Pemerolehan bahasa
(language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah
suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak
sadar, implisit, dan
informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa
kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya,
seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu
mempelajari bahasa tersebut. Stork dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa
pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai
kelancaran dalam bahasa ibunya. Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan
bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang menguasai bahasa.
Pemerolehan bahasa
biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa
itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada penguasaan bahasa
secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh pengajaran bahasa tentang
sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
Pada hakikatnya pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan,
yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan
memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan dengan hal itu maka yang dimaksud
dengan pemerolehan bahasa adalah proses
memiliki kemampuan berbahasa baik
berupa pemahaman atau pun pengungkapan secara alami, tanpa melalui kegiatan
pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut Kiparsky
dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses
yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan
ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan
paling sederhana dari bahasa bersangkutan. Dengan demikian, proses pemerolehan
adalah proses bawah sadar. Penguasaan bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi
oleh pengajaran yang secara eksplisit tentang sistem kaidah yang ada di dalam
bahasa kedua. Berbeda dengan proses pembelajaran, adalah proses yang dilakukan
secara sengaja atau secara sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai
bahasa.
b. Teori Pemerolehan Bahasa Anak
1) Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme
menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan
hubungan antara rangsangan (stimulus)
dan reaksi (response). Perilaku bahasa
yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini
akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Pada saat ini
anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan
bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau
siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila suatu ketika si anak
mengucapkan barangkali dengan tepat, dia
tidak akan mendapatkan
kritikan karena pengucapannya
sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat
terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa
pertama pada anak.
Pemerolehan bahasa menurut teori
behavioris.
a. Teori belajar behavioris ini
bersifat empiris, didasarkan pada data yang dapat diamati.
b. Kaum behavioaris menganggap bahwa:
- Proses belajar pada manusia
sama dengan proses belajar pada binatang.
- Manusia tidak mempunyai
potensi bawaan untuk belajar bahasa.
- Pikiran anak merupakan
tabula rasa yang akan diisi dengan asosiasi S-R.
- Semua prilaku merupakan
respon terhadap stimulus dan perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
c. Belajar bagi kaum behavioris
adalah pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respon yang
berulang-ulang sehingga terbentuk kebiasaan.
Pembentukan kebiasaan ini disebut pengondisian.
d. Pengondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan
asosiasi antara S-R.
e. Bahasa adalah perilaku
manusia yang kompleks diantara perilaku-perilaku lain.
f. Anak menguasai bahasa
melalui peniruan.
g. Perkembangan bahasa seseorang
ditentukan oleh frekuensi dan intensitas latihan yang disodorkan.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal
Behavior (1957) yang digunakan sebagai
rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil
faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner,
perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh
konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus
dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan
ditinggalkan.
Singkatnya, apabila ada
reinforcement yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan
bahwa toeri yang berlandaskan
conditioning dan
reinforcement tidak bisa menjelaskan
kalimat-kalimat baru yang
diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari.
Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian
mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan
menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak
semua perilaku berasal dari
stimulus-response.
2)Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat
dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia.
Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama,
perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap
bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal),
dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua,
bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat
menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang
dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit
sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme
juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir
sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language
acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh
anak bergantung pada bahasa yang digunakan
oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti
bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan
oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak
memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana
biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana
lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh serigala (Baradja, 1990:33). Tanpa
LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan
bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak
dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.
3)Teori Kognitivisme
Aliran kognitivisme berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang
berbunyi “Logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic
developments.” Pernyataan ini memancing
para ahli
psikologi kognitif menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa karena
menilai penjelasan Chomsky tentang hal itu belum memuaskan.
Teori Kognitivisme menjelaskan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah
yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal
dari kematangan kognitif. Bahasa
distrukturi oleh nalar.
Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih
mendasar dan lebih umum di dalam kognisi.
Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan
bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky
yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat
menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga
dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah
perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk
keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa
dianggap belum ada. Anak hanya
memahami dunia melalui indranya. Anak
hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun,
anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak
mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir
dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang
diucapkan anak.
4) Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan
hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa.
Pemerolehan bahasa itu berhubungan
dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal
yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun,
tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin
anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Dalam pemerolehan bahasa pertama anak sangat dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan
berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah
ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang
telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak
telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu
kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk.,
2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga
faktor yang memengaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah
membuktikan hal ini.
