WELCOME

SELAMAT BERKUNJUNG DI GURU BAHASA INDONESIA SMKN 10 MALANG SEMOGA DAPAT BERMANFAAT"

Sabtu, 15 Juni 2019

Kritik Sastra Indonesia (rangkuman referensi guru Bahasa Indonesia)











Kritik Sastra Indonesia
(rangkuman referensi guru Bahasa Indonesia)

1.  Hakikat Kritik Sastra
a.  Pengertian Kritik Sastra
    Secara etimologis, istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites  yang 
berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi, membanding, menimbang”;  
kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” Bentuk 
krites inilah yang menjadi dasar kata kritik. Secara harafiah, kritik sastra adalah upaya 
menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan 
kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik. 
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , disebutkan kritik adalah kecaman atau 
tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan  pertimbangan baik buruk terhadap 
sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan esai adalah karangan 
prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang 
pribadi penulisnya.
    H.B. Jasin mengemukakan bahwa kritik kesusastraan adalah pertimbangan baik 
atau buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu disertai dengan alasan 
mengenai isi dan bentuk karya sastra.
Widyamartaya dan Sudiati (2004 : 117) berpendapat bahwa kritik sastra adalah 
pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat, dan pertimbangan yang adil 
terhadap baik-buruknya kualitas, nilai, kebenaran
suatu karya sastra. Memberikan kritik dan esai dapat beromanfaat untuk 
memberikan panduan yang memadai kepada pembaca tentang kualitas sebuah karya.
    Di samping itu, penulis karya tersebut akan memperleh masukan, terutama tentang 
kelemahannya. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra 
(cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap 
teks sastra sebagai karya seni. Sementara    Abrams dalam Pengkajian sastra (2005) 
mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan 
dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Perkataan kritik dalam artinya yang tajam adalah penghakiman, dan dalam 
pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu, meskipun 
bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu kritikus 
sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian 
khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra. Pekerjaan penulis 
tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya 
tentang hal itu (Pradopo, 1997).
    Pengertian kritik sastra sebagaimana di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena 
sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. 
Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta 
menentukan nilai  hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang 
dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis. Atau kritik sastra adalah ilmu sastra untuk 
menghakimi karya sastra dengan memberi penilaian, dan memutuskan apakah karya 
tersebut bermutu atau tidak bermutu yang sedang dikritik.  Kritik sastra yang sesungguhnya 
bukan hanya menilai saja, melainkan masih ada aktivitas kritikus yakni menganalisis 
karya tersebut. Sebagaimana yang diungkapkann oleh Abrams (1981) bahwa kritik 
sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan/ pengkelasan, 
penguraian atau analisis, dan penilaian atau evaluasi.

Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra.
    Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra
 ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai 
isi dan bentuknya.  Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang 
ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya 
sastra adalah hasil karya yang  diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup 
masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan.
    Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna 
bagi kritikus tersebut, bukan pada pengarangnya. Seorang kritikus sastra mengungkapkan 
pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan 
pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang. 
Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.

b.  Fungsi Kritik Sastra
    Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus 
melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya 
sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas 
keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis 
dan objek empiris.   Setidaknya, ada beberapa fungsi kritik sastra yang perlu untuk 
diketahui, yaitu:
1).   Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra Seorang kritikus akan menunjukkan 
hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan 
menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap 
oleh sastrawan.  Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih 
meningkatkan kecakapannya dan memerluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas 
karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, 
kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat 
pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan 
kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan 
meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri. 2).  Kritik sastra berfungsi untuk penerangan 
bagi penikmat sastra Kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan 
kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. 
Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik
 oleh kritikus.
    Sementara itu, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka 
daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat 
dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi, misalnya karya sastra yang berisi 
nilai-nilai kehidupan, memerhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, 
dan kebenaran.

3).   Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dilakukan kritikus dalam mengeritik harus didasarkan pada referensi-referensi 
dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat 
dibandingkan dengan  kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan 
kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti
 inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri. Karena,  seorang pengarang 
akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam memerluas pandangannya, sehingga akan 
berdampak pada meningkatnya kualitas karya sastra.
Fungsi kritik sastra  akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara 
kritikus dan sastrawan serta tanggung jawab mereka dalam memanfaatkan kritik
 sastra tersebut.  
Kritik sastra dengan begitu, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat 
serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra. 
Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya 
karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaan kritik pada medan sastra akan 
membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.
Berkaitan dengan kritik sastra, esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah 
yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang 
mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap 
suatu persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karangan 
pendek yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang
karya atau beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi 
dan kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.
Arief Budiman dalam  Kritik dan Penilaian  menarik pengertian esai sebagai karangan 
yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu 
dalam bentuk prosa.
Esai sastra, dengan  demikian, bagian dari kritik sastra yang memunyai ciri dan 
karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang mana 
kritik dan yang mana esai sastra, ketika kita membutuhkan referensi untuk kepentingan 
penelitian ataupun penambah wawasan dalam mengasah karya esai kita.  
Dalam hal ini esai sastra hanya bersifat mengemukakan masalah atau persoalan 
kepada khalayak ramai, dan bagaimana penyelesaian tersebut terarah kepada 
pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra 
melalui proses dengan menggunakan kriteria tertentu.
Berdasarkan penjelasan tersebut fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan 
menjadi tiga yaitu :
a)  Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu 
penyusunan teori sastra  dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan 
Rene wellek “karya sastra itu tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan 
dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip kritik sastra.”.
b)  Untuk perkembangan kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra membantu 
perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra 
mengenai baik buruknya karya
sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
c)  Sebagai penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penjelasan
 tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan (mengsnalisis, menginterpretasi, 
dan menilai) karya sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik 
sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra.

c.  Manfaat Kritik Sastra
1)  Manfaat kritik sastra bagi penulis:
a)  Memperluas wawasan penulis, baik yang berkaitan dengan bahasa, objek atau 
tema-tema tulisan, maupun teknik bersastra.
b)  Menumbuhsuburkan motivasi untuk menulis.
c)  Meningkatkan kualitas tulisan.
2)  Manfaat kritik sastra bagi pembaca:  
a)  Menjembatani kesenjangan antara pembaca dan karya sastra.
b)  Menumbuhkan kecintaan pembaca terhadap karya sastra.
c)  Meningkatkan kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra.
d)  Membuka mata hati dan pikiran pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
3)  Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra:
a)  Mendorong laju perkembangan sastra, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
b)  Memperluas cakrawala atau permasalahan yang ada dalam karya sastra.
d.  Tahapan Menulis Kritik Sastra
    Dalam perkembangannya kritik sastra sudah dianggap sebagai satu genre karya 
sastra di luar puisi, prosa dan drama—yang membedakan adalah kritik sastra 
bersifat nonfiksi. Namun demikian kritik sastra tetaplah sebuah karya seni, 
seni mengkritik. Kritik sama personalnya dengan puisi, bahkan mungkin sama 
lirisnya dalam taraf penghayatannya. Penghayatan seorang kritikus terhadap 
keindahan suatu karya sastra tidaklah kalah dengan penghayatan seorang 
penyair terhadap keindahan alam.
Kepekaan, keterlibatan emosi, seorang Matthew Arnold kala mengkritik 
karya-karya Goethe, sama dahsyatnya dengan kepekaan Goethe kala 
berimajinasi dan menulis karya-karyanya.  
    Tujuan dari kritik sastra tidak untuk memberi keadilan pada pengarang saja, 
tetapi juga lebih memberi suatu tempat pada pengarang di antara pengarang-
pengarang lainnya. Atau dalam bahasa Hazlitt, memberi penghormatan (homage). 
Penghormatan dilakukan dengan menggali nilai dari karya sastra. Tidak dapat 
dibantah sedikit pun itulah titik berat, atau tujuan utama, sebuah kritik sastra, 
yakni mengukur nilai yang  terdapat dalam satu karya sastra.
    Atas dasar apa seorang kritikus menilai satu karya sastra?’atau ‘Bagaimana 
mungkin seorang kritikus menilai puisi tertentu sebagai puisi  yang monumental?’ 
atau, yang jarang kita dengar di sastra Indonesia kecuali akhir-akhir ini, 
‘Bagaimana mungkin seorang sastrawan mendapatkan anugerah sastra tanpa 
melalui proses kritik sastra? Dasar seorang kritikus kala mengkritik sebuah 
karya sastra menurut Hazlitt, di esainya  On Criticism, ‘yang digunakan seorang 
kritikus untuk menilai sastra tidak lebih dari selera ‘(taste) si kritikus. 
Dengan seleranya, ia harus mampu mengungkap warna (kekhasan) penulis 
yang ia angkat.
    Kalau begitu, seorang kritikus bisa menulis seenaknya karena hanya bergantung 
pada seleranya?  Hazlitt telah mengantisipasi pertanyaan macam ini, dengan 
menulis bahwa penulisan kritik sastra harus dibarengi dengan sejumlah alasan 
dan data, nukilan dari karya sastra yang sedang dikritik. Lalu, bagaimana menulis 
kritik sastra? Untuk menulis kritik sastra penulis harus memahami tahapan kritik 
yang sistematis dan operasional sebagai berikut :
1.  Tahap  deskripsi  karya sastra merupakan tahap  kegiatan mamaparkan data apa 
adanya, misalnya  mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau novel  berdasarkan 
urutan cerita, mendeskripsikan nama-nama tokoh utama dan tokoh-tokoh bawahan 
yang menjadi ciri fisik maupun  psikisnya, mendata latar fisik ruang dan waktu atau 
latar sosial tokoh-tokohnya,dan mendeskripsikan alur setiap bab atau setiap episode.  
2.  Tahap  penafsiran  karya sastra merupakan  penjelasan atau penerangan 
karya sastra.  Menafsirkan karya sastra berarti menangkap makna  karya sastra, 
tidak hanya menurut apa adanya, tetapi menerangkan juga apa yang tersirat 
dengan mengemukakan pendapat sendiri.  
3.  Tahap analisis merupakan tahap kritik yang sudah menguraikan data.
Pada tahap ini kritikus sudah  mencari makna dan membanding-bandingkan  
dengan karya sastra lain, dengan sejarah atau  dengan yang ada di masyarakat.
4.  Tahap  evaluasi  merupakan tahap akhir suatu kritik sastra.
Dalam suatu evaluasi dapat dilakukan melalui pujian, seperti berbobot, baik,  
buruk, menarik, dan unik. Sebaliknya, dapat pula dilakukan pencemohan, ejekan, 
dianggap jelek dan tidak bermutu, serta tidak menyentuh nilai-nilai kemanusiaan. 
Jadi kritik sastra mencapai kesempurnaan setelah diadakan evaluasi atau penilaian.

e.  Jenis Kritik Sastra
Menurut Ensiklopedi Indonesia  kritik sastra terdiri atas beberapa jenis kritik.
1)  Kritik Judisial
Kritik  judisial  yaitu suatu kritik yang mengemukakan suatu penlaian atau 
penghakiman terhadap suatu karya sastra, lalu menghubungkannya dengan 
norma-norma teknik penulisan atau standar tujuan penulisan karya tersebut.
 (Coulter, 1930: 336). Rene Wellek dan Austin menegaskan bahwa kritik yudisial 
menaruh perhatian pada hukum-hukum/ prinsip yang dianggap sebagai suatu 
yang objektif. Dalam kritik yudisial, karya sastra yang menjadi objek kajian lebih 
dispesialisasikan tapi dengan penjelasan yang seluas mungkin. Di sini dituntut 
pengklasifikasian yang lebih terperinci dan tajam terhadap para pengarang dan karyanya.
2)  Kritik Induktif
Kritik induktif adalah jenis kritk sastra yang bertujuan mengumpulkan fakta-fakta 
yang ada hubungan dengan suatu karya seni, metode, waktu penciptaan, dan 
menyusunnya menjadi susunan yang rapi
serta melukiskannya dengan teratur. Ini sesuai dengan metode induksi yang 
mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus.
3)  Kritik Impresionistik
Kritik impresionistik yaitu kritik sastra yang muncul sebagai produksi dari 
aliran individualisme romantik dan kesadaran akan diri yang lebih modern. 
Kritik ini menghubungkan pengalaman si penulis dengan
karyanya. Sebaiknya, seorang kritikus mempunyai gaya yang bisa membuat 
hati pembaca terpikat dalam kedudukannya sebagai  pembimbing juga 
penghubung antara pembaca dan karya sastra.
4)  Kritik Historis
Jenis kritik sastra yang mengikuti segala sesuatu yang terjadi atas suatu 
bentuk sastra dalam periode sejarah sastra. Juga dengan pengelompokan 
masa seorang pengarang. Setiap karya sastra harus
diteliti dan ditelaah dengan hal-hal yang berhubungan dengan karya sastra 
tersebut. Hal-hal yang dapat menjadi bahan acuan antara lain: naskah, 
bahasa dan komposisi karya sastra, serta perbandingan
karya sang pengarang dengan teman-teman seangkatannya,. Seorang 
kritikus harus paham bahwa karya sastra merupakan refleksi  pengarang 
pada kehidupan dan kebudayaannya dan pengelompokan jenis karya sastra 
tersebut serta hubungannya dengan karya yang sejenis.
Butir –butir penting yang berhubungan dengan kritik histories yakni:
a)  Dalam menggarap bahasa suatu karya sastra, sang kritikus histories 
dapat mempertimbangkan dua hal yaitu mengembalikan para pembaca 
masa kini pada keadaan bahasa pada saat karya tersebut ditulis dan 
memandang bahasa itu sebagai suatu media komunikasi pada saat itu.
b)  Keterangan – keterangan berupa riwayat hidup merupakan jenis data 
yang bernilai dan amat berharga bagi kritikus histories.
c)   Berusaha mendapatkan segala korelasi antara kehidupan sang penulis 
dan karyanya .
d)  Bagi kritikus histories, sastra adalah suara humanitas dan melalui 
sastra itu kritikus bukan hanya berhubungan atau menaruh perhatian 
pada literacy (kecakapan baca tulis) tetapi juga human literacy (kecakapan 
baca tulis masyarakat manusia).
e)  Silsilah sastra atau genealogi suatu karya.
f)  Sang kritikus histories dalam kritik sastranya berhasrat memperoleh 
sukses yang gemilang dalam bidang pemaduan belajar dan penilaian.  

