Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia di atas dunia ini, karena dengan bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya dan bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Adapun bahasa dapat digunakan apabila saling memahami atau saling mengerti erat hubungannya dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami maksud dan tujuan orang lain berbahasa atau berbicara apabila kita mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan. Untuk itu keseragaman berbahasa sangatlah penting, supaya komunikasi berjalan dengan lancar.Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: “ Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoengjoeng bahasa persatoean, bahasa indonesia: dan apada Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tecantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”.
Maka daripada itu bangsa Indonesia pada tahun 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan sampai sekarang pemakaian bahasa Indonesia makin meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan.Kita sebagai calon pendidik harus dapat memelihara bahasa Indonesia ini, mengingat akan arti pentingya bahasa untuk mengarungi kehidupan masa globalisasi, yang menuntut akan kecerdasan berbahasa, berbicara, keterampilan menggunakan bahasa dan memegang teguh bahasa Indonesia, demi memajukan bangsa ini, supaya bangasa kita tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Maka dari itu disini penulis akan mencoba menguraikan tentang “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.”
1. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi : “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoeng-djoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menytakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Inedonesia”. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.Patokan yang pertama, yakni jumlah penutur, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamaatau bahasa kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal. Pertama arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta. Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Keempat, orang tua masa kini yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia. Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari pucuk utara sa,pai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filipina, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Perancis, Rusia dan Selandia Baru. Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebgai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan udaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang serta bahasa daerah yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakata atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya.
2. Ragam Bahasa
Ragam yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal, berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televise, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri. Logat daerah yang paling kentra karena tata bunyinya yang mudah dikenali. Logat Indonesia-Batak yang dilafalkan oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya, karena tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali karena pelafalan bunyi /t/ dan /d/-nya. Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tentu ada juga walaupun mungkin kurang tampak. Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang bersilangan ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah. Bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks yang dikenal di dalam ragam orang yang terpelajar, bervariasi dengan padil, pakultas, pilem, pitnh, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati pendidikan yang cukup di sekolah. Perbedaan kedua ragam itu juga tampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau tulis itu surat ke pamanku cukup jells maksudnya, tetapi bahasa yang apik menuntut agar bentuknya menjadi Saya mau menulis surat itu kepada paman saya. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak tiap kalimat Indonesia termasuk kalimat yang apik. Badan pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televise, mimbar agama, dan profesi ilmiah hendaknya menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan yang lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku.
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini yang dapat disebut langgam atau gaya.pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadaporang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Misalnya, gaya bahasa kita jika kita memberikan laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, atau mengobrol dengan sahabat karib. Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam : ragam dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan; ragam menurut sarannya; dan ragam yang mengalami pencampuran.
Orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam tulisan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara ragam lisan dan ragam tulisan.
Yang pertama berhubungan dengan suasana peristiwanya. Jika kita menggunakan ragam tulisan, kita beranggapan bahwa orang yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita, sehingga perlu diperhatikan fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek dan hubungan di antara fungsi itu masing-masing harus nyata. Sedangkan dalam ragam lisan karena penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
Hal yang kedua, yang membedakan ragam lisan dari ragam tulisan berkaitan dengan beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran, misalnya tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Misalnya, ujaran Darto tidak mengambil uangmu, yang disertai pola intonasi khusus pada kata tidak, dalam tulisan mungkin dapat berbentuk Bukan Darto yang mengambil uangmu agar penegasannya sama tarafnya.
3. Ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana kepustakaan dan kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakt bahasa seperti halnya dengan bahasa Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh dalam berbagai rupa dialek rakyat. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah.Di dalam situasi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi gramatikal tentang ragam yang tinggi. Situasi diglosia itu pulalah yang menjelaskan mengapa setakat ini ada pernedaan yang cukup besar di antara pemakaian bahasa Indonesia ragam tulisan di satu pihak dan ragam tlisan di pihak yang lain. Jika penutur bahasa Indonesia dewasa ini berkata bahwa bahasa Indonesia termasuk golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk ke ragam pokok yang rendah yang dimahirinya. Jika ia berkata bahwa bahasa Indonesia itu sulit yang dimaksudkannya agaknya ragam poko yang tinggi.
4. Pembakuan Bahasa
Dengan latar kerangka acuan kediglosiaan yang diuraikan di atas, masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau yang memang dianggap tidak perlu diperhitungkanbagi keberhasilan usaha pembakuan itu. Hal yang sehubungan dengan itu yang perlu dibahas, misalnya ialah norma bahasa yang mana yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma itu. Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih karena di samping berbagi inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.
5. Bahasa Baku
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak, bukan pengrajin dan pengrusak. Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaan-nya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraph, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah cirri ketiga ragam bahasa yang baku.
6. Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif : (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh mayarakat.Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu darfi bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri.Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya morma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Bhasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata, iklan dan tajuk berita.
7. Bahasa Baik dan Benar
Jika bahasa sudah baku dan standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar. Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar menawar di pasar, misalnya pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam tawar menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku.Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupkan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.
Maka daripada itu bangsa Indonesia pada tahun 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan sampai sekarang pemakaian bahasa Indonesia makin meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan.Kita sebagai calon pendidik harus dapat memelihara bahasa Indonesia ini, mengingat akan arti pentingya bahasa untuk mengarungi kehidupan masa globalisasi, yang menuntut akan kecerdasan berbahasa, berbicara, keterampilan menggunakan bahasa dan memegang teguh bahasa Indonesia, demi memajukan bangsa ini, supaya bangasa kita tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Maka dari itu disini penulis akan mencoba menguraikan tentang “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.”
1. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi : “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoeng-djoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menytakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Inedonesia”. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.Patokan yang pertama, yakni jumlah penutur, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamaatau bahasa kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal. Pertama arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta. Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Keempat, orang tua masa kini yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia. Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari pucuk utara sa,pai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filipina, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Perancis, Rusia dan Selandia Baru. Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebgai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan udaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang serta bahasa daerah yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada bahasa daerah. Kedudukan yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakata atau keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya.
2. Ragam Bahasa
Ragam yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal, berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televise, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri. Logat daerah yang paling kentra karena tata bunyinya yang mudah dikenali. Logat Indonesia-Batak yang dilafalkan oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya, karena tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali karena pelafalan bunyi /t/ dan /d/-nya. Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tentu ada juga walaupun mungkin kurang tampak. Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang bersilangan ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah. Bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks yang dikenal di dalam ragam orang yang terpelajar, bervariasi dengan padil, pakultas, pilem, pitnh, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati pendidikan yang cukup di sekolah. Perbedaan kedua ragam itu juga tampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau tulis itu surat ke pamanku cukup jells maksudnya, tetapi bahasa yang apik menuntut agar bentuknya menjadi Saya mau menulis surat itu kepada paman saya. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak tiap kalimat Indonesia termasuk kalimat yang apik. Badan pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televise, mimbar agama, dan profesi ilmiah hendaknya menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan yang lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku.
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini yang dapat disebut langgam atau gaya.pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadaporang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Misalnya, gaya bahasa kita jika kita memberikan laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, atau mengobrol dengan sahabat karib. Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam : ragam dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan; ragam menurut sarannya; dan ragam yang mengalami pencampuran.
Orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam tulisan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perbedaan antara ragam lisan dan ragam tulisan.
Yang pertama berhubungan dengan suasana peristiwanya. Jika kita menggunakan ragam tulisan, kita beranggapan bahwa orang yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita, sehingga perlu diperhatikan fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek dan hubungan di antara fungsi itu masing-masing harus nyata. Sedangkan dalam ragam lisan karena penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
Hal yang kedua, yang membedakan ragam lisan dari ragam tulisan berkaitan dengan beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran, misalnya tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Misalnya, ujaran Darto tidak mengambil uangmu, yang disertai pola intonasi khusus pada kata tidak, dalam tulisan mungkin dapat berbentuk Bukan Darto yang mengambil uangmu agar penegasannya sama tarafnya.
3. Ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok yang satu, yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain merupakan sarana kepustakaan dan kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakt bahasa seperti halnya dengan bahasa Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua tumbuh dalam berbagai rupa dialek rakyat. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah.Di dalam situasi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi gramatikal tentang ragam yang tinggi. Situasi diglosia itu pulalah yang menjelaskan mengapa setakat ini ada pernedaan yang cukup besar di antara pemakaian bahasa Indonesia ragam tulisan di satu pihak dan ragam tlisan di pihak yang lain. Jika penutur bahasa Indonesia dewasa ini berkata bahwa bahasa Indonesia termasuk golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk ke ragam pokok yang rendah yang dimahirinya. Jika ia berkata bahwa bahasa Indonesia itu sulit yang dimaksudkannya agaknya ragam poko yang tinggi.
4. Pembakuan Bahasa
Dengan latar kerangka acuan kediglosiaan yang diuraikan di atas, masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau yang memang dianggap tidak perlu diperhitungkanbagi keberhasilan usaha pembakuan itu. Hal yang sehubungan dengan itu yang perlu dibahas, misalnya ialah norma bahasa yang mana yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma itu. Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih karena di samping berbagi inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.
5. Bahasa Baku
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak, bukan pengrajin dan pengrusak. Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaan-nya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraph, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah cirri ketiga ragam bahasa yang baku.
6. Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif : (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh mayarakat.Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu darfi bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri.Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya morma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Bhasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata, iklan dan tajuk berita.
7. Bahasa Baik dan Benar
Jika bahasa sudah baku dan standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar. Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar menawar di pasar, misalnya pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam tawar menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku.Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupkan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.