WELCOME

SELAMAT BERKUNJUNG DI GURU BAHASA INDONESIA SMKN 10 MALANG SEMOGA DAPAT BERMANFAAT"

Minggu, 18 Januari 2015

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia



            Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia di atas dunia ini, karena dengan bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya dan bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Adapun bahasa dapat digunakan apabila saling memahami atau saling mengerti erat hubungannya dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami maksud dan tujuan orang lain berbahasa atau berbicara apabila kita mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan. Untuk itu keseragaman berbahasa sangatlah penting, supaya komunikasi berjalan dengan lancar.
Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: “ Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoengjoeng bahasa persatoean, bahasa indonesia: dan apada Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tecantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”.
Maka daripada itu bangsa Indonesia pada tahun 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan sampai sekarang pemakaian bahasa Indonesia makin meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan.
Kita sebagai calon pendidik harus dapat memelihara bahasa Indonesia ini, mengingat akan arti pentingya bahasa untuk mengarungi kehidupan masa globalisasi, yang menuntut akan kecerdasan berbahasa, berbicara, keterampilan menggunakan bahasa dan memegang teguh bahasa Indonesia, demi memajukan bangsa ini, supaya bangasa kita tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Maka dari itu disini penulis akan mencoba menguraikan tentang “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.”

1.  Kedudukan Bahasa Indonesia
             Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi : “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoeng-djoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menytakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Inedonesia”. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
             Patokan yang pertama, yakni jumlah penutur, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamaatau bahasa kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal. Pertama arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta.
           Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Keempat, orang tua masa kini yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia. Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari pucuk utara sa,pai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri  seperti di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filipina, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Perancis, Rusia dan Selandia Baru.
          Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebgai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan udaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang serta bahasa daerah yang berbeda-beda.
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakata atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya.

2. Ragam Bahasa
          Ragam yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur.
Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal, berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televise, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri.
Logat daerah yang paling kentra karena tata bunyinya yang mudah dikenali. Logat Indonesia-Batak yang dilafalkan oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya, karena tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali karena pelafalan bunyi /t/ dan /d/-nya. 
             Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tentu ada juga walaupun mungkin kurang tampak. Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang bersilangan ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah. Bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks yang dikenal di dalam ragam orang yang terpelajar, bervariasi dengan padil, pakultas, pilem, pitnh, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati pendidikan yang cukup di sekolah.
              Perbedaan kedua ragam itu juga tampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau tulis itu surat ke pamanku cukup jells maksudnya, tetapi bahasa yang apik menuntut agar bentuknya menjadi Saya mau menulis surat itu kepada paman saya. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak tiap kalimat Indonesia termasuk kalimat yang apik.  Badan pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televise, mimbar agama, dan profesi ilmiah hendaknya menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan yang lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku.
            Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini yang dapat disebut langgam atau gaya.pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadaporang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Misalnya, gaya bahasa kita jika kita memberikan laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, atau mengobrol dengan sahabat karib.
           Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam : ragam dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan; ragam menurut sarannya; dan ragam yang mengalami pencampuran.
Orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.
           Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam tulisan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara ragam lisan dan ragam tulisan. Yang pertama berhubungan dengan suasana peristiwanya. Jika kita menggunakan ragam tulisan, kita beranggapan bahwa orang yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita, sehingga perlu diperhatikan fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek dan hubungan di antara fungsi itu masing-masing harus nyata. Sedangkan dalam ragam lisan karena penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur  itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
           Hal yang kedua, yang membedakan ragam lisan dari ragam tulisan berkaitan dengan beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran, misalnya tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Misalnya, ujaran Darto tidak mengambil uangmu, yang disertai pola intonasi khusus pada kata tidak, dalam tulisan mungkin dapat berbentuk Bukan Darto yang mengambil uangmu agar penegasannya sama tarafnya.