5)  Kritik Filosofis
Kritik  filosofis  merupakan jenis kritik sastra yang berusaha untuk mendapatkan 
dasar yang paling sesuai bagi penilaian karya sastra melalui analisis terhadap 
hakekat dan  fungsi sastra sebagai suatu cara berpikir mengenai kehidupan. 
Kritik ini berusaha menentukan prinsip yang digunakan dalam kritik sastra 
agar pedoman yang digunakan dalam suatu kritik jelas dan tegas.
6)  Kritik Formalis
Kritik sastra  ini berpedoman pada teori  dasar estetika yang meletakkan 
tekanan pada bentuk karya sastra, struktur, gaya dan efek psikologisnya. 
Aristoteles adalah pencetusnya, kritik ini bertentangan dengan teori 
dari Plato yang menekankan pada aspek isi dan efek moral/sosial.
Kritik formalis disamakan dengan the new criticism, karena memang dia 
merupakan suatu kritik yang masih berusia muda., lebih – lebih kalau 
dibandingkan dengan kritik –kritik yang lainnya.
7) Kritik Relativistik
Jenis kritik ini berpedoman pada anggapan relativisme, yaitu bahwa 
penilaian terhadap karya sastra terantung pada subjek yang menikmati 
dan menilainya. Hal ini terjadi karena selera individu berbeda-beda, begitu 
juga dalam hal menikmati karya sastra sehingga tidak ada yang bersifat mutlak.
Jika pendapat dari seseorang lebih mendominasi akan muncul suatu teori 
yang absolut meski tidak disadari.
8) Kritik Absolutistik
Kritik jenis ini menegaskan bahwa alternative bagi hukum kritik adalah anarki. 
Ketika seorang kritikus memberikan penilaian terhadap suatu karya yang hadir 
selanjutnya adalah sebuah kebingungan. Ini dapat disiasati dengan tetap 
menggunakan pendapat masyarakat agar tetap bisa terwujud komunikasi yang baik.
9) Kritik Interpretatif
Semua jenis kritik sastra bisa digolongkan sebagai jenis kritik ini karena 
hakekat kritik  sastra sendiri adalah memberikan interpretasi/penafsiran 
terhadap suatu karya sastra. Maka, pengkhususan kritik sastra jenis ini adalah 
memperkenalkan standar yang secara relative tidak ada hubungannya dengan 
orang atau hal tertentu. Di sini akan terlihat keterkaitan antara teori, sejarah 
dan kritik sastra. Tiada satu ilmu yang dapat berdiri sendiri seratus persen 
tanpa bantuan orang lain.
10)  Kritik Tekstual
merupakan jenis kritik yang terfokus pada teks/ naskah suatu karya sastra, 
agar pembaca lebih dekat dengan apa yang ditulis. Dengan berkembangnya 
masa, kritik ini ingin menunjukkan manakah karya yang benar-benar asli dari 
beberapa versi karya sastra yang mungkin muncul.
11)  Kritik Linguistik
Jenis Kritik ini menitikberatkan perhatian pada masalah-masalah kebahasaan 
dalam karya sastra tersebut agar terhindar dari salah pengertian baik dari sisi 
fonologi, morfologi, sintaksis atau semantik. Ini perlu dilakukan karena setiap 
bahasa mengalami perkembangan dalam kurun waktu yang berlainan.
12)  Kritik Biografis
Kritik ini sebenarnya adalah kritik histories yang wilayahnya dipersempit yaitu
 khusus pada riwayat hidup pengarang beserta karyanya. Tugasnya adalah 
menentukan hubungan yang signifikan antara pengarang dan karyanya, 
asal-usul. Kekuatan yang mendorong atau tujuan konkrit karya tersebut.
13)  Kritik Komparatif
Banyak hal dalam kritik komparatif yang segar dan menarik serta memberi 
harapan, kritik ini memperoleh polanya bukan dari kejadian-kejadian yang 
berhubungan dengan waktu, tetapi justru dari pengelompokan jenis yang 
berguna serta gagasan atau ide yang berpengaruh.
Hal – hal yang dapat diperbandingkan saja yang akan digarap Dalam kritik ini 
yang diterapkan pada nada, tujuan, dan cara, bahkan penerapan pada ketiga 
hal tersebut lebih daripada terhadap pokok masalahnya sendiri.
14)  Kritik Etis  
Kritik etis sangat erat hubungannya dengan falsafah, keyakinan serta agama. 
Tanpa adanya pengetahuan yang cukup tentang ketiga hal tersebut akan 
membuat penilaian kritik sastra kurang memadai. Pola pikir seorang kritikus 
dalam hal-hal  tersebut sangat mempengaruhi bagaimana ia akan
menilai suatu karya.
15)  Kritik Perspektif
Kritik ini adalah studi terhadap reputasi sang pengarang yang tercermin dalam 
karyanya dan melekat pada hati pembacanya. Kritik ini berusaha untuk menyelidiki 
seorang pengarang dari karya yang dihasilkan, apakah patut menerima penghargaan 
atau patut diabadikan.
16)  Kritik Pragmatik
Jenis kritik  ini mengarahkan perhatiannya pada kebergunaan ide, ucapan, 
dalil atau teori yang terdapat dalam suatu karya sastra bagi masyarakat. 
Reputasi pengarang ditentukan oleh bagaimana karyanya bisa berguna
 bagi masyarakat.
17)  Kritik Elusidatori (Penjelasan)
Jenis kritik  ini sifatnya memberikan penjelasan. Kritik ini menekankan 
pada interpretasi arti atau makna karya sastra.
18)  Kritik Praktis
Jenis kritik  ini merupakan lawan dari kritik teoritis yang cenderung ilmiah.
Tugas kritikus adalah menentukan atau menilai apakah suatu karya sastra 
bernilai praktis bagi masyarakat atau tidak. Tujuannya sama dengan kritik 
pragmatis meskipun dengan nama yang berbeda.
19)  Kritik Baru
Bagi para kritikus aliran kritik baru, tujuan pokok seni adalah menghasilkan 
analisis sang kritikus mengenai seni itu sendiri. Fungsi kritik adalah melatih 
kritikus lainnya untuk melatih kritikus yang lain dalam suatu urutan akademik 
bagi para cendekiawan. Kecenderungan yang dilakukan para kritikus jenis ini 
adalah pemanfaatan sarana-sarana ilmiah, epigraf dan statistik yang tidak 
begitu diperhatikan orang saat memberikan kritik sastra.  
20)  Kritik Psikologis
Kritik psikologis adalah salah satu jenis kritik sastra yang mendalami 
segi-segi kejiwaan suatu karya sastra, yang mencangkup segi-segi kejiwaan 
penulis, karya, dan pembaca. Kita tahu bahwa hubungan antara psikologi 
dan kritik sastra adalah sama tuanya dendan usia kedua cabang ilmu tersebut. 
Dan yang paling berpengaruh terhada kritik sastra adalah Sigmund Freud 
dendan psikoanalisisnya.
21)  Kritik Mitopoeik
Kritik Mitopoeik adalah jenis kritik yang menyangkut penciptaan mitos 
dalam suatu karya sastra.kritik Mitopoeik ini adalah kritik yang paling baru 
dan yang paling ambisius diantara pendekatan-pendekatan kritik kontemporer 
dan barang kali juga yang paling provokatif dalam tindakan-tindakan dan 
kemungkinannya.
22)  Kritik Sosiokultural
Kritik sosiokultural adalah interpretasi sastra dalam aspek-aspek social 
ekonomi dan politisinya.yang merupakan pokok pada kritik ini adalah 
interaksi karya sastra dengan kehidupan dan interaksi ini tidak hanya 
mencakup implikasi-implikasi sosial, ekonomi, serta politis karya tersebut, 
tetapi juga dalam pengertian yang amat luas, mencakup implikasi-implikasi 
moral dan kulturalnya.
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams (1981: 36-37) 
membagi kritik sastra ke dalam empat  jenis yakni kritik mimetik, kritik 
pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
a)  Kritik Mimetik
Menurut Abrams, kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai 
tiruan aspek-aspek alam. Karya sastra dianggap sebagai cerminan 
atau penggambaran dunia nyata, sehingga ukuran yang digunakan 
adalah sejauh mana karya sastra itu mampu menggambarkan objek yang 
sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita yang ada, 
semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh 
paham Aristoteles dan Plato, yang menyatakan bahwa sastra  adalah 
tiruan kenyataan. Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada 
Angkatan 45.
Contoh lain adalah:
1)  Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo
2)  Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo.
b)  Kritik Pragmatik
Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai alat untuk mencapai 
tujuan (mendapatkan sesuatu yang diharapkan). Tujuan karya sastra 
pada umumnya bersifat edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain,
kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai 
tujuan. Ada yang berpendapat bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada 
pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan 
Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis kritik jenis 
ini yang dibukukan dengan judul "Perjuangan dan Tanggung Jawab 
dalam Kesusastraan".
c)  Kritik Ekspresif
    Kritik ekspresif menitikberatkan pada diri penulis karya sastra itu. 
Kritik ekspresif meyakini bahwa sastrawan (penulis) karya sastra merupakan 
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, dan 
perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Dengan menggunakan 
kritik jenis ini, kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan 
kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin penulis 
atau keadaan pikirannya.
    Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan 
pengalaman-pengalaman sastrawan yang, secara sadar atau tidak, 
telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik 
zaman Balai Pustaka atau Pujangga Baru menggunakan orientasi 
ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh 
kritik sastra jenis ini antara lain:
(1)  "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" karya Arif Budiman.  
(2)  "Di Balik Sejumlah Nama" karya Linus Suryadi.
(3)  "Sosok Pribadi dalam Sajak" karya Subagio Sastro Wardoyo.
(4)  "WS Rendra dan Imajinasinya" karya Anton J. Lake.
(5)  "Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan" karya 
Korrie Layun Rampan.
d)  Kritik Objektif
    Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, 
bebas terhadap lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia 
sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah  keseluruhan yang mencakupi 
dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara 
batiniah dan menghendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria 
intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, 
integritas, dan saling berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya).
    Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, 
tokoh, dsb.; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, 
integritas, dsb.. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada 
karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 
20-an dan melahirkan teori-teori:
(1)  New Critics di AS
(2)  Formalisme di Eropa
(3)  Strukturalisme di Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok kritikus 
aliran Rawamangun:
(1)  "Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia" karya Boen S. Oemaryati.
(2)  "Novel Baru Iwan Simatupang" karya Dami N. Toda.
(3)  "Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia" karya Th. Rahayu Prihatmi.  
(4)  "Perkembangan Novel-Novel di Indonesia" karya Umar Yunus.
(5)  "Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern" karya Umar Yunus.
(6)  "Tergantung pada Kata" karya A. Teeuw.