3. Jenis-jenis Pemerolehan Bahasa
Jenis-jenis pemerolehan bahasa ada beberapa pendapat ahli. Ross dan
Roe (Zuchdi dan Budiasih, 1997) membagi fase/tahap perkembangan bahasa
anak seperti berikut.
Perkiraan Umur
|
Tahap Perkembangan Bahasa
|
Kemampuan Anak
|
Lahir - 2 tahun
|
Fase fonologis
|
Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa mulai mengoceh sampai
menyebutkan kata-kata sederhana
|
2 tahun - 7 tahun
|
Fase sintaksis
|
Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat.
|
7 -11 tahun
|
Fase semantik
|
Aak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung
dalam kata
|
Berbeda
dengan Ross dan Roe, Tarigan (1988) mengelompokkan tahap perkembangan bahasa anak menjadi empat yaitu
(a) tahap pralingustik, (b) tahap
satu-kata, (c) tahap dua-kata, dan (d) tahap banyak-kata.
1) Tahap pralinguistik (0 – 12 bulan)
Pada usia 0 – 12
tahun bunyi-bunyi bahasa dihasilkan
anak belum bermakna. Bunyi-bunyi itu
berupa vokal atau konsonan tertentu, tetapi tidak mengacu pada kata atau makna
tertentu. Bahkan pada awalnya, bayi hanya mampu mengeluarkan suara, yaitu
tangisan.
2) Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada masa ini,
anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang memiliki arti yang mewakili
keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau bahkan lebih frase atau
kalimat. Kata-kata pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objek-objek
nyata atau perbuatan. Kata-kata yang sering diucapkan orang tua
sewaktu mengajak bayinya berbicara berpotensi lebih besar menjadi kata
pertama yang diucapkan si bayi. Selain itu, kata tersebut mudah bagi si
anak. Kata-kata yang mengandung konsonan bilabial (b,p,m) merupakan kata-kata
yang mudah diucapkan anak-anak. Misalnya
kata mama, mimik, papa, dsb. Selain itu, kata-kata tersebut mengandung fonem
“a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan (tinggal membuka mulut saja).
3) Tahap dua kata (18 – 24
bulan)
Pada tahap ini
sebagian besar anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata. Kata-kata
yang diucapkan ketika masih tahap satu-kata dikombinasikan dalam ucapan-ucapan
pendek tanpa kata
penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain yang seharus-nya digunakan. Anak mulai dapat mengucapkan
“Ma, maem”, maksudnya “Mama, saya mau makan”.
Pada tahap dua-kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata, tetapi
belum dapat menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin,
dan waktu terjadinya peristiwa. Selain
itu, anak belum dapat menggunakan pronomina saya, aku, kamu, dia, mereka, dan
sebagainya.
4) Tahap banyak kata (3 – 5 tahun)
Pada saat mencapai
usia 3 tahun, perbendaharaan kata anak menjadi semakin kaya. Mereka sudah mulai mampu membuat
kalimat pertanyaan, pernyataan negatif, kalimat majemuk, dan berbagai
bentuk kalimat. Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998)
menyatakan bahwa pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan
tata bahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan
hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih.
Selanjutnya, pada
umur 5 –
6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian
besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin
bervariasi. Anak telah mampu menggunakan bahasa dalam berbagai cara
untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur.
Selanjutnya,
Darjowidjojo (2003: 244) membagi jenis-jenis pemerolehan bahasa dalam empat
tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu,
ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni bagaimana anak
memperoleh kelayakan dalam berujar.
Berikut ini penjelasan dari berbagai macam pemerolehan bahasa di atas.
a. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang
Fonologi
Pada waktu dilahirkan,
anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan
binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah maka binatang
sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya
bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak
mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vocal.
Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar
dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing,
yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2012:244). Anak
mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar
umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vocal sehingga membentuk apa
yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi
celotehan. Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama adalah
konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan
demikian strukturnya adalah
CV.
b. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang
Morfologi
Afiksasi bahasa
Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena
satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya (prefiks, sufiks,
simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah menjadi: bersatu,
menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan, kebersatuan,
mempersatukan, dst. Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak
mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan
secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah.
Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung
sampai pada masa adolesen.
c. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang
Semantik
Menurut beberapa
ahli psikolingguistik perkembangan kanak-kanak memperoleh makna suatu kata
dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua
fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa (Mc.Neil,
1970, Clark, 1997).
Akhirnya Clark secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan
semantik ini ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut.
