WELCOME

SELAMAT BERKUNJUNG DI GURU BAHASA INDONESIA SMKN 10 MALANG SEMOGA DAPAT BERMANFAAT"

Selasa, 31 Mei 2016

Keistimewaan Media Pembelajaran BAEPUB dengan jenis Epub yang lain seperti Mov, E-book, dsb

Sekedar info buat yang belum memahami bedanya E book ayau epub selain produk sigil adalah kau epub video (mov) ya hanya video yang dapat dibaca. E book dari pdf atau konvert epub ya hanya teks yang dapat kita baca di andtoid atau laptop. Akan tetapi sigil dapat menggabung audio musik, video dan teks. Inilah keistimewaan Media Pembelajaran BAEPUB, sehingga dapa melayani kecerdasa spasial , musikal, sekaligus kecerdasan linguistic(amstrong,2003:2-3)
Media yang inovatif dalam kenyataan dalam presentasi atau naskah KTI-nya menjadi idak inovatif kalau pendekatan, jauh tertinggal dari  kurikulum terbaru. hal ini tampak pada langkah-langkah yang mereka tunjukkan. Hal ini bisa jadi dikarenakan kreteria yang menjari penilaian tidak ada yang menyangkut pembelaran inovatof itu sendiri yang sesuai dengan Kurikulum 2013



TATABAHASA FUNGSIONAL



Tata Bahasa Fungsional (Functional Grammar) merupakan nama sekumpulan teori linguistik yang secara umum dapat digolongkan ke dalam linguistik fungsional (linguistic functionalism), termasuk di dalamnya functional discourse grammar yang dikembangkan oleh linguis Belanda Simon Dik dan systemic functional grammar yang dikembangkan oleh linguis Inggris Michael A. K. Halliday.
            Secara umum, tata bahasa fungsional (TBF) adalah teori yang berusaha menjelaskan susunan bahasa alamiah dari segi fungsionalitasnya. Karena hal itulah, maka pengembangan teori ini memusatkan perhatiannya pada tiga hal yang saling berkait, yaitu:
(1) fungsionalitas bahasa alamiah,
(2) fungsionalitas relasi yang terjadi pada berbagai tingkatan susunan tata bahasa, dan
(3) sasaran yang ingin dicapai, yaitu keterpakaian teori ini sebagai alat analisis atas berbagai aspek bahasa dan pemakaian bahasa.

            Untuk merealisasikan hal-hal di atas, pengembangan teori-teori TBF harus memenuhi tiga standar kecukupan, yaitu:
1. Kecukupan tipologis. Artinya, aturan dan prinsip-prinsip teori ini harus dapat diterapkan dalam bahasa alamiah manapun.
2. Kecukupan pragmatis. Artinya, rumusan apapun yang dikemukakan oleh teori ini harus dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana ungkapan-ungkapan kebahasaan dapat secara efektif dipakai dalam interaksi komunikatif.
3. Kecukupan psikologis. Artinya, apapun yang dikemukakan oleh TBF harus sesuai dengan hal-hal yang telah diketahui mengenai mekanisme pemrosesan psikologis yang terjadi dalam pemakaian bahasa alamiah.
            Karena gagasan mengenai fungsionalitas menempati posisi yang sangat penting dalam TBF, maka aturan dan prinsip-prinsip TBF dirumuskan dalam terma-terma fungsional. Dalam TBF ada tiga tingkatan fungsi yang menjadi pokok perhatian, yaitu:
1. Fungsi Semantik (Pelaku [Agent], Pasien [Patient], Penerima [Recipient], dsb.). Fungsi ini mendefinisikan peranan yang dimainkan oleh peserta dalam suatu peristiwa atau perbuatan sebagaimana ditunjukkan oleh predikat.
2. Fungsi Sintaktik (Subjek dan Objek). Fungsi ini mendefinisikan bagaimana sudut pandang suatu peristiwa atau perbuatan diwujudkan dalam ungkapan-ungkapan kebahasaan.
3. Fungsi Pragmatik (Tema dan Ekor [Tail], Topik dan Fokus). Fungsi ini mendefinisikan status informasi konstituen ungkapan-ungkapan kebahasaan dan menghubungkan ungkapan-ungkapan yang ada dalam diskursus/wacana yang sedang berlangsung itu dengan status Pengujar (Speaker) dan Penerima Ujaran(Addressee) dalam interaksi verbal yang sedang berlangsung.
            Agar dapat digunakan sebagai alat  analisis atas berbagai aspek bahasa dan penggunaan bahasa, maka TBF berupaya sekaligus untuk memaksimalkan tingkat kecukupan tipologis dan miminimalkan tingkat abstraksi analisis linguistiknya.  Upaya ini dilakukan dengan mengurangi tingkat abstraksi (aturan, cara kerja, atau prosedur), sehingga jarak antara struktur yang dipostulasikan dalam suatu bahasa tertentu berdasarkan teori ini dengan ungkapan-ungkapan kebahasaan aktual yang disusun dengan menggunakan terma-terma struktur ini dapat dipersempit.
Pembatasan abstraksi dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip berikut:
1. Menghindari transformasi (dalam arti operasi perubahan struktur);
2. Menghindari elemen-elemen kosong dalam struktur utama yang tidak mendapatkan ekspresi;
3. Menolak perangkat penyaring (filter devices);
4. Tidak menerapkan dekomposisi leksikal yang abstrak (sebagai gantinya, relasi semantik antarkata dilakukan melalui definisi makna.)