2.  Kritik Sastra Puisi
a.  Pengertian Puisi
    Puisi  berasal  dari bahasa  Yunani “proesis”  yang berarti penciptaan.  
Puisi disebut poetry dalam  bahasa Inggris. Puisi ditulis  berdasarkan susunan 
kata- kata yang  indah dan memiliki daya tarik yang tinggi  dan luar biasa, 
hasil pengungkapan perasaan dan pikiran penulisnya.   
Ada beberapa ahli berpendapat bahwa puisi karya sastra yang mengutamakan 
permainan  bunyi atau kata-kata. Suroso dalam bukunya Ikhtisar Sastra
 (2000:62) membatasi  puisi sebagai bentuk
karangan  yang terikat  oleh aturan tertentu,  bait, baris, dan sajak.  
    Sementara  Sumardi dan  Abdul Rozak lebih menspesifikan  pengertian 
puisi, yaitu karangan  bahasa yang khas yang memuat pengalaman  yang 
disusun secara khas pula. Pengalaman  batin yang terkandung dalam puisi 
disusun dari  peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara 
 estetik. Kekhasan susunan bahasa dan susunan peristiwa itu diharapkan  
dapat menggugah rasa terharu pembaca. Lain halnya dengan Herman 
Waluyo  yang secara tidak langsung mendukung pendapat Sumardi dan
 Razak dikatakannya bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang 
dipadatkan,  dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu 
dan pemilihan kata-kata
kias/imajinatif (2003:19).   
    Di dalam seni sastra, dapat dipahami bahwa puisi sebagai suatu struktur 
makro dan  keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, 
sistem tanda yang terwujud  dalam bentuk teks yang menjadi sarana 
kontak dengan pembaca, dan pembaca sebagai addressee.  Komponen 
yang lazim disebut. sebagai struktur makro sebagai struktur makro yakni 
komponen yang  membentuk puisi sebagai teks secara internal. Untuk 
memahami keberadaan puisi sebagai suatu struktur makro perhatikan  
kutipan puisi di bawah ini yang berjudul “ Sedih” karya Moh. Yamin

SEDIH  
Hijau tampaknya bukit barisan  
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang  
Putuslah nyawa hilanglah badan  
Lamun hati terkenal pulang  
Gunung tinggi diliputi awan  
Berteduh langit malam dan siang  
Terdengar kampung memanggil taulan  
Rasakan hancur tulang belulang  
Habislah tahun berganti zaman  
Badan merantau sakit dan senang  
Membawakan diri untung dan malang  
Di tengah malam terjaga badan  
Terkenang Bapa sudah pulang  
Diteduh selasih, kemboja sebatang    

Termuat dalam  ST. Alisjahbana 1969. Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. 
Jakarta: PT Dian Rakyat  
Bandingkan puisi di atas dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar 
di bawah ini!  
DO’A                                                                                           
Tuhanku  
Dalam termangu  
Aku masih menyebut nama-Mu  
Biar susah sungguh   
Mengingat Kau penuh seluruh  
Caya-Mu panas suci  
Tuhanku  
Aku hilang bentuk  
Remuk  
Tuhanku  
Aku mengembara di negeri asing  
Tuhanku di pintu-Mu aku mengetuk  
Aku tidak bisa berpaling  
Chairil A nwar: 1959.  Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan  

    Ditinjau  dari segi makronya,  kedua puisi di atas  mem iliki perbedaan 
dalam hal (1)  penutur, (2) konteks, (3) sesuatu  yang digambarkan, 
gagasan, perasaan, sikap  maupun pendapat, (4) paparan bahasanya, 
dan  (5) tanggapan masyarakat pembaca. Dilihat dari sosok penyairnya, 
terdapat perbedaan antara Moh. Yamin  dan Chairil Anwar. Pemahaman 
perbedaan sikap dan pandangan kedua penyair tersebut sedikit banyak 
 akan membantu kelancaran  kita dalam memahami puisi yang
diciptakan.  Meskipun demikian,  hal tersebut tidaklah mutlak  karena 
pembaca sudah dapat mengapresiasi  puisi di atas dengan bertum pun 
pada teks puisi itu sendiri.   
    Meskipun  menunjukkan  perbedaan, kedua  kutipan di atas ditinjau  
dari aspek bentuk kebahasaan/sistem yang digunakan memiliki kesamaan. 
Kedua puisi di atas  sama-sama memanfaatkan (1) bunyi kebahasaan, 
(2) kata-kata, dan (3) penggunaan gaya bahasa dalam menciptakan kontak 
dengan pembacanya.  Penggunaan bahasa dalam puisi karakteristiknya sangat 
beragam. Ada penyair yang dalam menggunakan bahasa tersebut begitu 
memperhatikan penataan bunyi, pilihan  kata, gaya bahasa, penataan 
lirik, bait, maupun tipografi atau bentuk penulisannya. Penyair Chairil Anwar 
misalnya merupakan salah seorang penyair yang begitu  cermat 
menggunakan paduan bunyi,
pilihan  kata, gaya bahasa, maupun tipografi.  
    Pada  sisi lain  ada juga yang  menggunakan bahasa  seakan-akan sebagai
 “main-main” karena penyair menggunakan bahasa hanya sebagai sarana 
untuk membangkitkan asosiasi pembacanya. Selain itu ada juga penyair 
yang  pilihan kata mupun gaya bahasanya seakan-akan tidak ada bedanya 
dengan bahasa sehari-hari. Pilihan kata dan gaya bahasanya tidak 
 memberi kesan rumit sehingga  isinya mudah dipahami. Perbedaan 
demikian lebih lanjut akan berimplikasi pada tingkat kesulitan dalam 
kegiatan apresiasi puisi.

b.  Struktur Pembangun Puisi
    Puisi pada hakikatnya dibangun oleh struktur fisik dan struktur batin. Strukturfisik 
meliputi unsur diksi, bahasa kias, pencitraan dan persajakan. Struktur batin mencakup 
unsur pokok pikiran, tema, nada, suasana, dan amanat. Jakob  Sumarjo mementukan 
unsur pembentuk puisi adalah tema, latar, simbol/perlambangan, musikalitas/
persajakan, gaya bahasa. Puisi sebagai karya sastra yang unik menggunakan baasa 
sebagai media pengungkapannya. Berbeda dengan bahasa sehari-hari bahasa 
dalam puisi  khas karena bahasa yang diungkapkan dalam tulisan puisi merupakan 
hasil pengolahan rasa, batin, dan imajinasi penulisnya (penyair). Bahasa puisi 
adalah bahasa konotatif.
1) Struktur fisik
a) Diksi
Diksi  adalah pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair dengan secermat-cermatnya 
untuk menyampaikan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya agar 
terjelma ekspresi  jiwanya seperti yang dikehendaki penyairnya secara maksimal 
sehingga pembaca pun akan merasakan hal yang sama. Dalam diksi diperhatikan 
juga kosa kata, urutan kata, dan daya sugesti kata. Kosa kata  dipilih untuk 
kekuatan ekspresi, menunjukkan ciri khas, suasana batin, dan latar belakang
 sosio budaya si penyair.
    Seorang penyair dalam menulis puisi harus menggunakan diksi yang tepat. 
Apa maksudnya? Menulis puisi menggunakan pemiliha kata yang cermat dan 
sistematis agar menghasilkan suasana yang
tepat dan cocok dengan  pengungkapannya. Abdul Hadi (Eneste, 1984:142) 
pemilihan diksi yang tepat  akan menghasilkan sugesti (daya gaib) yang muncul 
dari diksi berupa kata atau ungkapan.
b)  Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu pengiasan dan  
perlambangan. Gaya bahasa diciptakan dan dipergunakan penyair dalam 
puisi  dengan tujuan menghasilkan kesenangan bersifat imajinatif, 
menghasilkan makna tambahan dalam puisi, menambah intensitas 
dan menambah konkret  sikap dan perasaan penyair, juga agar makna 
yang diungkapkan lebih padat (Perine, 1974:610 )
Bahasa kiasan mencakup semua jenis ungkapan yang bermakna lain dengan 
makna harfiahnya, yang bisa berupa kata, ataupun susunan kata yang 
lebih luas.  Bahasa kiasan berfungsi sebagai sarana untuk menimbulkan 
kejelasan gambaran angan supaya menjadi lebih jelas, menarik, dan hidup. 
Perhatikan kata-kata yang dicetak miring dalam penggalan kutipan puisi 
berjudul “Di Meja Makan” karya Rendra berikut ini :
Ia makan nasi dan isi hati  pada mulut terkunyah duka tatapan matanya 
pada lain isi meja  lelaki muda yang dirasa tidak lagi dimilikinya.
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata  
meleleh air racun dosa  
….
Ada banyak jenis bahasa kiasan yang dimanfaatkan dalam puisi, misalnya: 
perbandingan (bahasa kiasan yang menggunakan kata-kata pembanding),  
metafora (perbandingan yang tidak menggunakan kata-kata pembanding), 
dan personifikasi (mempersamakan benda-benda dengan sifat manusia).

c)  Pencitraan
    Pengimajian atau pencitraan adalah pengungkapan sensoris penyair ke 
dalam kata dan ungkapan sehingga terjelma gambaran suasana yang lebih 
konkret. Ungkapan itu menyebabkan pembaca seolah-olah melihat sesuatu, 
mendengar sesuatu, atau turut merasakan sesuatu. Jika seolah-olah pembaca
 melihat sesuatu pada saat membaca puisi maka yang dilukiskan penyair 
adalah imaji visual (shape image). Jika pembaca mendengar pada saat 
membaca puisi maka yang dilukiskan adalah imaji auditif (sound image/
auditory image). Jika pembaca merasakan ada gerak yang ditampilkan 
dalam membaca puisi maka  yang dilukiskan penyair adalah imaji gerak 
(image of movement/kinesthetic image). Jika pembaca merasakan perasaan 
penyair maka yang dilukiskan adalah imaji indera (tachtich image, image 
of touch) – (Perine, 1974 : 616 ; Achmad, 1986 : 14, Waluyo, 1986 : 23).
 Citraan adalah sebuah efek dalam gambaran angan atau pikiran yang 
sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh ungkapan penyair 
terhadap sebuah objek yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan, 
pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman.
Perhatikan puisi karya Rendra berjudul “Episode” berikut ini
Kami duduk berdua  
di bangku halaman rumahnya.  
Pohon jambu di halaman itu  
berbuah dengan lebatnya  
dan kami senang memandangnya.  
Angin yang lewat  
memainkan daun yang berguguran  
Tiba-tiba ia bertanya:  
"Mengapa sebuah kancing bajumu  
lepas terbuka?“  
Aku hanya tertawa  
Lalu ia sematkan dengan mesra   
sebuah peniti menutup bajuku.  
Sementara itu  
Aku bersihkan  
guguran bunga jambu  
yang mengotori rambutnya.  
(Rendra, Empat Kumpulan Sajak, h.18)
d)  Persajakan
Bunyi dalam puisi atau persajakan memiliki peran penting dalam menentukan 
makna. Puisi jika dibacakan baru terasa indah. Itu artinya persajakan dalam 
puisi dapat menentukan berhasil tidaknya pembaca puisi membawakan 
puisinya kepada penikmat / pendengar. Pembahasan bunyi dalam puisi 
mencakup masalah rima, ritma, dan metrum. Rima berarti persamaan 
atau pengulangan bunyi dalam puisi.  Rima berfungsi untuk membentuk 
orkestrasi, yang dapat berbentuk asonansi (ulangan bunyi vokal pada 
kata yg berurutan), dan aliterasi (ulangan bunyi konsonan pada awal 
kata yg berurutan). Ritma berarti pertentangan bunyi yang berulang 
secara teratur membentuk gelombang antar baris puisi. Metrum adalah 
variasi tekanan kata atau suku kata (Bolton, 1979 : 42-68).
Makna puisi akan konkret bila puisi itu dibacakan secara estetik hal ini 
didasaari suatu asumsi penerimaan dengan menggunakan indera visual l
ebih sulit dibandingkan dengan indera auditif.
2)  Struktur Batin
Struktur batin puisi terdiri dari: tema, perasaan, nada, dan amanat.
a) Tema
Tema  adalah gagasan pokok  atau pokok persoalan yang dikemukakan 
oleh penyairnya.  Secara garis besar hanya ada empat tema besar yang 
biasanya digeluti oleh para penyair, yaitu keindahan alam, masalah manusia 
dalam hubungannya dengan dirinya sendiri,  masalah manusia dalam 
hubungannya dengan manusia lain, dan masalah manusia dalam 
hubungannya dengan Tuhan yang menyangkut semangat hidup 
manusia dalam mempertahankan kehidupannya yang lebih baik 
dan bermanfaat.
b)  Perasaan
Perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan (objek puisi) 
 yang digarapnya. Unsur perasaan terkait erat dengan unsur tema atau 
pokok persoalan dalam puisi. Dalam lingkungan
awam pun jika kita menghadapi sesuatu atau tingkah seseorang, kita 
bisa bersikap simpatik, acuh tak acuh, atau bahkan muak.
c)  Nada
Nada adalah sikap penyair terhadap pembacanya  (bisa menggurui, 
penuh kesinisan, mengejek, menyindir, humor, atau secara lugas). 
Dengan demikian nada sajak sangat erat kaitannya dengan rasa dan 
pokok persoalan yang dikandung puisi tersebut.
d)  Amanat
Amanat adalah  tujuan atau pesan yang secara eksplisit maupun
 implisit ingin disampaikan penyair melalui puisi-puisinya kepada pembacanya.
c.  Contoh Kritik Sastra Puisi
Kritik Sastra Puisi "Aku" Karya Chairil Anwar

Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari  
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
a)  Tema
Tema dalam puisi diatas adalah perjuangan. Hal ini dapat terlihat dari 
kalimat “Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang  menerjang”.
 Puisi Chairil adalah semangat merebut hidup yang pastilah tidak mudah, 
apalagi bagi penyair yang penuh kesulitan hidup ini. Bahkan meskipun 
dia berbicara tentang sesuatu yang  perih-pedih, semangat hidupnya 
tetap terasa menggelora. Adalah karakter penyair ini tampaknya, 
bahwa dia tidak mudah menyerah melawan hidup yang begitu pedih.
b)  Rasa
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang  menginginkan 
kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak  mau meniru atau 
menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya 
yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika  sampai waktunya”, ia tidak mau 
terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-
bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika  ia terluka, akan di bawa lari 
sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan 
luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih bergairah hidup. 
Sebab itu ia malahan ingin hidup  seribu tahun lagi. Uraian di atas 
merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah 
sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Puisi Aku ini 
adalah puisi Chairil Anwar yang paling memiliki corak khas  
dari beberapa sajak lainnya.
c)  Nada
Dalam Puisi ‘Aku’ terdapat kata ‘Tidak juga kau’, Kau yang dimaksud 
dalam kutipan diatas adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. 
Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan  semua orang
yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu 
baik, atau pun buruk. Disamping Chairil ingin menunjukkan  
ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat 
pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang 
tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang 
seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan 
ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin 
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya.
Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.  
d)  Diksi  
 Untuk ketetapan pemilihan kata, penyair banyak menggunakan diksi yang 
tepat, bermakna konotatif untuk memperindah puisinya seperti :
Ku mau tak seorang’kan merayu = ku tahu
Kalau sampai waktuku = kalau aku mati  
Tak perlu sedu sedan = tak ada gunanya kesedihan itu  
Binatang jalang = orang hina  
Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani 
melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak 
sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain
orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jeleknya 
dalam dirinya.
e)  Citraan  
 Di dalam puisi ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :
 ‘Ku mau tak seorang’kan merayu (Imaji Pendengaran)
 ‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)
‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)
‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
Citraan yang disampaikan oleh Chairil Anwar sangat bermakna dan 
mempunyai ciri khas tersendiri. Ia memberikan kesan yang berbeda 
saat pembaca membaca puisi ini. Berbeda dengan karya  sebelumnya, 
dalam puisi Aku Chairil Anwar membuat para pembaca ikut merasakan 
apa yang dirasakannya.
f)    Gaya bahasa  
Dalam bahasa “Aku” penyair banyak menggunakan majas hiperbola.
Selain itu, terdapat campuran bahasa indonesia yang tidak baku seperti 
perduli dan peri. Walaupun begitu ia sangat mahir dalam membuat 
pembaca terbius dengan puisi-puisinya.   
g)  Kata Konkret
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu 
sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas 
menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya,
puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau  mengalah, 
seperti Chairil itu sendiri. Puisi Aku ini adalah puisi Chairil  Anwar yang 
paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya.
Alasannya, sajak Aku bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap 
yang biasa  digunakan penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah 
sekalipun. Idiom ’binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak  tersebut 
pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga 
Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
h)  Irama
Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena 
 ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’. Vokal ‘U’pada 
larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik pertama ‘Kalau sampai waktuku.’
Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.
Larik kedua ‘Tidak juga kau’.
Pengulangan vokal ‘I’:
Luka dan bisa kubawa berlari  
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
i)    Rima
Dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan rima yang jelas berbeda
dengan “Krawang-Bekasi”, hal ini terlihat dalam larik
•    Rima tak sempurna
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
•    Rima Terbuka à yang berima adalah suku akhir suku terbuka dengan vokal yang sama.
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dalam puisi ”Aku” gaya bahasa yang diberikan oleh Chairil Anwar
juga hiperbola seperti yang tergambar dalam larik
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
    
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Hal ini  jelas hiperbola tersebut merupakan penonjolan pribadi Chairil  Anwar,
 ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya. Sehingga  membuat 
pembaca terhanyut dalam rima yang indah.
j)     Amanat
Amanat dalam Puisi ‘Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan 
dan  dapat kita rumuskan adalah sebagai berikut :
(1)   Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun   
rintangan menghadang.
(2)   Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya 
menonjolkan kelebihannyasaja.
(3)   Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya 
agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
Penyair memberikan pengalaman kepada para pembaca agar lebih mengerti 
tentang karya sastra dan tidak teracuni dengan karya sastra tersebut danme 
motivasi pembaca untuk lebih mengenal karya sastra. Kiasan-kiasan yang 
dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam 
dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan 
mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, 
seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa 
citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat  dilihat, 
dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan 
sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup 
yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu
tahun lagi”. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan  bahwa 
Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk 
pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu
tahun adalah semangatnya bukan fisik.
3.  Kritik Sastra Prosa
a.  Pengertian Prosa
Prosa  fiksi adalah  kisahan atau cerita  yang diemban oleh pelaku-pelaku 
tertentu  dengan pemeranan, latar serta tahapan dan   rangkaian cerita 
tertentu yang bertolak dari hasil im ajinasi pengarangnya sehingga menjalin 
suatu  cerita. Dalam cerita prosa  nonkonvensional tujuan pengarang 
umumnya  menampilkan gagasan secara aktual lewat karya  prosa 
 yang ditampilkannya.
Karya  prosa fiksi  dapat dibedakan  dalam berbagai macam  bentuk.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah 
cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi  yang 
habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang
mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku  
perjalanan dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita 
fiksi  yang mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak 
sampai tutup usia.
Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun,  
sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama  
dengan novel. Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas 
(jumlahnya  sedikit), dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. 
Kualitas tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh. 
Karena serba dibatasi, tokoh  dalam cerpen biasanya langsung 
ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan 
oleh pengarangnya melalui narasi,
deskripsi, atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup  
rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari, 
seminggu,  sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan  
cerpen. Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi 
 karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang dan  
kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan 
kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih 
komprehensif  dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang 
lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan 
yang diangkat menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks 
dan rumit bila  dibandingkan dengan cerpen. Permasalahan hidup 
manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah rumit dan kompleks.
 Jika  dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan antarmanusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan masyarakat, dan 
manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh  tidak statis, tetapi 
bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering  menjadi 
bumbu cerita.
Perbedaan berbagai bentuk dalam  karya prosa itu, pada dasarnya  
hanya terletak pada kadar panjang-pendeknya  isi cerita, kompleksitas 
isi cerita, serta jumlah  pelaku yang mendukung cerita itu sendiri.
Akan  tetapi,  elemen-elemen  yang dikandung oleh  setiap bentuk karya 
prosa fiksi  maupun cara pengarang memaparkan isi  ceritanya memiliki 
kesamaan meskipun dalam  unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. 
Oleh karena itu, hasil  telaah sebuah cerpen dapat diterapkan dalam
 menelaah novel.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun  oleh 
unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun 
karya sastra lazim disebut  dengan unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud  
dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya 
sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat,  
dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka 
dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur 
yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, 
politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu 
yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal 
tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu 
pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang
lahir dari kekosongan budaya.
b.  Unsur-Unsur Prosa
1)  Unsur Intrinsik
a)  Setting dalam Prosa Fiksi  
Peristiwa-peistiwa    dalam cerita fiksi selalu  dilatarbelakangi oleh 
tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan  tetapi, dalam karya 
fiksi, seting bukan hanya berfungsi sebagai latar  yang bersifat fisikal 
untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Ia juga  mempunyai fungsi 
psikologis sehingga setting pun mampu  m enuansakan  makna tertentu  
serta mampu menciptakan suasana-suasana  tertentu yang menggerakan 
emosi, atau aspek  kejiwaan pembacanya.
Dari  uraian  di atas  dapat disimpulkan  bahwa seting adalah  latar 
peristiwa dalam karya  fiksi, baik berupa tem pat, waktu,  maupun 
peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.    
b)  Gaya Bahasa dalam Karya Fiksi  
Dalam  karya sastra,  istilah gaya mengandung  pengertian cara 
seorang pengarang  menyampaikan gagasannya dengan menggunakan  
media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu  menuansakan 
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.  
Unsur-unsur  gaya yang terdapat  dalam suatu cipta sastra  yang 
akan melibatkan masalah   (1) unsur-unsur kebahasaan berupa kata  
dan kalimat, serta (2) alat gaya yang  melibatkan masalah kiasan 
dan majas. Dalam rangka  menganalisis unsur gaya dalam suatu 
cerpen, pembaca  dapat berangkat dari beberapa pertanyaan 
tertentu seperti berikut.  
(1)  Jenis gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam cerpen tersebut?  
(2)  Mengapa pengarang menggunakan gaya bahasa dem ikian?   
(3)  Adakah pilihan kata atau penataan kalimat yang istimewa?   
(4)  Bagaimana  efek pemilihan  gaya bahasa, kata,  dan penataan 
kalimat sehubungan dengan makna dan suasana penuturnya?   
(5)  Mengapa pengarang menggunakan cara demikian?  
 
c)  Penokohan dan Perwatakan   
Peritiwa dalam karya sastra fiksi, seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, 
selalu dilakoni oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang melakoni 
peristiwa  itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. 
Adapun cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut 
dengan penokohan.
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang
 berbeda-beda.  Seorang tokoh yang m emiliki peranan penting 
dalam suatu cerita disebut tokoh  inti atau tokoh utama. 
Adapun tokoh yang tidak memiliki peranan tidak penting karena  
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku 
utama disebut tokoh tambahan atau  tokoh pembantu.
Untuk  menentukan  siapa tokoh  utama dan siapa  tokoh tambahan 
 dalam suatu  cerpen dapat ditentukan dengan  melihat keseringan 
muncul dalam suatu  cerita atau tokoh yang sering diberi komentar  
atau yang sering dibicarakan oleh pengarangnya. Tokoh  tambahan 
hanya muncul sesekali atau  tokoh yang  hanya dibicarakan  ala 
 kadarnya. Selain  itu, tokoh utama dapat ditentukan juga  lewat 
judul cerita. Misalnya, dalam cerita yang berjudul     Siti Nurbaya, 
maka Anda akan segera dapat menentukan bahwa nama yang diangkat 
sebagai  judul cerita itu merupakan tokoh utama.
Tokoh  dalam cerita  seperti halnya  manusia dalam kehidupan  
sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. 
Tokoh yang memiliki watak baik  sehingga disenangi pembaca 
disebut tokoh protagonis, dan pelaku yang tidak disenangi 
karena  mem iliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang 
diidamkan oleh pembaca disebut tokoh antagonis.
Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya 
lewat (1) tuturan  pengarang terhadap karakteristik pelakunya, 
(2) gambaran yang diberikan pengarang  lewat gambaran lingkungan 
kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan sosok  
pelakunya, (4) melihat cara tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, 
(5) memahami jalan pemikirannya, (6) melihat  tokoh lain di  dalam  
membicarakannya,  (7) m elihat tokoh  lain berbincang dengannya,    
(8) melihat tokoh lain memberikan  reaksi terhadapnya, dan 
(9) melihat tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.  
Selain  terdapat  pelaku utama,  terdapat beberapa  istilah pelaku 
lainnya: pelaku tambahan, pelaku protogonis dan pelaku yang antagonis. 
Di samping itu,  ada istilah (1) simpel karakter, yakni pelaku yang 
tidak banyak menunjukkan kompleksitas masalah.  Pemunculannya 
hanya dihadapkan pada satu
permasalahan  tertentu yang  tidak banyak menimbulkan  adanya obsesi-
obsesi batin yang  komplek. (2) Komples karakter, yaitu  pelaku yang 
pemunculannya banyak dibebani  permasalahan. Selain tu, kompleksitas 
karakter ditandai dengan munculnya pelaku yang memiliki obsesi 
batin yang cukup  kompleks  sehingga kehadirannya  banyak memberikan 
gambaran perwatakan  yang komplek. Dalam prosa fiksi simpel  karakter 
umumnya adalah pelaku tambahan, sedangkan  kompleks karakter 
 adalah pelaku utama. (3) Pelaku  dinamis, adalah pelaku yang memiliki 
perubahan dan perkembangan  batin dalam keseluruhan penampilannya. 
(4) Pelaku statis, adalah pelaku  yang tidak menunjukkan adanya
perubahan  atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai 
cerita berakhir.  
d)  Alur dalam Prosa Fiksi     
Alur dalam prosa fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk
 oleh  tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu yang dihadiri 
oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam  hal ini sama dengan 
istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin 
 suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian berbagai macamperistiwa.   
Contoh alur dalam kehidupan sehari-hari
Saat  terjadi  tubrukan antara  dua pengendara motor  di jalan, tanpa 
saling menyebut  nama masing-masing terlebih dahulu  atau tanpa 
berkenalan terlebih dahulu, kedua pengendara motor itu bertengkar 
saling menyalahkan dan  menuntut ganti rugi. Bisa saja pertengkaran 
itu semakin memuncak sehingga datang  orang lain meleraikannya. 
Setelah  polisi datang, masalah diselesaikan   dengan baik, kedua 
orang itu dapat damai.  Setelah berdamai, barulah kedua orang itu  
saling memperkenalkan diri: Siapa nama, di  mana rumahnya?
Jika  diurutkan,  cerita singkat  di atas berada dalam  tahapan-tahapan 
peristiwa  yang diawali oleh komplikasi,  yakni penyebab yang 
menimbulkan konflik,  dalam hal ini adalah saling bertubruknya  
kedua motor. Setelah itu, timbulnya konflik, yakni sewaktu kedua 
orang itu bertengkar mencari menang sendiri;  klimaks yakni 
kedua orang itu bertengkar semakin  memuncak, mungkin 
berkelahi,  sehingga menuju ke peleraian,  yakni pada  saat 
orang-orang  datang meleraikannya.  Setelah tahap peleraian,  
rangkaian cerita itu akhirnya  masuk pada  penyelesaian,  
yakni pada waktu  keduanya  mau berdamai.  Setelah itu, 
rangkaian  cerita di atas  diakhiri  dengan perkenalan, yakni  
sewaktu kedua pengendara  motor itu saling  menyebutkan 
nama dan alamat  rumahnya.  Jika diurut  secara ringkas,  
maka cerita di atas  akan berada  dalam rangkaian  komplikasi, 
konfliks,  peleraian, penyelesaian,  dan pengenalan.   
e)  Titik Pandang  
Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang  
dipaparkannya. Titik pandang atau biasa diistilahkan dengan point of view  
atau titik kisah meliputi:
(1)  narrator  omniscient    adalah narator  atau pengisah yang  juga berfungsi 
sebagai  pelaku cerita, pengarang atau pengisah  menyebut pelaku utama 
dengan nama pengarang  sendiri, saya atau aku, (2)  narrator  observer 
 adalah  pengisah hanya berfungsi  sebagai pengam at terhadap permunculan 
para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu  tentang perilaku 
batiniah para pelaku, (3)  narrator  observer omnisceint,  dalam cerita 
narrator  observer pengarang menyebut  nama pelakunya
dengan ia, dia, nama-nama lain, maupun mereka, dan narrator he third 
person omniscient.  