Tahap penyempitan makna kata, tahap ini berlangsung antara umur satu
sampai satu setengah tahun (1;0–1;6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap
satu benda tertentu yang disebut gukguk hanyalah anjing yang dipelihara di
rumah saja tidak termasuk yang berada di luar rumah.
Tahap generalisasi berlebihan, tahap ini berlangsung antara usia satu
setengah tahun hingga dua tahun setengah (1;6–2;6). Pada tahap ini anak-anak
mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara
berlebihan. Jadi yang dimaksud dengan anjing atau gukguk adalah semua
binatang berkaki empat.
Tahap medan semantik, Tahap ini berlangsung antara
usia dua tahun setengah sampai usia lima
tahun (2;6 – 5;0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai
mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada
mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara
berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang
termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya kalau pada
utamanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun setelah
mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku untuk
anjing saja.
Tahap
generalisasi, tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun.
Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi,
bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan
seperti ini semakin sempurna jika kanak-kanak itu semakin bertambah usia. Jadi,
ketika berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun misalnya, mereka telah
mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan.
d. Pemerolehan Bahasa dalam Bidang
Sintaksis
Dalam bidang
sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau bagian
kata. Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia
belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang
menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu bernama
Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan,
dia akan memilih jri (untuk Fajri), mau (untuk mau), ataukah kan (untuk
makan)? Dari tiga kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan.
Karena itulah anak memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK, (one word
utterance) anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata
yang memberikan informasi baru.
Dari segi
sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari satu
kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja
dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri yang lain.
Pada awalnya USK hanya terdiri dari CV saja. Bila kata itu CVC maka C yang
kedua dilesapkan. Kata mobil akan disingkat menjadi /bi/. Pada perkembangannya
kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2;0 misalnya, Echa
menamakan ikan sebagai /tan/, persis
sama dengan kata bukan. Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan.
Semua gugus yang
ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata
Indonesia putri (untuk Eyang putri)
diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain dari USK dalah
bahwa kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), yakni, nomina,
verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada kata fungsi seperti form,
to, dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan
kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa
lalu dan masa depan. Anak pun juga dapat menyatakan negasi no atau nggak, pengulangan more atau lagi, dan habisnya sesuatu gone! Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan
Ujaran Dua Kata, UDK (Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang
diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan
bahwa lampunya telah menyala. Echa misalnya, bukan mengatakan /lampunala/
“lampu nyala” tapi /lampu /nala /. Jadi, berbeda dengan USK, UDK sintaksisnya
lebih kompleks (karena adanya dua kata) tetapi semantiknya makin lebih jelas.
e. Pemerolehan Bahasa dalam bidang
pragmatik
Jakobson
menyatakan bahwa tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa
tetapi juga memperoleh tindak berbahasa.
Menurut
Dardjowidjojo (2003: 266) membagi pemerolehan pragmatik dalam dua teori,
yaitu: Pemerolehan niat komunikatif, Dardjowidjojo (2003: 266)
menyatakan bahwa pada minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai
menunjukkan niat komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil,
menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Pemerolehan kemampuan percakapan,
Dardjowidjojo (2003: 266-267) menyatakan bahwa percakapan mempunyai struktur
yang terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3)
penutup. Bila orang tua menyapanya atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu,
itulah tanda bahwa percakapan akan dimulai. Pada tahap giliran, akan terjadi
memberikan respon dan pada bagian penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan
tadi tidak terjawab karena anak lalu pergi saja meninggalkan orang tuanya atau
beralih ke kegiatan lain.
D.
Aktivitas Pembelajaran
1. Pendahuluan
Silakan Anda
pahami tujuan, kompetensi, dan indikator
pencapaian kompetensi pada kegiatan pembelajaran ini supaya pembelajaran lebih
terarah dan terukur.
2. Curah Pendapat
Pada kegiatan ini
Anda diminta untuk menyebutkan berbagai masalah yang dihadapi dalam
pembelajaran, khususnya pada saat menulis. Sebagai langkah awal dan agar
kegiatan curah pendapat berjalan dengan baik, Anda dapat mengisi pertanyaan
berikut ini.