Eki Qushay Akhwan
29 Januari 2011

oh..bahasaku...




            Dipandang dari sejarah Bahasa Indonesia termasuk dalam rumpun proto bahasa Austronesia atau Melayu -Polinesia[1]. Bahasa Indonesia berada dalam posisi antara Melayu dan Australia. Seperti dikatakan Alfred Russel Wallace dalam Malay Archipelago dan Jan Huyghen van Linschoten dalam Itinerario  bahwa Malaka yang berada di semanjung Sumatera merupakan kawasan berkumpulnya nelayan dari berbagai Negara. Posisi ini memungkinkan bahasa Indonesia menerima pengaruh dari luar, sehingga pada perkembangannya,  bahasa Indonesia tidak luput dari pengaruh geografis bahasa serumpun. Setiap kali kontak antarbahasa lewat penggunanya menimbulkan tarik menarik dan saling mempengaruhi bahasa.  Peminjaman istilah, penyerapan kata, dan penggunaan kata-kata asing yang belum dibakukan menjadi hal yang biasa. Mulai dari tataran bunyi, kosa kata hingga struktur kalimat. Selain itu munculnya variasi bahasa dalam percakapan harian dapat menciptakan kosa kata  dan bentuk bahasa baru serta pergeseran makna.
            Fenomena bahasa Indonesia di atas mengimplikasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka. Bahasa yang terlahir dari proses penciptaan dan kreativitas pemakaianya. Kreativitas tersebut dapat menimbulkan dampak positif dan negative terhadap eksistensi bahasa Indonesia. Di satu sisi keadaan demikian memperkaya khasanah progesivitas bahasa Indonesia, sementara di sisi lain realita tersebut mengancam resistensi dan konsistensi bahasa Indonesia. Boleh jadi, keterbukaan bahasa ini dapat mereduksi identitas bahasa Indonesia. Karakter dan ciri khas bahasa Indonesia tidak lagi menjadi suatu kebanggaan bagi penggunanya. Bukan tidak mungkin bahasa Indonesia akan ditinggalkan oleh penggunanya dan lambat laun akan punah, terjadilah kematian bahasa. Penegasan tersebut didukung dalam realita sehari-hari bahasa Indonesia ‘hampir’ tersingkir oleh bahasa daerah dan bahasa asing. Seperti sering kita jumpai tulisan-tulisan pada media cetak dan elektronik baik berisi iklan, berita, maupun informasi lain yang mana terdapat penggunaan bahasa-bahasa serapan baik daerah ataupun asing. Dalam komunikasi pun bahasa Indonesia kurang mendapatkan tempat yang ‘tenang’. Masyarakat lebih senang dan bahkan bangga menggunakan bahasa campuran (asing) agar terlihat lebih menarik dan memiliki wawasan luas hingga melupakan bahasa sendiri (Indonesia). Pada gilirannya berkembanglah masyarakat bilingualist dwibahasawan, orang yang menggunakan dua bahasa.
            Dari persfektif karakter,hal demikian akan semakin jelas dan tegas mengancam tidak hanya identitas bahasa Indonesia melainkan pula identitas bangsa, karena bahasa itu menunjukkan bangsa. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, sebagaimana tertuang dalam teks sumpah pemuda. Bahasa Indonesia menunjukan jatidiri bangsa indonesia. Deklarasi sumpah pemuda bukan hanya sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia belaka tetapi juga tonggak lahirnya identitas dan karakter bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan bahasa Indonesia.