3. Ciri Situasi Diglosia
           Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana kepustakaan dan kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakt bahasa seperti halnya dengan bahasa Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh dalam berbagai rupa dialek rakyat. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah.
        Di dalam situasi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi gramatikal tentang ragam yang tinggi. Situasi diglosia itu pulalah yang menjelaskan mengapa setakat ini ada pernedaan yang cukup besar di antara pemakaian bahasa Indonesia ragam tulisan di satu pihak dan ragam tlisan di pihak yang lain. Jika penutur bahasa Indonesia dewasa ini berkata bahwa bahasa Indonesia termasuk golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk ke ragam pokok yang rendah yang dimahirinya. Jika ia berkata bahwa bahasa Indonesia itu sulit yang dimaksudkannya agaknya ragam poko yang tinggi.

4.  Pembakuan Bahasa
           Dengan latar kerangka acuan kediglosiaan yang diuraikan di atas, masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau yang memang dianggap tidak perlu diperhitungkanbagi keberhasilan usaha pembakuan itu. Hal yang sehubungan dengan itu yang perlu dibahas, misalnya ialah norma bahasa yang mana yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma itu.
           Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih karena di samping berbagi inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.

5. Bahasa Baku
           Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak, bukan pengrajin dan pengrusak.
         Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaan-nya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraph, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal.  
           Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah cirri ketiga ragam bahasa yang baku.

6. Fungsi Bahasa Baku
          Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif :
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi pemberi kekhasan,
(3) fungsi pembawa kewibawaan, dan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.
          Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh mayarakat.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu darfi bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri.
          Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya morma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Bhasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata, iklan dan tajuk berita.

7. Bahasa Baik dan Benar
             Jika bahasa sudah baku dan standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar.
            Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar menawar di pasar, misalnya pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan.
           Akan sangat ganjil bila dalam tawar menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku.Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupkan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.

B.  Beberapa Pengertian Dasar
1.   Pengertian tentang Berbagai Bunyi
a.   Fonem, Alofon, Grafem
Tiap bahasa diwujudkan oleh bunyi. Karena itu, telaah bunyi di dalam tata bahasa selalu mendasari telaah tulisan atau tata aksara yang tidak selalu dimiliki bahasa manusia. Namun, bukan sembarang bunyi yang menjadi perhatian ahli bahasa. Ia hanya menyelidiki bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berperan di dalam bahasa. Bunyi itu disebut bunyi bahasa. Di antara bunyi-bunyi itu, ada yang sangat berbeda kedengarannya dan ada yang mirip kedengarannya. Bunyi bahasa yang minimal membedakan bentuk dan makna kata dinamakan fonem.
Dengan demikian, fonem /p/ dalam bahasa Indonesia mempunyai dua variasi. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti kata dinamakan alofon.
Jika kita berbicara tentang fonem, kita berbicara tentang bunyi. Sedangkan jika kita berbicara tentang grafem kita berbicara tentang huruf. Grafem dituliskan di antara dua kurung siku < … >. Memang benar bahwa seringkali representasi tertulis kedua konsep ini sama. Misalnya, untuk menyatakan benda yang dipakai untuk duduk, kita menulis kata kursi dan mengucapkannya pun /kursi/ – dari segi grafem ada lima satuan, dan dari segi fonem juga ada lima satuan. Akan tetapi, hubungan satu-lawan-satu seperti itu tidak selalu kita temukan. Grafem , misalnya, dapat mewakili fonem /e/ seperti pada kata sore dan fonem /e/ seperti pada kata besar. Sebaliknya, fonem /f/ bisa pula dinyatakan dengan dua grafem yang berbeda, misalnya pada contoh berikut
b.  Gugus dan Diftong
Pengertian dasar mengenai gugus dan diftong adalah sama. Perbedaannya ialah bahwa gugus berkaitan dengan konsonan, sedangkan diftong dengan vokal.
Gugus adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang termasuk dalam satu suku kata yang sama. Jika gabungan konsonan seperti itu termasuk dalam dua suku kata, maka gabungan itu tidak dapat dinamakan gugus. Jadi, /kl/ dan /kr/ dalam /klinik/ dan /pokrol/ adalah gugus karena /kl/ dan /kr/ masing-masing termasuk dalam satu suku kata, yakni /kli-/ dan /-krol/. Memang benar bahwa kedua pasang bunyi itu dapat berjejeran, tetapi kedua fonem pasangan itu termasuk suku kata yang berbeda seperti terlihat pada kata /tam-pak/, /tim-pa/, /ar-ca/, dan /per-ca-ya/.
Diftong juga merupakan gabungan bunyi dalam satu suku kata, tetapi yang digabungkan adalah vokal dengan /w/ atau /y/. Jadi, /aw/ pada /kalaw/ dan /banjaw/ (untuk kata kalau dan bangau) adalah diftong, tetapi /au/ pada /mau/ dan /bau/ (untuk kata mau dan bau) bukanlah diftong.
Fonem /aw/ pada kata kalau dan bangau termasuk dalam satu suku kata, yakni masing-masing /ka-law/ dan /ba njaw/; fonem-fonem /a/- /u/ pada kata mau dan bau masing-masing termasuk dalam dua suku kata yang berbeda, yakni /ma-u/ dan /ba-u/.
c.   Fonotaktik
Dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri atas rentetan bunyi: yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu dapat mengikuti fonem yang lain ditentukan berdasarkan konvensi di antara para pemakai bahasa itu sendiri. Kaidah yang mengatur penjejeran fonem dalam satu morfem dinamakan kaidah Fonotaktik.