3. Diskusi Kelompok
Kelas dibagai
menjadi empat kelompok besar sesuai dengan topik bahasan, yaitu hakikat konsep bahasa, ciri-ciri bahasa,
pemerolehan bahasa, dan jenis-jenis pemerolehan bahasa. Masing-masing Anda
dibagi ke dalam kelompok, sehingga
terbentuk empat kelompok ahli, yaitu satu kelompok ahli hakikat konsep bahasa, kelompok ahli ciri-ciri bahasa, kelompok ahli pemerolehan
bahasa, kelompok ahli jenis-jenis pemerolehan bahasa. Setelah itu, setiap
kelompok membaca, mengkaji, dan menelaah sumber belajar yang berhubungan dengan
hal yang ingin dipahami tersebut. Adapun
sumber belajar yang dirujuk adalah bahan bacaan
yang terdapat pada bagian uraian materi
dan sumber belajar lainnya yang relevan.
1. Perlukah guru bahasa Indonesia
mengetahui dan memahami Hakikat Bahasa dan Pemerolehan Bahasa” sebagai seorang
pengajar?
2. Apakah Bapak/ Ibu pernah
mengalami kesulitan dalam mengajar anak bagaimana menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa komunikasi? Modul Setelah setiap kelompok ahli mengkaji dan
menelaah masing-masing sumber belajar yang terkait, mereka diminta kembali ke
kelompok asal. Di kelompok asal silakan Anda kerjakan LK 20. 1 s.d LK 20.
4 sebagai laporan hasil diskusi.
Rangkuman
Bahasa adalah
sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok
sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri
(Kridalaksana: 1983). Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu: (1) bahasa
adalah sebuah sistem, (2) bahasa berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi,
(4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu
bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat
universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11)
bahasa itu bersifat dinamis, dan (12) bahasa itu manusiawi.
Pada hakikatnya pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan,
yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan
memahami tuturan orang lain.
Teori pemerolehan
bahasa anak meliputi teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, dan
interaksionisme.
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat
diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi
(response).
Teori Nativisme bahasa hanya
dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa
manusia. Teori kognitivisme bahasa
bukanlah suatu ciri alamiah yang
terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari
kematangan kognitif. Teori interaksionisme
beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara
kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa.
Jenis-jenis
pemerolehan bahasa anak meliputi
fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Tahap
pemerolehan bidang fonologi Sebelum Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMA
Kelompok Kompetensi Profesional A 25
masuk SD, anak telah menguasai sejumlah fonem/bunyi bahasa, tetapi masih
ada beberapa fonem yang masih sulit diucapkan dengan tepat. Bidang morfologi,
hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya
berubah-ubah. Bidang semantik,
perkembangan kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara
menguasai fitur-fitur semantik kata itu
satu demi satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang
dikuasai oleh orang dewasa. Bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan
mengucapkan satu kata (atau bagian kata).
tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di
dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh
tindak berbahasa.
CATATAN PENTING:
1. Konsep bahasa Ciri atau sifat hakiki bahasa Bahasa adalah
sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok
sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri Ciri
atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu: (1) bahasa adalah sebuah sistem, (2)
bahasa berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat
arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7)
bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu
bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat
dinamis, dan (12) bahasa itu manusiawi.
2. Pemerolehan Bahasa
Konsep Teori pemerolehan bahasa Pada
hakikatnya pemerolehan bahasa
anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara
spontan dan
kemampuan memahami tuturan orang lain
3. Teori behaviorisme menyoroti
aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara
rangsangan (stimulus) dan reaksi (response).
4. Teori Nativisme bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia,
binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia.
5. Teori kognitivisme bahasa bukanlah
suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa
kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif.
6. Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa
merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan
bahasa
7. Jenis-Jenis Pemerolehan Bahasa
Jenis-jenis Definisi
Jenis-jenis pemerolehan bahasa anak meliputi fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Tahap pemerolehan bidang fonologi Sebelum masuk SD, anak telah menguasai
sejumlah fonem/bunyi bahasa, tetapi masih ada beberapa fonem yang masih sulit
diucapkan dengan tepat.
Bidang morfologi, hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna
karena proses afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Bidang
semantik, perkembangan kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara
menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur
semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa.
8. Bidang sintaksis, anak
memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). tahap
pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam
pemerolehan pragmatik,
anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh tindak
berbahasa.
Akhirnya dengan
mempelajari materi Hakikat dan
Pemerolehan Bahasa dalam Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMA
Kelompok Kompetensi A ini, Anda
dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa. Di samping itu, Anda
juga memiliki keterampilan berbahasa
dalam berbicara, membaca, dan menulis secara integratif.
Mudah-mudahan materi yang disajikan ini dapat memotivasi Anda untuk
meningkatkan kompetensi Anda sebagai guru yang profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar