbeda.
III.           Selanjutnya dari tataran sintaksis, kalimat tersebut memiliki struktur yang benar. Jika disegmentasikan kalimat itu menjadi /letusan gunung Merapi/, /menewaskan/, dan /200 orang/.  
      Pemenggalan struktur kalimat dilakukan berdasarkan fungsi masing-masing unsur.  Kemudian penerapan fungsi bahasa menurut Jakobson dapat kita aplikasikan dalam analisis wacana baik berupa teks maupun non-teks. Penerapan aliran fungsional dalam bahasa Indonesia tidak sepenuhnya dapat diterima. Selain adanya konsep bahasa yang berbeda, namun juga sulit mencari padanan istilah dalam bahasa Indonesia. Namun demikian aliran ini sangat mempengaruhi dalam perkembangan tata bahasa bahasa Indonesia. Dengan mengenal fungsional maka kita mengetahui fungsi bahasa bukan hanya sebagai sistem ‘langue’ (istilah Sassure), tetapi juga dalam bentuk tuturan ‘parole’.
          Dalam ranah kesusasteraan, enam fungsi bahasa dapat dimanfaatkan untuk menelaah karya sastra. Model komunikasi sastra yang lebih dikenal dengan model komunikasi Jakobson dapat digunakan dalam kajian, puisi, novel, drama, dan hal lain yang menggunakan bahasa. Jadi, sebagai pijakan awal dalam mengkaji bahasa baik dalam sastra mapun linguistik, enam fungsi bahasa dapat diterapkan dalam analisis bahasa Indonesia. Kendati demikian, sangat diperlukan adanya pengembangan konsep dan gagasan yang dapat menjawab problematika kebahasaan secara tuntas.
Ø    Baik Jakobson maupun Martinet menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang bermakna yang memiliki fungsi. Bahasa merupaka semiotika sosial. Kirsten (1991:160)
Ø    Linguistik Fungsional merupakan gerakan linguistik yang beranggapan bahwa struktur fonologis, gramatikal dan semantic ditentukan oleh fungsi yang dijalankan oleh masyarakat dan bahwa bahasa itu sendiri memfunyai fungsi yang beraneka ragam.Kridalaksana (2008:68)
Ø    Gagasan-gagasannya merupakan pengembangan dari Aliran Praha.
Ø    Daya tarik pemikiran fungsionalisme ini diadopsi oleh pemikiran-pemikiran dan gagasan linguistik selanjutnya, seperti MAK Halliday.

Daftar Rujukan
1)       Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Gramedia. Jakarta.
2)       Kirsten, Malkmajaer. 1991. The Linguistics Encyclopedia. Routledge. London & New York.
3)       Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik. Dikbud. Jakarta.



Tatabahasa Transformasi



            , Adanya pengaruh strukturalisme mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1957, Noam Chomsky,  seorang guru besar dalam bahasa-bahasa  modern di Institut Teknologi    Massachusetts   menerbitkan  bukunya yang berjudul Syntactic Structures.  Noam Chomsky memberikan pengaruh  besar  tentang teori sintaksis pada abad 20.  Bukunya  yang  terkenal adalah Syntactic Structure (1957), Aspects of the Theory of Syntax (1965) dan Lectures on Government and Binding (1981). 
            Chomsky  menentang kebanyakan  asumsi  dasar  tentang  tatanan linguistik;  Ia mengemukakan  kritikan-kritikan  tajam terhadap pendekatan strukturalis  mengenai telaah bahasa, kritikan-kritikan yang mencakup tuduhan-tuduhan umum bahwa keseluruhan  teori strukturalis dibangun di atas asumsi-asumsi yang keliru hingga kepada penolakan metode-metode strukturalis khusus, seperti teknik pengumpulan data yang taksonomis serta prosedur penemuan (discovery procedures).
            Pada awalnya Chomsky juga termasuk golongan strukturalis namun karena dia tidak puas dengan teori struktural ia membangun dan mengembangkan tata bahasa struktur frasa(Phrase-structure grammar) bersama gurunya, Zellig Harris, Tetapi kemudian, ia tidak puas dengan teori struktural. Menurutnya teori struktural tidak mampu memecahkan masalah kebahasaan,  utamanya sintaksis. 
            Metode linguistik struktural yaitu metode induktif dianggap tidak mampu menjangkau fakta-fakta sintaksis. Asumsi struktural tidak mudah menjelaskan fakta bahwa bahasa mempunyai kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
            Selain itu, metode linguistik struktural tidak mampu menjelaskan hubungan-hubungan internal dalam kalimat, atau hubungan-hubungan yang dimiliki kalimat-kalimat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Juga tidak mampu menangani kalimat-kalimat yang ambigu dan taksa. Karena ambiguitas bukan berasal dari kata-kata tersebut melainkan berasal dari struktur kalimat.
            Sehubungan dengan ketidakmampuan teori linguistik struktural untuk memecahkan berbagai masalah kebahasaan tersebut, maka Chomsky memperkenalkan teori tata bahasa generatif transformasional (TGT). Teori TGT ini terinspirasi oleh paham dari  Panini, Plato, Rene Descartes (1674), Cesar Chesneau, (1729), Denis Diderot (1751), James Beattie (1788). Teori TGT berlandaskan pada kriteria ilmiah yaitu keajegan-diri (self-consistency), kesederhanaan-kehematan (economy), dan ketuntasan (Samsuri dalam Aminuddin, 1990:55) Unsur struktur frase terdiri dari sebuah aturan struktur frase yang membentuk tradisional dari analisis struktur konstituen.

Prinsip-prinsip TGT
Menurut Chomsky (1965-3-90, teori sintaksis TGT adalah teori tentang kompetensi. Kompetensi adalah pengetahuan penutur asli mengenai bahasanya, sedang performasi adalah pemakaian bahasa yang sesungguhnya dalam situasi-situasi nyata. Untuk menelaah performasi linguistik kita harus mempertimbangkan interaksi beberapa faktor.
1.  Kompetensi  penutur-pendengar.
Teori linguistik bersifat mentalistik karena teori ini berurusan dengan penemuan mental yang mendasari tingkah laku. Singkatnya tata bahasa berusaha memberikan kompetensi intrinsik penutur-pendengar. 
2.  Bahasa bersifat kreatif dan inovatif.
Dengan kreativitas bahasa dimaksudkan kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat baru, yakni kalimat yang mempunyai persaman dengan kalimat yang umum. Penutur mampu menghasilkan dan memahami dan menghasilkan kalimat tersebut dan memberikan pertimbangan apakah kalimat-kalimat tersebut berterima atau tidak. Sifat inovatif suatu bahasa berarti bahwa kebanyakan baru bukan ulangan dari ujaran sebelumnya.
3.  TGT adalah seperangkat kaidah yang memberikan pemerian-pemerian  gramatikal kepada kalimat.
            Tujuan linguis, yang berusaha untuk menjelaskan aspek kreatif dari kompetensi gramatikal, yakni memformulasikan seperangkat kaidah pembentukan kalimat (kaidah sintaksis), kaidah penafsiran kalimat (kaidah semantis), dan kaidah fonologis (kaidah fonologis). Jadi mempelajari suatu bahasa berarti menelaah seperangkat kaidah sintaksis, kaidah semantis, dan kaidah fonologis.
4.  Bahasa adalah cermin fikiran.
Menurut Chomsky (1972:102) terdapat sejumlah pertanyaan yang menuntun seseorang melakukan telaah bahasa. Telaah bahasa akan menjelaskan sifat-sifat pikiran manusia yang mendasar.
            Menurut Akmajian dkk. (1984; 5-7), asumsi-asumsi dasar TGT adalah sebagai berikut :
1.  Bahasa manusia pada semua tingkatan dikuasai oleh kaidah. Setiap bahasa kita ketahui mempunyai kaidah sistematis yang menguasai pengucapan, pembentukan kata, dan konstruksi gramatikal.  Yang dimaksud dengan kaidah adalah kaidah deskriptif. Yaitu kaidah yang memberikan bahasa yang sesungguhnya dari kelompok penutur tertentu. Kaidah deskriptif sebenarnya mengungkapkan generalisasi dan keteraturan tentang berbagai aspek bahasa.
2.  Bahasa manusia yang beraneka ragam itu membentuk suatu fenomena yang menyatu. Para linguis mengasumsikan bahwa adalah mungkin menelaah bahasa manusia pada umumnya dan bahasa tertentu untuk mengungkapkan ciri-ciri bahasa yang semesta. Secara lahiriah bahasa manusia sangat berbeda-beda, namun secara batiniah bahasa tersebut memiliki ciri-ciri kesemestaan. Semua bahasa memiliki tingkat kerumitan yang sama. Tidak ada bahasa yang bersahaja.
3.  Tujuan akhir linguistik bukanlah semata-mata untuk memahami bagaimana bahasa itu terbentuk dan bagaimana berfungsinya, semakin banyak memahami tentang bahasa manusia, semakin banyak pula memahami tentang proses pikiran manusia, Karena telaah bahasa pada hakikatnya adalah telaah pikiran manusia.