f)  Tema dalam Prosa Fiksi  
Tema  adalah  ide yang  mendasari suatu  cerita sehingga berperan  juga
 sebagai pangkal tolak  pengarang dalam memaparkan karya  fiksi yang 
diciptakannya. Tema berkaitan  dengan hubungan antara makna dengan 
tujuan  pemaparan `prosa fiksi oleh pengarangnya. Untuk  memahami 
tema,pembaca terlebih dahulu harus memahami  unsur-unsur signifikan 
 yang membangun suatu cerita, menyimpulkan  
makna  yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan 
penciptaan pengarangnya. Dalam  upaya pemahaman tema, pembaca 
 perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat.   
(1)  Memahami seting dalam prosa fiksi yang dibaca.  
(2)  Memahami  penokohan dan  perwatakan para  pelaku dalam 
prosa  fiksi yang dibaca.
(3)  Memahami satuan peristiwa pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam 
prosa fiksi yang dibaca.  
(4)  Memahami plot atau cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
Menghubungkan  pokok-pokok pikiran  yang satu dengan lainnya  yang 
disimpulkan dari satuan-satuan  peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.  
(5)  Menentukan  sikap penyair  terhadap pokok-pokok  pikiran yang 
ditampilkannya   
(6)  Mengidentifikasi  tujuan pengarang m emaparkan  ceritanya dengan 
bertolak dari  satuan pokok pikiran serta sikap  penyair terhadap pokok
 pikiran yang ditampilkannya.
Menafsirkan  tema dalam cerita  yang dibaca serta menyimpulkannya 
dalam  satu dua kalimat yang diharapkan merupakan  ide dasar cerita 
yang dipaparkan pengarang.
Berdasarkan   uraian di atas,  dapat dinyatakan bahwa  pemahaman tentang 
 tema tidaklah  mudah, akan tetapi cobalah berlatih  menemukan tema 
 secara berkelanjutan dan  berupaya memahami isi prosa secara keseluruhan. 
Cara ini dapat mengantar kita memahami sastra dalam kehidupan.
2)  Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik prosa  adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi 
penciptaan karya sastra, seperti faktor pendidikan pengarang, faktor 
kesejarahan, dan faktor sosial budaya.
Setiap karya sastra, termasuk prosa, tidak bisa tercipta tanpa melibatkan 
unsur-unsur kebudayaan.  Semua karya sastra akan terkait dan melibatkan 
dinamika suatu kehidupan masyarakat, yang punya adat dan tradisi tertentu.  
Unsur Ekstrinsik Kepengarangan Sosial Budaya Kesejarahan  
Selain itu, M. Atar Semi berpendapat bahwa struktur ekstrinsik mencakapi 
faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, kegamaan, 
dan tata nilai yang dianut dalam masyarakat (1993:35).
Hampir sama dengan itu adalah pendapat Frans Mido yang berpendapat 
bahwa  struktur ekstrinsik mencakupi semua unsur-unsur seperti : sosiologi,
 ideologi, politik, ekonomi, dan kebudayaan (1994:14). Mengutip Wellek 
dan Warren (1956:75-135), Nurgiyantoro (2000: 24) menyebutkan
 bahwa unsur-unsur yang termasuk  dalam lingkup struktur ekstrinsik
 ini antara lain:
a)  Keadaan subjektifitas individu pengarang (seperti: sikap, keyakinan, 
dan pandangan hidup);  
b)  Psikologi, meliputi psikologi pengarang, psikologi pembaca, dan psikologi terapan;  
c)  Keadaan lingkungan di sekitar pengarang (seperti : politik, ekonomi, dan sosial);  
d)  Pandangan hidup suatu bangsa (ideologi) ; dan Karya sastra atau karya seni  lainnya
c.    Contoh Kritik Sastra Prosa
Kritik Sastra Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya A.A Navis Cerpen Robohnya 
Surau Kami karya A.A Navis menyajikan cerpen yang bermuatan religius 
dengan sangat baik, beliau mengemas dengan amat hati-
hati agar tidak terjadi  kesalahpahaman dan dianggap sebagai karya sesat.
Cerpen Robohnya Surau Kami, sebenarnya yang terjadi pada cerpen tersebut 
bukanlah tentang suaru yang roboh atau runtuh, melainkan ideologilah 
keagamaan yang runduh. Cerpen Robohnya Surau Kami menceritakan 
tentang seorang yang biasa dipanggil    Kakek, Kakek adalah seorang 
yang tidak mempunyai pekerjaan, yang dilakukan setiap harinya adalah 
menjaga surau dan beribadah di surau tersebut. Kakek pandai mengasah 
pisau dan gunting, serta banyak juga yang meminta tolong kepadanya 
untuk diasah pisau atau guntingnya. Namun, ia  tidak pernah meminta
 imbalan apapun, dan orang yang meminta tolong pun memberi imbalan 
seperti rokok dan makanan. Kakek tidak mempunyai penghasilan dari mana 
pun, ia hanya mendapatkan dari sedekah dan uang-uang hari raya.
Sekarang suarau itu sudah tidak terawat lagi, orang-orang yang mencabuti 
papan pada surau untuk keperluan pribadi, anak-anak kecil bermain 
di dalam surau, dan banyak pula yang mengambil bahan-bahan 
bangunan yang masih bisa dimanfaatkan. Sekali lihat pun orang-orang 
yang lewat di sekitar suarau pasti mengetahui bahwa tidak lama lagi 
surau tersebut akan roboh. Itu semua dikarenakan tidak ada lagi yang 
mengurus surau, karena Kakek telah meninggal dunia.  Sebelum meninggal
 dunia. Kakek didatangi oleh Ajo Sidi, seorang pembual yang kerjanya hanya 
menyebarkan cerita-cerita yang tidak dapat dipercaya.
Suatu hari Ajo Sidi mendatangi Kakek dan menceritakan tentang keadaan di neraka. 
Dia bercerita bahwa disaat penghitungan amal, terdapat seorang haji, yang 
bernama Haji Saleh. Tuhan bertanya kepada Haji Saleh tentang kehidupannya 
dan Haji Saleh pun menjelaskan kehidupannya yang selalu taat beribadah dan 
selalu bertaqwa kepada Tuhan. Namun Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka 
oleh Malaikat atas  perintah Tuhan. Haji Saleh yang tidak terima atas hukuman 
yang dijatuhi kepadanya, memprotes kepada Tuhan.
Akhirnya Tuhan menceritakan kenapa Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka. 
Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka karena semasa hidupnya, ia hanya 
memikirkan  keadaan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya, 
Tuhan menganjurkan untuk beribadah dan beramal kepada yang kurang mampu, 
tetapi Haji Saleh hanya beramal kepada orang lain, namun keluarganya sendiri 
dilupakan. Kesalahan lainnya  adalah karena Haji Saleh hanya beribadah dan 
malasbekerja sehingga tidak mempunyai apa-apa untuk
dimalkan lagi., padahal sesungguhnya ia mampu bekerja dan beramal.
setelah mendengar kata-kata Tuhan, Haji Saleh dan pengikutnya yang ikut 
protes terdiam dan kembali dimasukkan ke dalam neraka.  
Mendengar cerita itu, Kakek secara tidak langsung merasa tersindir 
dan marah kepada Ajo Sidi. Kemudian sepeninggal Ajo Sidi, Kakek 
menjadi pemurung, berbeda dari tingkat lakunya yang biasa. 
Bahkan Kakek sempat  mengasah pisau untuk menggorok leher
 si Ajo Sidi karena tersinggung dengan ceritanya.
Keesokan harinya, didapati kabar bahwa Kakek meninggal di surau. 
Keadaanya sangat mengerikan, ia menggorok lehernya sendiri dengan 
pisau cukur. Ajo Sidi menjadi orang yang pertama  terjadi, mengingat 
karena ulah dialah Kakek bunuh diri, akibatdari cerita yang ia kabarkan. 
Namun setelah didatangi,Ajo Sidi tidak ada di rumah dan ketika ditanya 
istrinya menjawab bahwa suaminya sedang pergi bekerja.  
Setelah membaca  cerpen ini, saya seperti memaca kembali 
dongeng-dongeng anak muslim yang menceritakan sisi lain 
dari kehidupan beragama.  Seperti yang diketahui, tokoh Kakek 
atau pun Haji Saleh dalam cerita Ajo Sidi mempunyai suatu 
kesamaan, yaitu hanya orang yang giat beribadah. Namun
mereka  berdua lupa akan perintah Tuhan yang sederhana,
 yaitu memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sehingga 
dapat dikatakan bahwa dibalik kesempurnaan yang tampak, 
di dalamnya pasti ada kecacatan besar yang tidak tampak.  
Di dalam cerpen ini juga tersirat beberapa simbol, salah 
satunya adalah robohnya suarau. Surau dapat diumpamakan 
sebagai suatu ideologi keagamaan Kakek yang runtuh seketika 
karena cerita Ajo Sidi. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan 
makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh
pengarang adalah keruntuhan ideologi beragama akibat sebuah
 kesalahan kecil yang sangat fatal.
Melihat isi cerpen Robohnya Surau Kami, saya berpendapat 
bahwa unsur keagamaan yang ditampilkan sangat kental, 
oleh karena itu sangat memungkinkan bahwa pengarang yaitu, 
A.A  Navis sangat cermat melukiskannya. Secara logika, tidak 
mungkin cerpen religius seperti ini dibuat oleh orang yang tanpa 
pengetahuan agama atau orang yang tidak taat beragama.  
A.Anavis merupakann seorang Haji dan budayawan yang bergerak 
di bidang kemanusiaan. Cerpen ini dibuatdengan latar belakangi 
dua alasan tadi, Semua cerita itu dikemas secara sinkronisasi 
oleh A.A Navis  menggabungkan antara unsur-unsur kemanusiaan 
dan keagamaan. Memang  keduanya sangat berkaitan erat, bagaimana 
sikap untuk memanusiakan manusiadan saling tolong-menolong antar 
umat beragama terdapat dalam ajaran agama manapun. Secara tidak 
langsung pesan yang disampaikan menyangkut semua umat beragama, 
bukan hanya agama Islam saja.  
Mungkin batasan agama yang terdapat dalam cerpen terdapat pada 
pemilihan kata “surau”. Kata “surau” identik dengan tempat beribadah 
umat muslim.
Sehingga para pembaca awam yang memeluk agama selain Islam merasa
cerpen ini diperuntukkan hanya untuk umat muslim saja. Seandainya kata
“surau” diganti dengan “tempat beribadah” saja mungkin akan lebih menaikan
nilai jual cerpen ini. Lalu kekurangan lainnya terdapat pada tokoh “aku”. Tokoh
Aku pada cerpen ini  seharusnya tidak perlu ditampilkan, karena tidak
berpengaruh pada jalannya cerita. Gaya flashback yang digunakan juga
terasa kurang tepat karena pembaca sudah mengetahui riwayat   tokoh Kakek
pada awal cerpen, gaya flashback ini justru mengurangi susspence pada
cerita.
4. Kritik Sastra Teks Drama
a.  Pengertian Drama
Kata  drama berasal  dari bahasa Greek;  tegasnya dari kata kerja  dran
yang berarti  “berbuat, to act  atau to do”. Drama  berarti perbuatan,
tindakan,  atau beraksi  (action). Drama  cenderung memiliki  pengertian ke
seni  sastra.  Di dalam seni  sastra, drama setaraf  dengan jenis puisi,
prosa/esai. Drama  juga berarti suatu  kejadian atau peristiwa  tentang
manusia.  Cerita konflik  manusia dalam bentuk  dialog yang diproyeksikan  
pada  pentas  dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan
penonton (audience).  
Sementara   Bethaazar Verhagen  yang dikutip oleh Slamet  Mulyana,
mengatakan bahwa drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat
manusia dengan  gerak. Berdasarkan  penjelasan di atas dapat  diambil
kesimpulan bahwa  dram a pada dasarnya  adalah salah satu cabang  seni
sastra  yang mementingkan  dialog, gerak, dan  perbuatan menjadi suatu  
lakon  yang dipentaskan  di atas panggung.  Drama juga adalah seni  yang
menggarap lakon-lakon  mulai sejak penulisannya  hinggga pementasannya
44  Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional  J
yang membutuhkan  ruang, waktu, dan  khalayak atau hidup  yang
disajikan  dalam gerak yang memuat sejum lah kejadian yang memikat dan
manarik hati.   
Dalam  bahasa Indonesia  terdapat istilah “sandiwara”.  Istilah ini diambil
dari bahasa  Jawa “sandi”  dan “warah”,  yang berarti pelajaran  yang
diberikan secara  diam-diam atau rahasia  (sandi artinya rahasia, dan  
warah  artinya pelajaran).  Istilah sandiwara seperti  yang dipakai pada
sandiwara  radio atau sandiwara  pentas menunjukkan bahwa  kata
sandiwara  dapat menggantikan kata drama.  
Selain kedua istilah di atas, kita juga mengenal istilah teater. Teater dan
drama pada dasarnya memiliki arti yang sama, tetapi berbeda uangkapannya.
Teater berasal  dari kata yunani  kuno "theatron" yang  secara harfiah
berarti gedung/tem pat  pertunjukan. Dengan dem ikian  maka kata teater
selalu mengandung  arti pertunjukan/tontonan.  Jika peristiwa atau cerita  
tentang manusia  kemudian diangkat  ke suatu pentas sebagai  suatu
bentuk pertunjukan,  maka menjadi suatu peristiwa  Teater. Kesimpulannya
teater tercipta karena adanya drama.  
Hal senada diungkapkan oleh Henri G. Tarigan bahwa  dalam sastra
Indonesia  drama dipisahkan  atas dua pengertian. Pertama, drama sebagai
text play atau naskah karya sastra milik pribadi, yaitu naskah bacaan milik
penulis drama yang masih mem butuhkan pembaca soliter dan  perlu digarap
yang  baik dan  teliti jika  ingin dipentaskan.    Kedua, drama sebagai teater  
atau  pementasan  adalah seni  kolektif atau  pertunjukan yang siap
dipentaskan sehingga berfungsi sebagai tontonan pertunjukan.
b. Unsur-unsur Drama
1)  Unsur Instrinsik
Unsur-unsur drama pada dasarnya tidak jauh berberbeda dengan unsur-
unsur dalam  prosa fiksi.  Unsur-unsur tersebut  adalah plot atau alur,  
tokoh  atau karakter,  dialog, latar atau  setting. Apabila drama  sebagai
naskah  itu dipentaskan maka dilengkapi dengan unsur gerak atau
action,tata busana dan tata rias, tata panggung, tata bunyi atau suara,  
dan tata lampu atau sinar.  
a) Plot atau Alur  
Plot  atau alur  dalam drama  tidak jauh berbeda  dengan plot atau
alur  dalam prosa  fiksi. Drama  juga mengenal tahapan  plot, seperti
tahapan  permulaan (beginning), pertengahan (middle), menuju akhir
(ending). Dalam drama istilah tersebut  dikenal dengan nama
eksposisi,  komplikasi, dan  resolusi. Eksposisi mendasari  dan
mengatur  gerak dalam  masalah-masalah  waktu dan tempat.
Eksposisi  memperkenalkan  pelaku, yang akan  dikembangkan
dalam   bagian utama lakon  itu, dan memberikan suatu indikasi  
resolusi. Komplikasi  bertugas mengembangkan  konflik. Pelaku
utama  mengalami  gangguan, penghalang dalam  mencapai
tujuannya,  membuat kekeliruan,  yang akhirnya kita dapat meneliti  
tipe  manusia  bagaim anakah  sang tokoh itu.  Resolusi harus
berlangsung  secara logis  dan mempunyai hubungan  yang wajar
dengan  apa yang mendahuluinya, yang terdapat dalam komplikasi.
Butir yang memisahkan komplikasi  dari resolusi disebut dengan
klimaks  atau turning  point. Akhir pertunjukan mungkin berupa happy
end, mungkin sebaliknya unhappy-end.   
Plot dalam drama dapat disajikan dengan pelbagai jalinan, antara lain:   
(1)  Jalinan sirkuler, bila plot disusun dari peristiwa A dan akhirnya
kembali ke peristiwa  A. Misalnya, drama Aduh  karya Putu
Wijaya.  Drama tersebut dimulai  dengan datangnya orang yang  
sedang  sakit, lalu  berakhir pula dengan  sebuah adegan yang
sama  yaitu hadir  orang yag sedang  sakit, bahkan dengan
dialog yang persis sama dengan peristiwa sebelumnya.
(2)  Jalinan linear, bila plot disusun secara kronologis dari peristiwa A
sampai peristiwa Z.  
(3)  Jalinan  episodik,  bila jalinan  plotnya terpisah.  Maksudnya
dalam  satu drama mengandung dua atau lebih jalinan peristiwa  
 