2.  Pengertian tentang Pembentukan Kata
a.  Morfem, Alomorf, dan (Kata) Dasar
Morfem adalah suatu bentuk bahasa yang tidak mengandung bagian-bagian yang mirip dengan bentuk lain, baik bunyi maupun maknanya. (Bloomfield, 1974: 6).
Morfem adalah unsur-unsur terkecil yang memiliki makna dalam tutur suatu bahasa (Hookett dalam Sutawijaya, dkk.). Kalau dihubungkan dengan konsep satuan gramatik, maka unsur yang dimaksud oleh Hockett itu, tergolong  ke dalam satuan gramatik yang paling kecil.
Morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk sebuah bentuk yang belum diketahui statusnya (misal: {i} pada kenai); sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui statusnya (misal [b¶r], [b¶], [b¶l] adalah alomorf dari morfem ber-. Atau bias dikatakan bahwa anggota satu morfem yang wujudnya berbeda, tetapi yang mempunyai fungsi dan makna yang sama dinamakan alomorf. Dengan kata lain alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam penuturan) dari sebuah morfem. Jadi setiap morfem tentu mempunyai almorf, entah satu, dua, atau enam buah. Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama tersebut  disebut alomorf.
Ada banyak ragam pembentukan kata dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Untuk memahami cara pembentukan kata-kata tersebut kita sebaiknya mengetahui lebih dahulu beberapa konsep dasar dan istilah seperti yang dijelaskan di bawah ini. Untuk mempersingkat dan memperjelas  pembahasannya, kami menggunakan kata-kata yang tidak bersifat gramatikal atau teknis untuk menjelaskan kata-kata tersebut sebanyak mungkin. Kami tidak membahas tentang infiks (sisipan yang jarang digunakan), reduplikasi dan kata-kata majemuk yang berafiks. 
b.  Analogi
Pembentukan kata pendaratan dan pertemuan dikaitkan dengan mendarat dan bertemu. Kesamaan pola pembentukan berdasarkan contoh itu disebut analogi.
c. Proses Morfofonemik
Proses perubahan bentuk yang disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan dinamakan proses morfofonemik.
d. Afiks, Prefiks, Sufiks, Infiks, dan Konfiks
Kata dasar (akar kata) = kata yang paling sederhana yang belum memiliki imbuhan, juga dapat dikelompokkan sebagai bentuk asal (tunggal) dan bentuk dasar (kompleks), tetapi perbedaan kedua bentuk ini tidak dibahas di sini.
Afiks (imbuhan) = satuan terikat (seperangkat huruf tertentu) yang apabila ditambahkan pada kata dasar akan mengubah makna dan membentuk kata baru. Afiks tidak dapat berdiri sendiri dan harus melekat pada satuan lain seperti kata dasar. Istilah afiks termasuk prefiks, sufiks dan konfiks.
Prefiks (awalan) = afiks (imbuhan) yang melekat di depan kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.
Sufiks (akhiran) = afiks (imbuhan) yang melekat di belakang kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.
Konfiks (sirkumfiks / simulfiks) = secara simultan (bersamaan), satu afiks melekat di depan kata dasar dan satu afiks melekat di belakang kata dasar yang bersama-sama mendukung satu fungsi.
Kata turunan (kata jadian) = kata baru yang diturunkan dari kata dasar yang mendapat imbuhan.
Keluarga kata dasar = kelompok kata turunan yang semuanya berasal dari satu kata dasar dan memiliki afiks yang berbeda.
e.  Afiks Homofon