Semenjak itu BI mengaIami perkembangan yang cukup pesat. Mulai dari percakapan non-formal hingga percakapan formal, masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dalam bermkomunikasi antardaerah dan antarsuku. Komunikasi antardaerah tersebut mendorong intensitas pertemuan-pertemuan antar kelompok sehingga lahirlah oraganisasi dan lembaga yang menggeluti bahasa. Selain itu munculnya sastrawan-satrawan menunjukkan eksistensi bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Adanya periodesasi angkatan sastrawan mulai Pujangga Lama, Sastra "Melayu Lama", Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan '45, Angkatan 50-an, Angkatan 66-70-an, Dasawarsa 80-an, hingga Angkatan Reformasi menjadi bukti perhatian besar masyarakat Indonesia terhadap bahasanya.
            Selanjutnya, secara tata bahasa bahasa Indonesia, dalam proses perjalanannya, bahasa Indonesia mengalami perkembangan dan penyempurnaan yang cukup dinamis. Mulai penyempurnaan ejaan, peminjaman istilah asing dan daerah, penyerapan kosa kata hingga penambahan konsep-konsep gramatikal. Bahkan, kini seiring dengan berkembangnya ilmu teknologi, bahasa Indonesia banyak meminjam dan menyerap kata-kata asing  sebagai bukti sulitnya mencari padanan kosa kata dalam tata bahasa bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia asli (bukan serapan) di bidang teknologi ini semakin jarang ditemukan. Hal  ini berdampak pada lahirnya bahasa Indonesia ‘baru’, artinya bahasa Indonesia yang banyak mengandung unsur-unsur bahasa asing baik pengucapan, bentuk,maupun konsep gramatikal.
Fenomena BI yang cukup memprihatinkan ini dapat mereduksi peningkatan kesadaran berbahasa di kalangan lingkungan pendidikan, seperti dalam hal pengajaran di sekolah-sekolah yang bertaraf Internasional, yang manasejumlah sekolah menggunakan bahasa pengantar bahasa Ingris dalam setiap pelajaran. Bobot pelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulam SBI sangat kecil, kesempatan siswa berkomunikasi saat proses pembelajaran pun masih terasa kurang. Misalnya ketika siswa bertanya, menjawab, atau mengugkapkan pendapat saat diskusi, mereka lebih banyak  menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Bahkan yang sungguh ironis tatkala guru pengampu matapelajaran bahasa Indonesia menjelaskan dan memberikan materi pelajaran bahasa Indonesia dengan mengggunakan bahasa Inggris. Lalu bagaimana dan kemana nasib BI?
            Bahasa akan bertahan dan berkembang tergantung dari masyarakat penggunanya. Bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat dapat menunjukkan identitas dan karakter masyarakat tersebut. Bahasa mencerminkan budaya suatu bangsa, karena bahasa merupakan hasil olah pikir manusia (Safir-Whorf, ). Demkian pula dengan bahasa Indonesia,  masyarakat Indonesia sudah  sepatutnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar demi mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia, sekaligus melestarikan budaya bangsa Indonesia.


[1] Keraf,G. Linguistik Bandingan Historis. Gramedia. Jakarta. (1984:25)