Konsep-konsep Dasar TGT
Konsep-konsep dasar yang dibahas dalam teori sintaksis struktural juga berlaku bagi teori sintaksis TGT, sehingga tidak perlu lagi dibahas lagi. Namun ada konsep-konsep dasar khusus bagi teori sintaksis TGT, antara lain:
1.    Kompetensi
Teori linguistik utamanya berurusan dengan penutur-pendengar yang ideal, dalam suatu masyarakat yang homogen secara keseluruhan, yang mengetahui bahasa dengan sempurna dan tidak dipengaruhi oleh kondisi-kondisi gramatikal yang tidak relevan seperti keterbatasan ingatan,  gangguan, perubahan  perhatian dan  minat serta kesalahan.
Kompetensi merujuk kepada kemampuan penutur-pendengar yang ideal untuk mengasosiasikan bunyi dengan makna sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa (Chomsky, 1972a:116)
Kompetensi adalah pengetahuan penutur akan bahasanya, sistem kaidah yang dikuasainya dan yang menentukan hubungan antara bunyi dan makna bagi kebanyakan kalimat. Tentunya orang yang mengetahui suatu bahas dengan sempurna memiliki sedikit atau tidak sama sekali pengetahuan yang didasari tentang kaidah-kaidah yang digunakannya secara terus-menerus dalam berbicara atau menyimak, menulis atau membaca.

2.    Performansi
Performansi penutur atau pendengar adalah suatu hal yang kompleks yang mencakup banyak faktor. Satu faktor fundamental yang tercakup dalam performansi penutur pendengar adalah pengetahuannya akan tata bahasa yang menentukan hubungan intrinsik antara bunyi dan mana setiap kalimat. Kita merujuk kepada pengetahuan ini sebagai kompetensi penutur-pendengar.

3.    Struktur  Batin  dan  Struktur Lahir
Istilah struktur batin digunakan untuk merujuk pada representasi mental yang mendasari suatu ujaran. Struktur lahir bersesuaian dengan bunyi, yaitu aspek fisik bahasa; tetapi ketika signal dihasilkan dengan struktur lahirnya, maka di situ berlangsung analisis mental yang sesuai dengan apa yang disebut dengan struktur batin.
Struktur lahir terdiri atas kalimat-kalimat aktual dari bahasa yang bersangkutan, yaitu kalimat-kalimat yang sesungguhnya dihasilkan oleh para penutur.

4.    Kaidah struktur frasa
Kaidah struktur frasa adalah serangkaian pernyataan yang menjelaskan tentang urutan unsur-unsur yang mungkin  dalam suatu kalimat  atau  kelompok  kata. 
Brown dan Miller (1982: 15-16) menyatakan  bahwa ada dua jenis kaidah struktur frasa (KSF) yaitu :
(1) KSF bebas konteks (context free phrase structure rule) dan
(2)  KSf sensitif konteks (context sensitive  phrase  structure rule). 

KSF bebas konteks mempunyai bentuk  X  Y yang menyatakan bahwa apa pun konteks dari X, yaitu lambang apapun yang terdapat di sebelah kiri dan/atau  di sebelah kanan , X  tetap ditulis Y, sedangkan KSF sensitive  konteks  mempunyai  bentuk X Y/-Z, atau  X  Y/Z atau    X    Y/Z-W.
Bentuk pertama menyatakan bahwa X menjadi Y jika X langsung muncul di sebelah kanan Z; bentuk kedua menyatakan bahwa X menjadi Y jika X langsung di sebelah kiri Z.

5.    Organisasi TGT
Chomsky (1965: 15-18) mengemukakan bahwa TGT merupakan sistem kaidah yang dapat digunakan untuk menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
Sistem kaidah ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu:
o  Komponen sintaksis
o  Komponen fonologis
o  Komponen semantis
Untuk menegaskan hubungan antara sintaksis dan semantik. Dalam  Syntactic Structures  Chomsky menekankan otonomi sintaksis  dengan pertimbangan semantik, ia menggambarkan bahasa harus mempunyai makna untuk menunjukkan hubungan sintaksis dan semantik. Yang kedua Chomsky tertarik terhadap aturan bahasa formal dan kenyataan untuk mengembangkan variasi tata bahasa formal.

CATATAN:
1. Tokoh: Noam Chomsky 1928
2.  Ide tentang Bahasa:
Competence – performance
Deep structure – surface structure
Transformational- generative grammar
o  Produktivitas dan kreativitas bahasa
o  Struktur kalimat yang tak terbatas
o  Mengandung keformalan dan eksplisit
o  Bahasa adalah kombinasi unsur-unsur dasar (fonem, morfem, kata) yang diizinkan dan tepat (well-formed)
o   Bahasa dapat dianalisis dengan tiga komponen yaitu sintaksis, fonologi dan semantik