Afiks homofon: afiks yang wujud atau bunyinya sama, tetapi merupakan dua morfem atau lebih yang berbeda, misalnya se- pada kata setiba, seratus, sebesar; Afiks terbuka: afiks yang hasil penerapannya masih dapat memperoleh afiks lain; afiks per- pada kata pergunakan merupakan afiks terbuka; Afiks tertutup: afiks yang hasil penerapannya tidak dapat dibubuhi afiks lain: afiks di- pada kata dimengerti merupakan afiks tertutup. 
f.  Verba Transitif dan Taktransitif
Pengelompokan verba menurut perilaku sintaksis ditentukan dari adanya nomina sebagai objek dari kalimat aktif serta kemungkinan objek tersebut berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (verba transitif dan taktransitif).
1) Verba transitif: memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek tersebut juga berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
a)  Verba ekatransitif: diikuti satu objek.
b)  Verba dwitransitif: diikuti dua nomina, satu sebagai objek dan satunya sebagai pelengkap.
c)  Verba semitransitif: objeknya boleh ada dan boleh tidak (manasuka/opsional).
2)  Verba taktransitif: tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
a)  Verba taktransitif tak berpelengkap
b)  Verba taktransitif berpelengkap wajib
c)  Verba taktransitif berpelengkap manasuka
d)  Verba taktransitif berpreposisi
3.  Pengertian tentang Kalimat
Tiap kata dalam kalimat mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan (1) Kategori sintaksis, (2) fungsi sintaksis, dan (3) peran semantisnya.
a.  Kategori sintaksis
Dalam bahasa indonesia kita memiliki empat kategori sintaksis utama (1) verba atau kata kerja (2) nomina atau kata benda (3) adjektiva atau kata sifat (4) adverbial atau kata keterangan.
b.  Fungsi sintaksis
Setiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yag ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek, pelengkap dan keterangan. Disamping itu ada fungsi atributif (yang menerangkan), koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat).
c. Macam Ragam kalimat
Kalimat tunggal adalah kalimat yang proposisinya satu dan karena itu predikatnya pun satu, satu karena merupakan predikat majemuk.
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas lebih dari satu proposisi sehingga mempunyai paling tidak dua predikat yang tidak dapat dijadikan suatu kesatuan.
Kalimat majemuk bertingkat adalah satu merupakan induk, sedangkan yang lain keterangan tambahan.
4. Pengertian tentang Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
Kohesi dan koherensi adalah dua unsur yang menyebabkan sekelompok kalimat membentuk kesatuan makna. Kohesi merujuk pada keterkaitan antar proposisi yang secara eksplisit diungkapkan oleh kalimat-kalimat yang digunakan. Koherensi mengaitkan mengaitkan dua proposisi atau lebih, tetapi keterkaitan di antara proposisi-proposisi tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang dipakai.
Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan.
Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya.
Katafora adalah rujuk silang terhadap anteseden yang ada dibelakangnya.
Pengacuan dan/atau referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud yang meliputi benda atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa itu.
Konstruksi Endosentrik adalah frasa yang salah satu konsituennya dapat dianggap yang paling penting. Konstituen itu yang disebut inti, dapat mewakili seluruh kontruksi endosentrik dan menentukan perilaku sintaksis dan/ atau semantik frasa itu di dalam kalimat.
Konstruksi Eksosentris tidak mempunyai konstituen inti karena tidak ada konstituen yang dapat mewakili seluruh kontruksi itu.

C. Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi
1. Beberapa Pengetian Tentang Bunyi Bahasa
            Getaran udara yang masuk ke telinga dapat berupa bunyi atau suara. Bunyi sebagai getar udara dapat pula merupakan hasil yang dibuat oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir. Bunyi bahasa yang dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud dalam nyanyian atau tuturan.
a. Bunyi yang Dihasilkan oleh Alat Ucap
Dalam penbentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran. Bunyi-bunyi bahasa Indonesia diuraikan berdasarkan cara bunyi-bunyi tersebut dihasilkan oleh alat ucap.

b. Vokal dan Konsonan
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran udara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni vokal dan konsonan.
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami hambatan. Bunyi vokal dalam bahasa Indonesia berjumlah enam, yakni [a], [i], [u], [é], [o], dan [e] (Marsono dalam Novi Resmini, 2006: 33). Vokal ini dibentuk berdasarkan pada posisi bibir, tinggi rendahnya lidah, dan maju mundurnya lidah.
Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Bunyi konsonan dalam bahasa Indonesia berjumlah 20 buah, yakni [p], [b], [m], [f], [v], [t], [d], [n], [l], [r], [c], [j], [s], [k], [g], [x], [h], [z], [η/ng], dan [ñ/ny] (Resmini, 2006: 60). Konsonan dibentuk berdasarkan cara artikulasi atau tempat artikulasi; strukturnya; dan bergetarnya pita suara.

c. Diftong
Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri bersama dan pada saat diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan vokal dengan diftong adalah terletak pada cara hembusan napasnya.
d. Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku yang sama. Bunyi [pr] pada kata praktek merupakan gugus konsonan karena berada pada satu suku kata, prak-tek. Namun tidak semua deret konsonan membentuk gugus konsonan seperti pt pada kata cipta merupakan bukan gugusan konsonan karena pt berada pada suku kata yang berbeda, cip-ta.

e. Fonem dan Grafem
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna.
Fonem dalam bahasa mempunyai beberapa macaam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Contoh fonem adalah pasangan minumal dari beberapa kata seperti pagi-bagi, tua-dua, pola-pula, dan pita-peta. Bunyi [p] dan [b] dalam contoh pagi-bagi adalah dua fonem.
Fonem harus dapat dibedakan dari grafem. Fonem merujuk pada bunyi bahasa, sedangkan grafem merujuk pada huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem ejaan.
Contoh, kata hangus dari segi fonem terdiri dari /h/, /a/, / η /, /u/, /s/ sedangkan grafemnya terdiri dari , , , , dan .
f.  Fonem Segmental dan Suprasegmental
Fonem vokal dan konsonan merupakan fonem segmental karena dapat diruas-ruas. Fonem tersebut biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmental seperti tekanan, jangka dan nada. Di samping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme.

g.  Suku Kata
Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas dan biasanya terdiri dari beberapa fonem. Beberapa contoh suku kata adalah sebagai berikut.
Pergi            per-gi
Ambil          am-bil
8.  Bunyi Bahasa dan Tata Bunyi Bahasa Indonesia
a.  Vokal dalam Bahasa Indonesia
Fonem vokal dalam bahasa Indonesia berjumlah enam, yakni [a], [i], [u], [é], [o], dan [e] (Marsono dalam Novi Resmini, 2006: 33). Bagan 2.1 memperlihatkan keenam vokal berdasarkan parameter tinggi-rendah, dan depan-belakang lidah.
 Tinggi                      i               u
Sedang                       é              e                 o
Rendah                       a

           Fonem /i/ adalah fonem tinggi-depan dengan kedua bibir agak terentang ke samping. Fonem /u/ merupakan vokal tinggi tetapi meninggi di belakang lidah. Vokal diucapkan dengan kedua bibir agak maju dan sedikit membundar.
Fonem /é/ dibuat dengan daun lidah dinaikkan tetapi agak lebih rendah dari fonem/i/. Vokal sedang-depan diiringi dengan bentuk bibir yang netral, artinya tidak terentang dan juga tidak membundar.
              Bentuk bibir untuk /o/ kurang bundar jika dibandingkan dengan /u/. Lain halnya dengan /é/, dan /o/, fonem /e/ adalah vokal sedang-tengah. Bagian lidah yang agak dinaikkan adalah bagian tengah dan bentuk bibir netral.
Satu-satunya vokal rendah dalam bahasa Indonesia adalah /a/ dan merupakan vokal tengah. Vokal /a/ diucapkan dengan bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar.

1)  Diftong
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga buah diftong yakni /ay/, /aw/, dan /oy/ yang masing-masingnya ditulis: ai, au, dan oi. Diftong merupakan deret dua vokal yang tidak dapat dipisahkan.
Diftong                    : amboi            am-boi
                                   santai             san-tai
                                   harimau         ha-ri-mau
Deret vokal biasa     : dia                 di-a
                                   soal                so-al
                                   kue                ku-e

2)  Cara Penulisan Vokal Bahasa Indonesia
Penulisan vokal bahasa Indonesia berkenaan dengan fonem vokal itu sendiri adalah sebagai berikut.
a)  Fonem /a/ ditulis dengan huruf a sehingga fonem selalu ditulis dengan huruf itu.
b)  Fonem /e/ dan /é/ diwakili oleh huruf e.
c)  Fonem /u/ diwakili oleh huruf u
d)  Fonem /i/ diwakili oleh huruf i
e)  Fonem /o/ diwakili oleh huruf o
Sedangkan untuk penulisan diftong /ay/, /aw/, dan /oy/ masing-masing ditulis dengan huruf ai, au, dan oi.
b.   Konsonan dalam Bahasa Indonesia
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor, yakni daerah srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan keluarnya udara. Berikut ini klasifikasi konsonan tersebut:
1) Berdasarkan daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio dental, apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal;
2) Berdasarkan cara artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar, lateral, nasal, dan semi-vokal;
3) Berdasarkan keadaan pita suara : konsonan bersuara dan konsonan tak bersuara;
4) Berdasarkan jalan keluarnya udara : konsonan oral dan konsonan nasal.

Berikut ini penjelasan cara-cara pembentukan konsonan.
1)  Konsonan Hambatan Letup Bilabial
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawahdan artikulator pasifnya bibir atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [p, b].
Artikulasi Hambatan Letup Bilabial [p, b]
Keterangan:
a) Langit-langit lunak beserta anak tekak dinaikkan. Bibir bawah menekan rapat pada bibir atas, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
b) Bibir bawah yang menekan rapat pada bibir atas secara tiba-tiba dilepaskan. Maka terjadilah letupan udara yang keluar dari rongga mulut.

2) Konsonan Hambatan Letup Apiko-Dental
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya gigi atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [t, d].
Artikulasi Hambatan Letup Apiko-Dental [t, d]
Keterangan:
a) Langit-langit lunak beserta anak tekak dinaikkan. Ujung lidah menekan padagigi atas bagian dalam, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
b) Ujung lidah yang menekan rapatpada gigi atas itu secara tiba-tiba dilepaskan. Maka terjadilah letupan udara yang keluar dari rongga mulut.

3) Konsonan Hambatan Letup Medio-Palatal
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah tengah lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [c, j].
Artikulasi Hambatan Letup Medio-Palatal [c, j]
Keterangan:
a) Tengah lidah menekan rapat pada langit-langit lunak.
b)  Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
c) Secara tiba-tiba tengah lidah yang merapat kemudian dilepaskan maka terjadilah letupan udara sehingga udara yang keluar dari mulut.


4) Konsonan Hambatan Letup Dorso-Velar
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [k, g].
Artikulasi Hambatan Letup Dorso-Velar [k, g]
Keterangan:
a) Pangkal lidah menekan rapat pada langit-langit lunak. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat.
b) Secara tiba-tiba pangkal lidah yang merapat kemudian dilepaskan maka terjadilah letupan udara sehingga udara yang keluar dari mulut.

5) Konsonan Nasal Bilabial
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya bibir atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [m].
a) Bibir bawah menewkan rapat pada bibir atas. Oleh karena itu, udara keluar dari rongga hidung, bukan rongga mulut.
b) Pita suara ikut bergetar.