46  Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional  J
b) Babak dan Adegan  
Dalam  drama plot  atau alur itu  dibagi di dalam  babak-babak dan
adegan-adegan.  Walaupun tidak sem ua,  kebanyakan naskah
drama  dibagi dalam beberapa  babak. Pembagian ke dalam  babak-
babak   itu dilakukan  dengan seksama oleh  pengarang, atas
pertimbangan  yang matang, yakni  didorong oleh kebutuhan  nyata.
Kebutuhan  berhubungan dengan pementasan,  karena peristiwa yang
dilukiskan tidak selamanya terjadi di satu tempat dan waktu. Itu berarti
para awak pementasan harus m engubah dan mempersiapkan
berbagai peralatan  yang dapat menggambarkan tempat  dan waktu
peristiwa. Jadi  satu babak dalam  naskah drama adalah  bagian
dari  naskah  drama itu  yang merangkum   semua peristiwa yang  
terjadi  di suatu  tempat dan  pada waktu tertentu.  Dengan kata lain
babak  adalah bagian  dari plot atau  alur dalam sebuah drama yang
ditandai oleh perubahan setting atau latar.  
Dalam satu babak dibagi lagi dalam beberapa adegan, yaitu bagian
dari babak yang  batasnya ditentukan  oleh perubahan peristiwa  
berhubung  datangnya atau  perginya seorang atau ebih  tokoh cerita
ke   atas pentas.  Yang tidak kalah pentingnya adalah dialog,  
sebagaimana telah dijelaskan  di atas. Dialog adalah bagian dari
naskah drama  yang berupa percakapan  antara satu tokoh dengan
yang  lain. Jadi,  adegan merupakan  bagian dari babak  yang
ditandai oleh perubahan jumlah tokoh ataupun perubahan masalah
yang dibicarakan.  
c)    Tokoh atau Karakter  
Tokoh  adalah pelaku  cerita yang menggerakan  plot dari suatu
tahapan  ke tahapan  lain. Kalau  drama sebagai  naskah
dipentaskan,  tokoh itu akan diperagakan  seorang pelaku atau
aktor.  Pada saat  itu, karakteristik  dari karakter-karakter  akan
semakin  jelas dan  hidup daripada  karakteristik tokoh dalam prosa
fiksi. Dalam  drama gambaran  tentang tokoh-tokoh  cerita akan
lebih  jelas dan konkret, juga akan leboh hidup. Hal tersebut  karena
dalan drama tokoh-tokoh itu ditampilkan secara jelas, dapat dilihat
bentuk tubuhnya, dapat diperhatikan gerak-geriknya,  dapat dilihat
mimik  atau gerak  raut mukanya,  bahkan dapat didengar suaranya.   
Seperti  halnya dalam  prosa, dalam drama  pun terdapat tiga jenis  
tokoh  bila dilihat dari  sisi keterlibatannya dalam  menggerakkan alur,
yaitu tokoh sentral, tokoh  bawahan, dan tokoh latar.  Tokoh sentral
merupakan  tokoh yang  amat potensial  menggerakkan alur.  Ia
merupakan  pusat cerita,  penyebab munculnya  konflik. Sedangkan
tokoh  bawahan  merupakan  tokoh yang  tidak begitu besar  
pengaruhnya  terhadap perkembangan  alur, walaupun ia terlibat
juga dalam  pengembangan  alur itu. Sedangkan  tokoh latar
merupakan  tokoh yang sama  sekali tidak berpengaruh  terhadap
pengembangan  alur. Kehadirannya  hanyalah sebagai pelengkap  
latar,  berfungsi  menghidupkan latar.  
d)    Dialog atau Percakapan  
S.  Effendi  dalam Liberatus  berpendapat bahwa  ciri utama sebuah
drama adalah  dialog. Hal tersebut   menandakan pentingnya dialog  
dalam  drama. Terdapat beberapa macam fungsi dialog dalam drama,
di antaranya yaitu:  
(1)  Melukiskan watak tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.  
(2)  Mengembangkan  dan menggerakan  plot serta m enjelaskan  isi
cerita drama kepada pembaca atau penonton.  
(3)  Memberikan isyarat peristiwa yang mendahului.  
(4)  Memberikan isyarat peristiwa yang  akan datang.
(5)  Memberikan  komentar terhadap  peristiwa yang sedang  terjadi
dalam drama tersebut.  
Ada  dua sifat  yang dimiliki  oleh dialog, yaitu  estetis dan alat
teknis. Sifat estetis terlihat pada saat  menyusun dialog. Menyusun
dialog hendaknya  tetap memperhatikan  keindahan bahasa tidak  
vulgar  dan bombastis.  Keindahan bahasa atau ketepatan bahasa
akan berpengaruh terhadap keindahan seluruh lakon.  Alat teknis,
maksudnya  dialog ini  memiliki fungsi  terentu dalam keseluruhan  
lakon.  Untuk itu,  dialog harus  memiliki sifat  komunikatif dan
mudah ditangkap maknanya oleh pembaca atau penonton.   
e)    Latar atau Setting  
Terdapat  tiga syarat yang harus  dipenuhi dalam drama, yaitu
kesatuan gerak (unity of action), kesatuan waktu (unity of time), dan
kesatuan tempat (unity of place). Berdasarkan hal itu, latar belakang  
tempat dan waktu dalam  drama itu sangat penting.  Latar belakang
tempat  dan waktu  inilah yang  sering disebut latar atau setting.
Penjelasan  bagaimana suasana,  tempat, dan waktu biasanya  
dalam  naskah drama  dituliskan. Bila  drama itu dipentaskan,  hal-
hal  tersebut  diwujudkan dalam bentuk tata panggung, tata lampu, dan
tata suara/bunyi.  
f)    Petunjuk Pengarang  
Bagian lain yang  ada dalam naskah drama adalah  petunjuk
pengarang,  yaitu bagian  yang memberikan  penjelasan kepada  
pembaca atau  kru pementasan mengenai  keadaan, suasana,
peristiwa,  perbuatan dan  sifat tokoh. Yang  ada dalam kurung dan  
yang  ditulis  dengan huruf  kapital adalah  petunjuk pengarang.  
Bagian  naskah lainnya  adalah prolog, yaitu  bagian naskah yang
ditulis pengarang pada bagian  awal, yang merupakan pengantar
naskah yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan atau
pendapat  pengarang tentang cerita yang  akan disajikan. Keterangan
itu  dapat  mengenai  masalah, gagasan, pesan,  jalan cerita, latar
belakang  cerita, tokoh  ceria, dan lain-lain  yang diharapkan dapat
membantu  pembaca memahami,  menghayati, dan menikmati cerita.  
Selain  itu ada  bagian lain  dari drama, yaitu  epilog. Epilog berisi  
kesimpulan pengarang mengenai  cerita. Jadi ada di belakang. Baik
prolog  maupun epilog dalam  naskah drama sekarang  sudah jarang
sekali  disertakan  oleh pengarang.  Pengarang masa kini  lebih
memberi  kebebasan  pembaca atau penonton  hingga mereka
merasa  tak perlu  menyertakan pendapat,  sikap, kesim pulan
pengarang tentang karyanya.  
g)    Gerak atau Action  
Terdapat  tiga komponen  ketika naskah drama  dipentaskan, yaitu
naskah drama, pelaku  atau aktor, dan penonton (audience).  Gerak
atau action  dalam drama merupakan  ekspresi dari aktivitas  para
tokoh  dalam drama  tersebut. Melalui  gerak, penonton akan  dapat
menafsirkan  secara konkret  watak dari masing-masing  tokoh.
Selain  itu, juga  dapat menikmati  rangkaian peritiwa yang dijalin
dalam drama tersebut secara nyata. Dalam  drama terdapat istilah
mimik,  pantomimik, dan  blocking. Mimik adalah gerak  raut muka
atau  gerak wajah.  Pantomimik adalah  gerak anggota tubuh yang  
lain,  misalnya  gerak tangan,  kaki, dan sebagainya.  Blocking
adalah posisi  aktor di atas  pentas. Gerak-gerak  tersebut harus
ditampilkan  secara efektif  dan selektif, jangan  sampai terjadi gerak
itu  berlebih-lebihan  (over acting).
h)    Tata Busana dan Tata Rias  
Tata  busana  dan tata  rias akan memperkuat  kesan dan watak
yang ditampilkan oleh seorang aktor. Fungsi tata busana dan tata rias
adalah:  
(1)  menunjukkan latar belakang sosial atau tingkat sosial tokoh;
(2)  menunjukkan usia tokoh; dan
(3)  menunjukkan latar belakang geografis dan kebudayaan tokoh.  
i)   Tata Panggung  
Tata  panggung  merupakan gambaran  di mana peristiwa dalam  
drama  itu terjadi  yang diwujudkan  secara jelas di atas  panggung.
Benda-benda  yang dipakai untuk  melengkapi dekorasi panggung  
dan  membantu  seluruh proses pementasan disebut propertis.  
j)    Tata Bunyi dan Tata Lampu  
Tata  bunyi dibedakan  atas efek bunyi dan  musik. Kedua-duanya
memiliki fungsi  yang sama, yaitu  untuk menghidupkan suasana   
dalam   drama. Yang termasuk  dalam efek bunyi adalah  bunyi
angin,  bunyi air,  bunyi hujan,    dan sebagainya. Musik  mampu
membangkitkan  imajinasi penonton  sehingga penafsiran terhadap
suasana cerita lebih tepat. Tata  lampu memiliki dua peranan, yaitu  
penyinaran  dan pencahayaan. Sebagai  sebuah penyinaran, tata
lam pu  berfungsi  memproduksi sinar  pentas agar situasi  pentas
tidak  gelap. Selain  itu, juga berfungsi  mengubah adegan satu ke  
adegan  lain. Sedangkan  sebagai sebuah pencahayaan,  tata
lampu mampu  menciptakan  efek dramatik.  Tata lam pu akan  
mem bantu  imajinasi penonton  untuk memasuki situasi  lakon yang
romantis,  yang tragis,  yang bergolak, dan sebagainya.
2)  Unsur Ekstrinsik
Di atas kita telah membicarakan unsur intrinsik yang membangun karya
sastra dari dalam, berikut ini akan dipaparkan unsur ekstrinsik, ialah unsur
luar yang dapat menjadi bahan pengarang dalam menciptakan karya
sastra atau menjadi pertimbangan bagi pembaca, antara lain biografi
pengarang, pemikiran, dan unsur sosial budaya masyarakatnya (Wellek &
Warren, 1989: 82-153).
a. Biografi Pengarang
 Menurut Wellek & Warren penyebab lahirnya suatu karya sastra
(termasuk drama) adalah pengarangnya sendiri. Itulah sebabnya
biografi sang pengarang dapat dipergunakan untuk menerangkan dan
menjelaskan proses terciptanya suatu karya sastra. Biografi pengarang
dianggap dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan
karya sastra atau sejauhmana biografi pengarang dapat memberi
masukan tentang penciptaan karyanya.
b. Pemikiran
 Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai
pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Dengan kata lain
sastra sering dianggap untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran
yang hebat, baik pemikiran psikologis ataupun falsafat.  
Secara langsung ataupun melalui kiasan-kiasan dalam karyanya,
kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran
filsafat tertentu, atau mengetahui garis besar ajaran paham-paham
tersebut.  
C. Sosial Budaya Masyarakat
Unsur ekstrinsik lain yang paling banyak dipermasalahkan adalah
unsur yang berkaitan dengan biografi pengarang yang menyangkut
latar sosial budaya masyarakat yang terkait dengan karya sastra. Hal
tersebut karena adanya hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat. Hubungan timbal balik itu di antaranya: (1)
menyangkut posisi sosial  masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang
bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping
mempengaruhi isi karya sastranya, yang disebutnya sebagai konteks
sosial pengarang; (2) menyangkut sejauh mana karya sastra dianggap
sebagai pencerminan keadaan masyarakat, yang disebutnya sebagai
sastra sebagai cermin masyarakat; dan (3) menyangkut sampai
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan
sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.
c.   Contoh Kritik Sastra Drama
Contoh Kritik Sastra Drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami?" Karya Seno
Gumira Adjidarma
Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” karya Seno Gumira Ajidarma
merupakan naskah drama tiga babak, yang dikemas dan diangkat dari
permasalahan di Jakarta. Kumpulan drama tersebut memaparkan sebuah kisah
nyata yang disajikan dalam dunia rekaan. Peristiwa ini menimbulkan
penderitaan bagi warga akibat tindak kerusuhan yang terjadi dan konflik sosial
antara pemerintah, gerilyawan, pejabat yang ingin berkuasa dan warga Jakarta.
Masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan naskah drama ini yaitu adanya
pemerkosaan, penculikan, penganiayaan masyarakat Jakarta yang dilakukan  
oleh orang yang ingin menguasai negara Indonesia. Dibuktikan dengan kutipan
berikut ini:
IBU
Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika
sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang
disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana
orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu.
(Ajidarma, 2001: 8).
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja.  
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil
menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es.
Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan? (Ajidarma, 2001: 26).
Naskah drama ini tokoh yang dimunculkan hanya seorang ibu dan bapak
bercerita tentang anaknya yang diculik oleh seorang pemerintah karena
kekritisan pemikiran yang dimiliki oleh anaknya, anaknya itu bernama Satria.
Naskah ini  dikarang pada masa penculikan aktivis sekitar tahun 1997/1998
pada masa Pemerintahan Orde Baru. Satria digambarkan sebagai seorang
anak yang manja, dan sangat dekat dengan ibunya. Kemanjaan itu muncul
karena Satria adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, akan tetapi ia memiliki
pemikiran yang kritis dan tajam. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini :
BAPAK
Kurus dan sakit-sakitan. Tapi pikirannya tajam (Ajidarma, 2001: 24).
BAPAK
Dia kan lebih dekat sama kamu bu!
IBU
Yah, anak itu, sudah segede itu masih suka cerita sambil tidur dipangkuanku.  
BAPAK
Anak mami!
IBU
Memang anak mami! Cerita macam-macam hal sambil tiduran. Impian-
impiannya, harapan-hrapannya, kekecewaannya, kepahitannya. Dia memang
peduli sekali dengan politik. Aku sendiri nggak suka ngerti omongannya. Aku
pernah bilang, hati-hati dengan politik. Kubilang “kamu datang dengan pikiran-
pikiran hebat, tapi orang bisa menyambut kamu dengan pikiran ingin
menyembelih. Dia bilang “politik yang dewasa tidak begitu bu. Setiap orang
harus mau mendengar pikiran orang lain. “aku bilang lagi, “pokoknya hati-hati,
di negeri ini politik selalu ebrarti kekerasan, bukan pemikiran.” (Ajidarma, 2001:
28).
Latar ceritanya berlangsung di sebuah ruangan di rumah mereka. Pada suatu
malam, pasca penculikan aktivis menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto.
Mereka memperbincangkan nasib anaknya dan berbagai kondisi lainnya dari
pukul 22.00 hingga 01.00 pagi sampai mereka tidak bisa tidur. Dalam drama ini
tokoh Bapak digambarkan memakai sandal kulit silang, ibu berselop tutup.
Bapak menonton TV, ibu membaca buku. Mereka sudah berusia paruh baya
sekitar 50-an, Bapak mengenakan kaos oblong putih dan sarung, sedangkan
ibu mengenakan kain dan kebaya Sumatera.
Melalui dialog kedua tokoh utama ini, munculah sejumlah karaker yang dapat
dikategorikan sebagai tokoh tambahan dalam drama ini. Tokoh-tokoh tersebut
antara lain:
o  Satria (anak bungsu mereka yang hilang diculik karena pemikirannya yang
kritis terhadap penguasa)
o  Si Mbok (orang tua yang mengalami trauma terhadap peristiwa pembantaian
tiga puluh tahun yang lalu)
o  Para tentara dan komandan (yang melakukan tindak penculikan terhadap
para aktivis sebagai bentuk melaksanakan perintah atasan guna
mengamankan negara)
o  Penguasa (yang mengidentikan dirinya sebagai negara)  
54  Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional  J
o  Saras (pacar Satria)
o  Ibu Saleha (ibu Saras, calon besan tokoh Ibu dan Bapak)
o  Yanti (orang yang memberikan kaos Hard Rock Cafe kepada Satria).
Tokoh Ibu dan Bapak dideskripsikan oleh pengarang sebagai mahapeserta
didik yang pernah ikut mogok makan dan demonstrasi. Hal ini dijelaskan pada
kutipan berikut.
BAPAK
Apa kamu tidak keras kepala? Siapa dulu yang mogok makan?
IBU
Yah, kan itu masih muda.
BAPAK
Waktu sudah tua juga! Siapa yang bawa poster di depan kantor menteri
wanita?
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja
(Ajidarma, 2001: 25).
Keadaan keluarga pada naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”
merupakan gambaran sebuah kelurarga yang hangat, harmonis serta penuh
kasih sayang. Hal ini dibuktikan pada kutipan dialog berikut ini :
IBU
Kalau satria bisa bertahan, kenapa aku ibunya tidak? Tapi aku merasa seolah-
olah ia masih berada di sini. Aku masih selalu menyiapkan sarapannya setiap
hari, siapa tahu dia pulang. Kamu tahu pak, dia selalu sarapan roti, pakai telur
isi ceplok setengah  matang dilapisi beef bacon yang kalau dia iris lantas
kuningnya meleler memenuhi piringnya. Lantas ia sapu dengan rotinya itu.
Minum kopi susu. Hampir tidak pernah bosan ia dengan telur. Tapi tidak pernah
ia jerawatan pak. Tahun belakangan ia sering tidak  pulang, tapi paling lama
juga dua-  tiga hari, itu pun selalu menelpon ke rumah. Sibuk rapat katanya.
Atau demo ini-itu. Aku selalu menyediakan vitamin karena tubuhnya kurus  
begitu. Tapi semangatnya itu pak, kalau sudah ngomong, waduh, matanya
berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan dalam penderitaan (Ajidarma, 2001: 24).
Tema drama ini yaitu mengenai kegelisahan kedua orang tua Satria yang
menunggu kembalinya Satria putra bungsu mereka yang hilang karena kasus
penculikan. Kedua orang Satria itu mempertanyakan apakah negara
(penguasa) berhak melakukan pembungkaman para pengkritiknya dengan cara
penculikan melalui aparatur negara?. Alur yang terdapat dalam naskah drama
ini yaitu menggunakan alur campuran, dimana pada awal cerita ada pada masa
sekarang, namun inti dari dialog ibu dan bapak menceritakan pada masa lalu.
Sudut pandang yang dipakai pengarang dalam drama ini yaitu menggunakan
sudut pandang orang ketiga. Amanat yang disampaikan pada naskah drama ini
yaitu bahwa kita harus tetap menegakan keadilan dan kebenaran terutama
untuk kepentingan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara.  
Lewat drama ini, pengarang telah melakukan konstruksi ideologis atau formasi
ideologi terhadap kelompok dominan yang dalam konteks kehidupan sosial
politik Indonesia yaitu pemerintah Orde Baru, pemerintahan Soeharto yang
neo-fasisme militer. Konstruksi yang dibangun atau proses strukturasi yang
dilakukan oleh drama ini yaitu berupa counter hegemoni atau resistensi
terhadap pihak penguasa.
Meski demikian drama ini tidak mendapat pelarangan atau pembredelan seperti
yang terjadi pada sejumlah karya sastra lainnya (seperti yang terjadi pada
pengarang Lekra) mengingat Seno Gumira Ajidarama adalah pengarang
hegemonik dalam kesusastraan Indonesia. Selain itu, drama bersifat imajinatif
bukan berita yang faktual.  
Jika dilihat dari segi sosial drama ini menggambarkan keadaan pemerintah
yang otoriter, tidak berpihak kepada rakyat hanya mementingkan kekuasaan
demi kelompok-kelompok yang merasa dirinya sebagai negara.
Dari segi hukum drama ini tidak mencerminkan dan menerapkan pancasila dan
UUD sebagai landasan negara Indonesia. Mereka dipaksa untuk sependapat,
jika ada yang memiliki pendapat yang sedikit menentang terhadap kekuasaan
pemerintahan maka pemerintah tidak akan segan-segan menangkap ataupun  
menculik orang tersebut. Bagi pemerintahan orang yang memiliki pemikiran
kritis itu sangatlah berbahaya. Berikut kutipan yang menjelaskan tentang hal ini.
BAPAK
Kritis. Kritis itu berbahaya bagi Negara.
IBU
Lho, kritis itu berguna untuk Negara.
IBU
Yang namanya kritis itu, di zaman apapun, di Negara manapun selalu berguna.
Kenapa dianggap berbahaya?
BAPAK  
Pada dasarnya sikap kritis memang berguna untuk Negara, tapi yang
menganggap berbahaya ini sebetulnya bukan Negara, melainkan orang-orang
yang me-ra-sa di-ri-nya adalah Negara! (Ajidarma, 2001: 15).
Dari segi moral penculikan tidak mencerminkan keprimanusiaan dan keadilan,
karena mereka merenggut kebebasan para aktivis menyuarakan pendapatnya.
Selain itu, mereka juga melakukan tindakan kekerasan  terhadap para aktivis
yang diculik. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.
BAPAK
Mereka bertanya sambil mengemplang. Bertanya sambil menyetrum. Mereka
menginginkan jawaban seperti yang mereka kehendaki. Interogasi kok seperti
itu. Maksa! Dan satria itu orangnya ngeyelan. Mana mau dia ngaku meski
disakiti
BAPAK
Kamu harus siap dengan penderitaan. Orang-orang yang dilepaskan bercerita
bagaimana mereka bukan Cuma ditanyai sambil dikemplang,  ditanyai sambil
diestrum. Belum bener juga lantas kepalanya dimasukkan ke air sampai
mereka megap-megap. Rata-rata pengalamannya hampir sama  (Ajidarma,
2001: 25).
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil
menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es.
Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan? (Ajidarma, 2001: 26).
Dari segi politik drama ini menggambarkan keadaan pemerintahan orde baru
yang penuh kekuasaan dibandingkan dengan masa pemerintahan sekarang
yang demokratis sehingga orang bebas berpendapat.  
Dari segi pendidikan naskah drama ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar,
karena dalam cerita ini para tokoh merupakan sosok yang pernah mengenyam
pendidikan perguruan tinggi sehingga mereka memiliki pemikiran-pemikiran
yang kritis terhadap apa yang terjadi.  Diharapkan bagi para pembaca dapat
melihat segi  positif dari tokoh Satria yang memiliki pemikiran kritis, agar
pembaca tidak merasa takut ataupun khawatir jika mereka ingin
mengungkapkan pendapat mereka.
Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira Ajidarma
ini dikaji dengan menggunakan jenis kritik historis, yaitu kritik sastra yang
mengadakan survei terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah
tertentu, ataupun menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta
menunjukkan hubungannya dengan kelompok tersebut, dan sebagainya
(Tarigan,1984: 206).  
Dalam pengkajiannya kami menyoroti tentang peristiwa-peristiwa pada tahun
1997-1998 yaitu peristiwa penculikan para aktivis ketika akan diadakannya
Pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1997 dan  Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 1998. Bagaiman konflik-konflik terjadi akibat kekuasaan politik.
Orang-orang yang berani menentang kekuasaan itu tidak segan-segan dihabisi,
mereka diculik dan diasingkan. Hal ini tercantum pada sumber lain, yakni
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara.
Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang
dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini (Wikipedia,
Penculikaan Aktivis 1997/1998).  
Dalam drama ini aktivis yang belum diketahui keberadaannya digambarkan
sebagai Satria yaitu anak dari tokoh Bapak dan Ibu. Hal ini tergambar pada
kutipan dialog berikut:
BAPAK
Gila! Mereka menculik anak kita! Bagaimana aku bisa lupa?  (Ajidarma, 2001:
21).
Penulis mengkaji dengan pendekatan historis karena pengarang pernah
menyaksikan baik secara langsung atau tidak terhadap peristiwa pada tahun
1997/1998, dikuatkan dengan latar belakang pengarang yang pernah menjadi
seorang waratawan pada salah satu surat kabar di Jakarta. Latar belakang
yang menunjang peristiwa ini lah pengarang berhasil menciptakan dan
menggarap nasakah drama yang bertajuk tentang kekerasan dan gambaran
peristiwa tahun 1997/1998. Meskipun karya sastra bersifat imajinatif, namun hal
itu tidak menjadikan pengarang menciptakan karya sastra semata-mata bersifat
imajinatif, akan sutau hal kejadian yang dialami atau dirasakan pengarang
melalui pengalamannya untuk menciptakan karya sastra tersebut. Naskah
drama ini merupakan bentuk kritikan terhadap pemerintahan masa Orde Baru
yang dinilai ada yang pro dan kontra. Pengarang menggambarkan kondisi
keluarga yang menjadi salah satu korban penculikan pada masa pemerintahan
tersebut, agar pemerintah menyadari betapa berharganya sebuah keutuhan
dalam berkeluarga.
Mengenai pengarangnya sendiri yaitu Seno Gumira Ajidarma dilahirkan  di
Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Puisinya
yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy
Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan
esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan
Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-
buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan. Pada  tahun
yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar
Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama
Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga
menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah  
berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan dijalani
Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.Selama menganggur, Seno kembali
ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut
Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah
sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali
diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi
majalah hiburan.  
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak,
kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi.Atas prestasinya di
bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan
dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari
majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari
harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran
Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga
Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya
Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan
cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write
Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997).
D.  Aktivitas Pembelajaran
1.  Pendahuluan
Silakan Anda pahami tujuan, kompetensi, dan  indikator pencapaian
kompetensi pada kegiatan pembelajaran ini supaya pembelajaran lebih terarah
dan terukur.
2.   Curah Pendapat
Pada kegiatan ini Anda diminta untuk menyebutkan berbagai masalah yang
dihadapi dalam pembelajaran, khususnya pada saat menulis kritik sastra.
Sebagai langkah awal dan agar kegiatan curah pendapat berjalan dengan baik,
Anda dapat mengisi pertanyaan berikut ini
3.  Telaah Materi
Masing-masing Anda dibagi ke dalam empat kelompok besar.   Masing-masing
anggota kelompok membentuk empat kelompok baru yang disebut kelompok
ahli, yaitu Kelompok Hakikat  kritik sastra, Kelompok Kritik Sastra Puisi,
Kelompok Kritik Sastra Prosa dan Kelompok kritik Sastra Drama.  Setelah itu,
setiap kelompok membaca, mengkaji, dan menelaah sumber belajar yang
berhubungan dengan hal yang ingin dipahami tersebut. Adapun sumber belajar
yang dirujuk adalah bahan bacaan  yang terdapat pada bagian uraian materi
dan sumber belajar lainnya yang relevan.
Setelah setiap kelompok ahli mengkaji dan menelaah masing-masing sumber
belajar  yang terkait, mereka diminta  kembali ke kelompok asal. Di kelompok
asal silakan Anda kerjakan LK 1.1, LK 1.2, LK 1.3, dan LK 1.4 sebagai laporan
hasil diskusi.
4.  Presentasi Materi
Setiap  kelompok  diminta untuk  mempresentasikan  hasil diskusinya dan
kelompok  lain menanggapinya.  Setelah selesai, guru  pemandu
memberikan penguatan.  Agar pembelajaran lebih  menarik dan kontekstual,
guru  pemandu memperlihatkan tayangan pementasan drama atau meminta
beberapa peserta untuk   mementaskan penggalan drama.  Penguatan guru
diarahkan berdasarkan tayangan atau pementasan penggalan drama tersebut.  
5.  Latihan Menulis Kritik Sastra
Bacalah kembali contoh kritik sastra pada bagian materi. Setelah itu, silakan
Anda berlatih menulis kritik sastra dan kerjakan di LK 1.5, LK 1.6, dan LK 1.7.
Kegiatan ini dapat Anda lakukan berkelompok (maksimal empat orang per
kelompok).  
•  Pernahkah Anda menulis kritik sastra, baik puisi, prosa, maupun drama?
•  Apakah Anda mengalami kesulitan dalam hal melakukan kegiatan tersebut?
Coba Anda sebutkan apa yang menyebabkannya?
•  Bagaimanakah teknik menulis kritik sastra?  
Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional  J 61
6.  Presentasi
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil latihannya dan kelompok
lain menanggapi. Setelah itu, fasilitator memberikan penguatan.  Agar
pembelajaran  lebih menarik  dan kontekstual, sebelum  memberikan
penguatan,  fasilitator meminta  peserta untuk membacakan dan memerankan
karya sastra yang dikritiknya tersebut.
7.  Penutup
Setelah mengerjakan semua LK, Anda dapat  mencocokan jawaban dengan
kunci jawaban yang tersedia  untuk mengukur dan menilai ketuntasan
pembelajaran. Langkah terakhir silakan Anda melakukan kegiatan refleksi
dengan menjawab pertanyaan pada bagian umpan balik dan tindak lanjut.

Rangkuman  
Secara etimologis, istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani 
yaitu  krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein
 ”menghakimi, membanding, menimbang”; kriterion yang berarti 
”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” 
Bentuk krites inilah  yang menjadi dasar kata kritik. Secara
 harafiah, kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki 
karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, 
memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.
Fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1. Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat 
membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini 
tersirat dalam ungkapan Rene wellek “karya sastra itu tidak dapat 
dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan 
prinsip-prinsip kritik sastra.”.
2. Untuk perkembangan kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra 
membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan 
menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan
 menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3.  Sebagai penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan 
penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan 
(mengsnalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar 
masyarakat umum dapat  mengambil manfaat kritik sastra ini bagi 
pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra. 
 Untuk menulis kritik sastra penulis harus memahami 
tahapan kritik yang sistematis
dan operasional sebagai berikut :
1.  Tahap Deskripsi karya sastra merupakan tahap kegiatan mamaparkan 
data apa adanya, misalnya  mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau
 novel berdasarkan urutan cerita, mendeskripsikan nama-nama tokoh
 utama dan tokoh-tokoh bawahan yang menjadi ciri fisik maupun
 psikisnya, mendata latar fisik  ruang dan waktu atau latar sosial
 tokoh-tokohnya,dan mendeskripsikan alur setiap bab atau setiap episode.  
2.  Tahap Penafsiran karya sastra merupakan penjelasan atau 
penerangan karya sastra. Menafsirkan karya sastra berarti menangkap
 makna karya sastra, tidak hanya menurut apa adanya, tetapi menerangkan 
juga apa yang tersirat dengan mengemukakan pendapat sendiri.  
3.  Tahap Analisis merupakan tahap kritik yang sudah menguraikan
 data. Pada tahap ini kritikus sudah mencari makna dan membanding-
bandingkan dengan karya sastra lain, dengan sejarah atau dengan
 yang ada di masyarakat.
4.  Tahap Evaluasi merupakan tahap akhir suatu kritik sastra. 
Dalam suatu evaluasi dapat dilakukan melalui pujian, seperti berbobot,
 baik, buruk, menarik, dan unik. Sebaliknya, dapat pula dilakukan 
pencemohan, ejekan, dianggap jelek dan tidak bermutu, serta tidak 
menyentuh nilai-nilai kemanusiaan. Jadi kritik sastra mencapai 
kesempurnaan setelah diadakan evaluasi atau penilaian.
Berdasarkan pendekatannya kritik sastra dibagi ke dalam empat  
jenis yakni kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
Kritik sastra puisi mengacu pada struktur pembangun puisi, yaitu diksi, 
gaya bahasa, pencitraan, dan persajakan. Kritik sastra prosa  mengacu
 pada sruktur pembangun prosa, yaitu setting, gaya bahasa, penokohan 
dan perwatakan, alur, titik pandang, tema, dan amanat. kritik sastra 
drama mengacu pada struktur pembangun drama, yaitu alur, babak 
dan adegan, tokoh atau karakter, dialog, latar, petunjuk pengarang, 
gerak action, tata panggung, dan tata bunyi.
    Menulis kritik sastra merupakan salah satu kompetensi yang harus 
dimiliki oleh seorang guru bahasa Indonesia. kompetensi ini tidak akan 
dimiliki jika tidak memilki atau memahami konsep tetang sastra secara 
utuh, baik puisi, prosa, maupun drama. Oleh karena itu, pengembangan 
materi dan pembelajaran pada modul ini diarahkan untuk mempelajari
 hal tersebut. Penjelasan konsep dan pembelajaran  dalam modul ini 
diharapkan dapat membangkitkan kembali pemahaman tehadap 
konsep puisi, prosa, dan drama Selain itu, agar pembelajaran berlatih 
menulis kritik lebih mudah, modul ini memberikan contoh kritik 
sastra puisi, prosa, dan drama. Dengan tuntasnya mempelajari 
materi dalam modul ini, Anda diharapkan tidak lagi menjadi 
penghambat di dalam pengembangan pembelajaran efektif 
di kelas. Apalagi materi tersebut tidak bisa hindari. Guru 
sepatutnya mendapatkan pemahaman terhadap kompetensi  
tersebut secara ideal sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
http://greanfiction.blogspot.co.id/2014/04/kritik-sastra-puisi-aku.html
http://imehhatimah.blogspot.co.id/2013/06/kritik-historis-pada-naskah-drama.html)
https://niningpujiastuti.wordpress.com/2012/12/28/pengertian-kritik-sastra/
http://id.shvoong.com/social-sciences/1687586-seno-gumira-
ajidarma/#ixzz1wEggdc30/29/05/2012/12:45
I. G. A. K. Wardani. 1984. Pengajaran Apresiasi Prosa. Departemen P dan K.
Luxemburg, Jan Van dkk, 1986. Pengantar Ilmu Sastra  (Terjemahan Dick Hartoko).
Jakarta: Gramedia.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of  Literature. London: Longman Group LTD.
Padmodarmaya, Pramana. 1990. Pendidikan Seni Teater Buku Guru Sekolah Dasar .
Jakarta: Depdikbud.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009.  Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University  Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta: Pustaka Jaya.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Adang : Sridharma.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.
Sudjiman, Panuti. (Peny). 1986.  Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumiyadi. 1992.  “Drama sebagai Seni Sastra dan Pertunjukan” dalam  Mimbar
Pendidikan Bahasa dan Seni No. XVIII.
Tarigan, Henri Guntur. 1984. Prisip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A.  1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi.
Flores-NTT: Nusa Indah.  
Tjahjono,  Liberatus Tengsoe  dan Heny Subandiyah.  2003. Pengembangan
Kemampuan  Membaca Sastra  Bahan Pelatihan Terintegrasi  Guru SMP.
Jakarta: Depdiknas, Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah.
Waluyo, Herman J.. 2001. Teori Drama dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989.  Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia.
www.pustaka.com/temaskripsi/naskah+drama+mengapa+kau+culik+anak+kami/29/05/2012/14:18
Zaidan, Abdul Razak. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka

GLOSARIUM


drama: bentuk karya sastra yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan 
manusia melalui gerak percakapan di atas panggung ataupun suatu karangan 
yang disusun dalam bentuk percakapan dan dapat yang dipentaskan.
ekspresi: mengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan 
atau   menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb)
karakter  : ciri, sifat diri, akhlak atau budi pekerti, kepribadian dari  
 seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik.
penokohan adalah permasalahan bagaimana cara menampilkan tokoh
point of view  adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
struktur lahir puisi: metode puisi dan struktur fisik puisi
dramatic-action,  adalah dialog yang mampu menimbulkan pertentangan di antara
tokoh protagonis dan tokoh antagonisnya
klimaks/krisis,  titik balik yang terjadi pada tokoh protagonis dan pada titik inilah
biasanya perhatian penonton mencapai puncak emosinya
konflik, merupakan pertentangan antara dua kekuatan atau dua tokoh dalam drama
yang dapat terjadi dalam diri seorang tokoh, antara seorang tokoh dengan
masyarakatnya dan antara dua orang tokoh yang masing-masing mencoba
memaksakan kehendaknya kepada orang lain
penokohan,  adalah proses penampilan tokoh-tokoh dengan pemberian watak, sifat,
atau kebiasaan tokoh pemeran dalam drama
setting  (b. Inggris), dialihbasakan menjadi latar, adalah segala keterangan mengenai
waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam drama
tipografi adalah bentuk/susunan larik-larik dalam puisi
Tokoh,  adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan  di dalam
berbagai peristiwa di dalam cerita drama