6) Konsonan Nasal Apiko-Alveolar
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya gusi bagian belakang. Bunyi yang dihasilkan adalah [n].
Artikulasi Nasal Apiko-Aveolar [n]
Keterangan:
a)  Ujung lidah ditekankan pada gusi bagian belakang. Udara keluar melalui rongga hidung.
b)  Pita suara bergetar.

7)  Konsonan Nasal Medio-Palatal
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan adalah [ñ/ny].


7 Artikulasi Nasal Medio-Palatal [ñ/ny]
Keterangan:
a)  Pangkal lidah ditekankan pada langit-langit keras. Oleh karena itu, udara keluar dari rongga hidung, bukan rongga mulut.
b)  Pita suara ikut bergetar.

8) Konsonan Nasal Dorso-Velar
Konsonan ini terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [η/ng].
Artikulasi Nasal Dorso-Velar [η/ng]
Keterangan:
a)  Pangkal lidah ditekankan pada langit-langit lunak. Oleh karena itu, udara keluar dari rongga hidung, bukan rongga mulut.
b) Pita suara ikut bergetar.

9) Konsonan Lateral
Konsonan ini dibentuk dengan menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar melalui kedua sisi atau satu sisi saja. Bunyi yang dihasilkan adalah [l].
Artikulasi Konsonan Leteral [l]
Keterangan:
a) Ujung lidah dan kedua sisi daun lidah menyentuh rapat pada gusi bagian belakang sehingga arus udara melalui tengah mulut terhalang.
b) Udara keluar melalui kedua (salah satu) sisi lidah yang tidak bersentuhan dengan langit-langit.
c) Pita suara bergetar.

10) Konsonan Gesekan Labio-Dental
Konsonan ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya gigi atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [f, v].
Artikulasi Konsonan Gesekan Labio-Dental [f, v]
Keterangan:
a)  Udara tidak keluar melalui rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut.
b)  Bibir bawah ditekankan pada gigi atas. Dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Oleh karena itu, udara keluar secara bergeser melalui sela-sela bibir dengan gigi dan melalui lubang-lubang di antara gigi.

11)   Konsonan Gesekan Lamino-Alveolar
Konsonan ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah daun lidah dan artikulator pasifnya gusi bagian belakang. Bunyi yang dihasilkan adalah [s, z].
Artikulasi Konsonan Gesekan Lamino-Alveolar [s, z]
Keterangan:
a) Udara tidak keluar melalui rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut.
b) Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi bagian belakang. Dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Oleh karena itu, udara keluar secara bergeser.
c)  Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan. Mulut tidak terbuka lebar.

12)    Konsonan Gesekan Dorso-Velar
Konsonan ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan adalah [x].
Artikulasi Konsonan Gesekan Dorso-Velar [x]
Keterangan:
a) Udara tidak keluar melalui rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut.
b) Pangkal lidah ditekankan pada langit-langit lunak. Dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Oleh karena itu, udara keluar secara bergeser.
c)   Pita suara tidak ikut bergetar.

13)  Konsonan Gesekan Apiko-Alveolar
Konsonan ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya gusi bagian belakang. Bunyi yang dihasilkan adalah [r].
Artikulasi Konsonan Gesekan Apiko-Alveolar [r]
Keterangan:
a) Udara tidak keluar melalui rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut.
b) Lidah membentuk lengkungan dengan ujung lidah merapat kemudian merenggang (melepas) secara berkali-kali pada gusi bagian belakang sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar.

14)  Konsonan Hambatan Laringal
Bunyi yang dihasilkan adalah [h].
Artikulasi Hambatan Laringal [h]
Keterangan:
a) Udara dihembuskan ke luar ketika glotis digeserkan. Posisi glotis membuka tetapi lebih sempit.
b) Pita suara tidak turut bergetar.

15)    Semi-Vokal Bilabial
Konsonan ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya bibir atas. Bunyi yang dihasilkan adalah [w].
Artikulasi Semi-Vokal Bilabial [w]
Keterangan:
a) Udara tidak keluar melalui mulut.
b) Bibir bawah dibentangkan dan didekatkan pad bibir atas tetapi tidak sampai rapat.
c) Posisi kedua bibir hampir sama dengan pembentukan vokal [u]. Perbedaannya [w] kedua bibir agak terbentang.

16)    Semi-Vokal Medio-Palatal
Konsonan ini terjadi bila artikulator aktifnya adalah tengah lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan adalah [y].
Artikulasi Semi-Vokal Medio-Palatal [y]
Keterangan:
a)  Udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi keluar melalui mulut.
b) Tengah lidah naik mendekati langit-langit keras tetapi tidak sampai rapat.

1)   Struktur Suku Kata, Kata, dan Gugus Konsonan
Kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih misalkan ban, bantu, membantu, memperbantukan. Betapapun panjangnya suatu kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah pembentukan yang sederhana. Berikut adalah sebelas macam pola suku kata yaitu sebagai berikut.
a)        V                  a-mal, tu-a
b)        VK               ar-ti, ber-il-mu
c)        KV               pa-sar, ka-il
d)       KVK            pak-sa, pe-san
e)        KVKK         teks-til, mo-dern
f)         KVKKK      krops
g)        KKV            slo­-gan, kon-tra
h)        KKVK         trak-tor, kon-trak
i)          KKKV         ­stra-te-gi, stra-ta
j)          KKKVK      struk-tur
k)        KKVKK      kom-pleks

2)  Pemenggalan Kata
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemenggalan kata. Pemenggalan kata merujuk pada kata sebagai satuan tulisan, sedangkan penyukuan kata berkaitan pada kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selau berpedoman pada lafal kata.Berikut ini contoh pemenggalan kata.
Kata
Benar
Salah
sabuk
sa-buk
sab-uk



berarti
ber-arti
be-rarti

berar-ti




kebanyakan
ke-banyakan
kebanya-kan

kebanyak-an




dengan
de-ngan
deng-an



bendungan
bendung-an
bendu-ngan

ben-dungan


c.  Ciri Suprasegmental dalam Bahasa Indonesia
1)   Peranan Ciri Suprasegmental
Fonem vokal dan konsonan merupakan fonem segmental karena dapat diruas-ruas. Fonem tersebut biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmental seperti tekanan, jangka dan nada. Di samping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme.
a)  Jangka, yaitu panjang pendeknya bunyi yang diucapkan. Tanda […]
b) Tekanan, yaitu penonjolan suku kata dengan memperpanjang pengucapan, meninggikan nada dan memperbesar intensitas tenaga dalam pengucapan suku kata tersebut.
c) Jeda atau sendi, yaitu ciri berhentinya pengucapan bunyi.
d) Intonasi, adalah ciri suprasegmental yang berhubungan dengan naik turunnya nada dalam pelafalan kalimat.
e) Ritme, adalah cirri suprasegmental yang br\erhubungan dengan pola pemberian tekanan pada kata dalam kalimat.
Pada tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam bahasa Indonesia tidak membedakan makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tekanan, dan nada akan terasa janggal.
2)  Intonasi dan Ritme
Harus dapatlah dibedakan antara pengertian intonasi dan pengertian ritme. Ritme adalah cepat lambatnya untaian tuturan yang ada dalam suatu bahasa. Sedangkan intonasi merupakan urutan pengubahan nada dalam untaian tuturan yang ada dalam suatu bahasa.

Simpulan
                  Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakata atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya.
Beberapa pengertian dasar berkenaan dengnTBBI adalah pengertian yang meliputi pengertian tentang beberapa bunyi, pengertian tentang pembentukan kata, pengertian tentang kalimat, dan pengertian tentang wacana. Getaran udara yang masuk ke telinga dapat berupa bunyi atau suara. Bunyi sebagai getar udara dapat pula merupakan hasil yang dibuat oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir. Bunyi bahasa yang dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud dalam nyanyian atau tuturan.
            Adapun saran yang dapat penyusun sampaikan yaitu kita sebagai calon pendidik, harus selalu menggali potensi yang ada pada diri kita. Cara menggali potensi dapat dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk kita ke depannya. Amiinn.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Alwi, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Misdan, Undang. (1980). Bahasa Indonesia Pelajaran Bahasa II. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan
Muchlisoh, dkk. (1992). Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Resmini, Novi. 2006. Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik). Bandung: UPI PRESS.

Tidak ada komentar: