Kritik Sastra Indonesia
(rangkuman referensi guru Bahasa Indonesia)
1. Hakikat Kritik Sastra
a. Pengertian Kritik Sastra
Secara etimologis, istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang
berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi, membanding, menimbang”;
kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” Bentuk
krites inilah yang menjadi dasar kata kritik. Secara harafiah, kritik sastra adalah upaya
menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan
kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , disebutkan kritik adalah kecaman atau
tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap
sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan esai adalah karangan
prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang
pribadi penulisnya.
H.B. Jasin mengemukakan bahwa kritik kesusastraan adalah pertimbangan baik
atau buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu disertai dengan alasan
mengenai isi dan bentuk karya sastra.
Widyamartaya dan Sudiati (2004 : 117) berpendapat bahwa kritik sastra adalah
pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat, dan pertimbangan yang adil
terhadap baik-buruknya kualitas, nilai, kebenaran
suatu karya sastra. Memberikan kritik dan esai dapat beromanfaat untuk
memberikan panduan yang memadai kepada pembaca tentang kualitas sebuah karya.
Di samping itu, penulis karya tersebut akan memperleh masukan, terutama tentang
kelemahannya. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra
(cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap
teks sastra sebagai karya seni. Sementara Abrams dalam Pengkajian sastra (2005)
mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan
dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Perkataan kritik dalam artinya yang tajam adalah penghakiman, dan dalam
pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu, meskipun
bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu kritikus
sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian
khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra. Pekerjaan penulis
tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya
tentang hal itu (Pradopo, 1997).
Pengertian kritik sastra sebagaimana di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena
sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra.
Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta
menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang
dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis. Atau kritik sastra adalah ilmu sastra untuk
menghakimi karya sastra dengan memberi penilaian, dan memutuskan apakah karya
tersebut bermutu atau tidak bermutu yang sedang dikritik. Kritik sastra yang sesungguhnya
bukan hanya menilai saja, melainkan masih ada aktivitas kritikus yakni menganalisis
karya tersebut. Sebagaimana yang diungkapkann oleh Abrams (1981) bahwa kritik
sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan/ pengkelasan,
penguraian atau analisis, dan penilaian atau evaluasi.
Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra.
Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra
ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai
isi dan bentuknya. Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang
ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya
sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup
masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan.
Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna
bagi kritikus tersebut, bukan pada pengarangnya. Seorang kritikus sastra mengungkapkan
pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan
pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang.
Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.
b. Fungsi Kritik Sastra
Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus
melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya
sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas
keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis
dan objek empiris. Setidaknya, ada beberapa fungsi kritik sastra yang perlu untuk
diketahui, yaitu:
1). Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra Seorang kritikus akan menunjukkan
hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan
menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap
oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih
meningkatkan kecakapannya dan memerluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas
karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru,
kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat
pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan
kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan
meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri. 2). Kritik sastra berfungsi untuk penerangan
bagi penikmat sastra Kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan
kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik.
Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik
oleh kritikus.
Sementara itu, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka
daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat
dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi, misalnya karya sastra yang berisi
nilai-nilai kehidupan, memerhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan,
dan kebenaran.
3). Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dilakukan kritikus dalam mengeritik harus didasarkan pada referensi-referensi
dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat
dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan
kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti
inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri. Karena, seorang pengarang
akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam memerluas pandangannya, sehingga akan
berdampak pada meningkatnya kualitas karya sastra.
Fungsi kritik sastra akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara
kritikus dan sastrawan serta tanggung jawab mereka dalam memanfaatkan kritik
sastra tersebut.
Kritik sastra dengan begitu, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat
serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra.
Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya
karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaan kritik pada medan sastra akan
membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.
Berkaitan dengan kritik sastra, esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah
yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang
mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap
suatu persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karangan
pendek yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang
karya atau beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi
dan kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.
Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian menarik pengertian esai sebagai karangan
yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu
dalam bentuk prosa.
Esai sastra, dengan demikian, bagian dari kritik sastra yang memunyai ciri dan
karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang mana
kritik dan yang mana esai sastra, ketika kita membutuhkan referensi untuk kepentingan
penelitian ataupun penambah wawasan dalam mengasah karya esai kita.
Dalam hal ini esai sastra hanya bersifat mengemukakan masalah atau persoalan
kepada khalayak ramai, dan bagaimana penyelesaian tersebut terarah kepada
pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra
melalui proses dengan menggunakan kriteria tertentu.
Berdasarkan penjelasan tersebut fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu :
a) Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu
penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan
Rene wellek “karya sastra itu tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan
dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip kritik sastra.”.
b) Untuk perkembangan kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra membantu
perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra
mengenai baik buruknya karya
sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
c) Sebagai penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penjelasan
tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan (mengsnalisis, menginterpretasi,
dan menilai) karya sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik
sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra.
c. Manfaat Kritik Sastra
1) Manfaat kritik sastra bagi penulis:
a) Memperluas wawasan penulis, baik yang berkaitan dengan bahasa, objek atau
tema-tema tulisan, maupun teknik bersastra.
b) Menumbuhsuburkan motivasi untuk menulis.
c) Meningkatkan kualitas tulisan.
2) Manfaat kritik sastra bagi pembaca:
a) Menjembatani kesenjangan antara pembaca dan karya sastra.
b) Menumbuhkan kecintaan pembaca terhadap karya sastra.
c) Meningkatkan kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra.
d) Membuka mata hati dan pikiran pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
3) Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra:
a) Mendorong laju perkembangan sastra, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
b) Memperluas cakrawala atau permasalahan yang ada dalam karya sastra.
d. Tahapan Menulis Kritik Sastra
Dalam perkembangannya kritik sastra sudah dianggap sebagai satu genre karya
sastra di luar puisi, prosa dan drama—yang membedakan adalah kritik sastra
bersifat nonfiksi. Namun demikian kritik sastra tetaplah sebuah karya seni,
seni mengkritik. Kritik sama personalnya dengan puisi, bahkan mungkin sama
lirisnya dalam taraf penghayatannya. Penghayatan seorang kritikus terhadap
keindahan suatu karya sastra tidaklah kalah dengan penghayatan seorang
penyair terhadap keindahan alam.
Kepekaan, keterlibatan emosi, seorang Matthew Arnold kala mengkritik
karya-karya Goethe, sama dahsyatnya dengan kepekaan Goethe kala
berimajinasi dan menulis karya-karyanya.
Tujuan dari kritik sastra tidak untuk memberi keadilan pada pengarang saja,
tetapi juga lebih memberi suatu tempat pada pengarang di antara pengarang-
pengarang lainnya. Atau dalam bahasa Hazlitt, memberi penghormatan (homage).
Penghormatan dilakukan dengan menggali nilai dari karya sastra. Tidak dapat
dibantah sedikit pun itulah titik berat, atau tujuan utama, sebuah kritik sastra,
yakni mengukur nilai yang terdapat dalam satu karya sastra.
Atas dasar apa seorang kritikus menilai satu karya sastra?’atau ‘Bagaimana
mungkin seorang kritikus menilai puisi tertentu sebagai puisi yang monumental?’
atau, yang jarang kita dengar di sastra Indonesia kecuali akhir-akhir ini,
‘Bagaimana mungkin seorang sastrawan mendapatkan anugerah sastra tanpa
melalui proses kritik sastra? Dasar seorang kritikus kala mengkritik sebuah
karya sastra menurut Hazlitt, di esainya On Criticism, ‘yang digunakan seorang
kritikus untuk menilai sastra tidak lebih dari selera ‘(taste) si kritikus.
Dengan seleranya, ia harus mampu mengungkap warna (kekhasan) penulis
yang ia angkat.
Kalau begitu, seorang kritikus bisa menulis seenaknya karena hanya bergantung
pada seleranya? Hazlitt telah mengantisipasi pertanyaan macam ini, dengan
menulis bahwa penulisan kritik sastra harus dibarengi dengan sejumlah alasan
dan data, nukilan dari karya sastra yang sedang dikritik. Lalu, bagaimana menulis
kritik sastra? Untuk menulis kritik sastra penulis harus memahami tahapan kritik
yang sistematis dan operasional sebagai berikut :
1. Tahap deskripsi karya sastra merupakan tahap kegiatan mamaparkan data apa
adanya, misalnya mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau novel berdasarkan
urutan cerita, mendeskripsikan nama-nama tokoh utama dan tokoh-tokoh bawahan
yang menjadi ciri fisik maupun psikisnya, mendata latar fisik ruang dan waktu atau
latar sosial tokoh-tokohnya,dan mendeskripsikan alur setiap bab atau setiap episode.
2. Tahap penafsiran karya sastra merupakan penjelasan atau penerangan
karya sastra. Menafsirkan karya sastra berarti menangkap makna karya sastra,
tidak hanya menurut apa adanya, tetapi menerangkan juga apa yang tersirat
dengan mengemukakan pendapat sendiri.
3. Tahap analisis merupakan tahap kritik yang sudah menguraikan data.
Pada tahap ini kritikus sudah mencari makna dan membanding-bandingkan
dengan karya sastra lain, dengan sejarah atau dengan yang ada di masyarakat.
4. Tahap evaluasi merupakan tahap akhir suatu kritik sastra.
Dalam suatu evaluasi dapat dilakukan melalui pujian, seperti berbobot, baik,
buruk, menarik, dan unik. Sebaliknya, dapat pula dilakukan pencemohan, ejekan,
dianggap jelek dan tidak bermutu, serta tidak menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.
Jadi kritik sastra mencapai kesempurnaan setelah diadakan evaluasi atau penilaian.
e. Jenis Kritik Sastra
Menurut Ensiklopedi Indonesia kritik sastra terdiri atas beberapa jenis kritik.
1) Kritik Judisial
Kritik judisial yaitu suatu kritik yang mengemukakan suatu penlaian atau
penghakiman terhadap suatu karya sastra, lalu menghubungkannya dengan
norma-norma teknik penulisan atau standar tujuan penulisan karya tersebut.
(Coulter, 1930: 336). Rene Wellek dan Austin menegaskan bahwa kritik yudisial
menaruh perhatian pada hukum-hukum/ prinsip yang dianggap sebagai suatu
yang objektif. Dalam kritik yudisial, karya sastra yang menjadi objek kajian lebih
dispesialisasikan tapi dengan penjelasan yang seluas mungkin. Di sini dituntut
pengklasifikasian yang lebih terperinci dan tajam terhadap para pengarang dan karyanya.
2) Kritik Induktif
Kritik induktif adalah jenis kritk sastra yang bertujuan mengumpulkan fakta-fakta
yang ada hubungan dengan suatu karya seni, metode, waktu penciptaan, dan
menyusunnya menjadi susunan yang rapi
serta melukiskannya dengan teratur. Ini sesuai dengan metode induksi yang
mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus.
3) Kritik Impresionistik
Kritik impresionistik yaitu kritik sastra yang muncul sebagai produksi dari
aliran individualisme romantik dan kesadaran akan diri yang lebih modern.
Kritik ini menghubungkan pengalaman si penulis dengan
karyanya. Sebaiknya, seorang kritikus mempunyai gaya yang bisa membuat
hati pembaca terpikat dalam kedudukannya sebagai pembimbing juga
penghubung antara pembaca dan karya sastra.
4) Kritik Historis
Jenis kritik sastra yang mengikuti segala sesuatu yang terjadi atas suatu
bentuk sastra dalam periode sejarah sastra. Juga dengan pengelompokan
masa seorang pengarang. Setiap karya sastra harus
diteliti dan ditelaah dengan hal-hal yang berhubungan dengan karya sastra
tersebut. Hal-hal yang dapat menjadi bahan acuan antara lain: naskah,
bahasa dan komposisi karya sastra, serta perbandingan
karya sang pengarang dengan teman-teman seangkatannya,. Seorang
kritikus harus paham bahwa karya sastra merupakan refleksi pengarang
pada kehidupan dan kebudayaannya dan pengelompokan jenis karya sastra
tersebut serta hubungannya dengan karya yang sejenis.
Butir –butir penting yang berhubungan dengan kritik histories yakni:
a) Dalam menggarap bahasa suatu karya sastra, sang kritikus histories
dapat mempertimbangkan dua hal yaitu mengembalikan para pembaca
masa kini pada keadaan bahasa pada saat karya tersebut ditulis dan
memandang bahasa itu sebagai suatu media komunikasi pada saat itu.
b) Keterangan – keterangan berupa riwayat hidup merupakan jenis data
yang bernilai dan amat berharga bagi kritikus histories.
c) Berusaha mendapatkan segala korelasi antara kehidupan sang penulis
dan karyanya .
d) Bagi kritikus histories, sastra adalah suara humanitas dan melalui
sastra itu kritikus bukan hanya berhubungan atau menaruh perhatian
pada literacy (kecakapan baca tulis) tetapi juga human literacy (kecakapan
baca tulis masyarakat manusia).
e) Silsilah sastra atau genealogi suatu karya.
f) Sang kritikus histories dalam kritik sastranya berhasrat memperoleh
sukses yang gemilang dalam bidang pemaduan belajar dan penilaian.
5) Kritik Filosofis
Kritik filosofis merupakan jenis kritik sastra yang berusaha untuk mendapatkan
dasar yang paling sesuai bagi penilaian karya sastra melalui analisis terhadap
hakekat dan fungsi sastra sebagai suatu cara berpikir mengenai kehidupan.
Kritik ini berusaha menentukan prinsip yang digunakan dalam kritik sastra
agar pedoman yang digunakan dalam suatu kritik jelas dan tegas.
6) Kritik Formalis
Kritik sastra ini berpedoman pada teori dasar estetika yang meletakkan
tekanan pada bentuk karya sastra, struktur, gaya dan efek psikologisnya.
Aristoteles adalah pencetusnya, kritik ini bertentangan dengan teori
dari Plato yang menekankan pada aspek isi dan efek moral/sosial.
Kritik formalis disamakan dengan the new criticism, karena memang dia
merupakan suatu kritik yang masih berusia muda., lebih – lebih kalau
dibandingkan dengan kritik –kritik yang lainnya.
7) Kritik Relativistik
Jenis kritik ini berpedoman pada anggapan relativisme, yaitu bahwa
penilaian terhadap karya sastra terantung pada subjek yang menikmati
dan menilainya. Hal ini terjadi karena selera individu berbeda-beda, begitu
juga dalam hal menikmati karya sastra sehingga tidak ada yang bersifat mutlak.
Jika pendapat dari seseorang lebih mendominasi akan muncul suatu teori
yang absolut meski tidak disadari.
8) Kritik Absolutistik
Kritik jenis ini menegaskan bahwa alternative bagi hukum kritik adalah anarki.
Ketika seorang kritikus memberikan penilaian terhadap suatu karya yang hadir
selanjutnya adalah sebuah kebingungan. Ini dapat disiasati dengan tetap
menggunakan pendapat masyarakat agar tetap bisa terwujud komunikasi yang baik.
9) Kritik Interpretatif
Semua jenis kritik sastra bisa digolongkan sebagai jenis kritik ini karena
hakekat kritik sastra sendiri adalah memberikan interpretasi/penafsiran
terhadap suatu karya sastra. Maka, pengkhususan kritik sastra jenis ini adalah
memperkenalkan standar yang secara relative tidak ada hubungannya dengan
orang atau hal tertentu. Di sini akan terlihat keterkaitan antara teori, sejarah
dan kritik sastra. Tiada satu ilmu yang dapat berdiri sendiri seratus persen
tanpa bantuan orang lain.
10) Kritik Tekstual
merupakan jenis kritik yang terfokus pada teks/ naskah suatu karya sastra,
agar pembaca lebih dekat dengan apa yang ditulis. Dengan berkembangnya
masa, kritik ini ingin menunjukkan manakah karya yang benar-benar asli dari
beberapa versi karya sastra yang mungkin muncul.
11) Kritik Linguistik
Jenis Kritik ini menitikberatkan perhatian pada masalah-masalah kebahasaan
dalam karya sastra tersebut agar terhindar dari salah pengertian baik dari sisi
fonologi, morfologi, sintaksis atau semantik. Ini perlu dilakukan karena setiap
bahasa mengalami perkembangan dalam kurun waktu yang berlainan.
12) Kritik Biografis
Kritik ini sebenarnya adalah kritik histories yang wilayahnya dipersempit yaitu
khusus pada riwayat hidup pengarang beserta karyanya. Tugasnya adalah
menentukan hubungan yang signifikan antara pengarang dan karyanya,
asal-usul. Kekuatan yang mendorong atau tujuan konkrit karya tersebut.
13) Kritik Komparatif
Banyak hal dalam kritik komparatif yang segar dan menarik serta memberi
harapan, kritik ini memperoleh polanya bukan dari kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan waktu, tetapi justru dari pengelompokan jenis yang
berguna serta gagasan atau ide yang berpengaruh.
Hal – hal yang dapat diperbandingkan saja yang akan digarap Dalam kritik ini
yang diterapkan pada nada, tujuan, dan cara, bahkan penerapan pada ketiga
hal tersebut lebih daripada terhadap pokok masalahnya sendiri.
14) Kritik Etis
Kritik etis sangat erat hubungannya dengan falsafah, keyakinan serta agama.
Tanpa adanya pengetahuan yang cukup tentang ketiga hal tersebut akan
membuat penilaian kritik sastra kurang memadai. Pola pikir seorang kritikus
dalam hal-hal tersebut sangat mempengaruhi bagaimana ia akan
menilai suatu karya.
15) Kritik Perspektif
Kritik ini adalah studi terhadap reputasi sang pengarang yang tercermin dalam
karyanya dan melekat pada hati pembacanya. Kritik ini berusaha untuk menyelidiki
seorang pengarang dari karya yang dihasilkan, apakah patut menerima penghargaan
atau patut diabadikan.
16) Kritik Pragmatik
Jenis kritik ini mengarahkan perhatiannya pada kebergunaan ide, ucapan,
dalil atau teori yang terdapat dalam suatu karya sastra bagi masyarakat.
Reputasi pengarang ditentukan oleh bagaimana karyanya bisa berguna
bagi masyarakat.
17) Kritik Elusidatori (Penjelasan)
Jenis kritik ini sifatnya memberikan penjelasan. Kritik ini menekankan
pada interpretasi arti atau makna karya sastra.
18) Kritik Praktis
Jenis kritik ini merupakan lawan dari kritik teoritis yang cenderung ilmiah.
Tugas kritikus adalah menentukan atau menilai apakah suatu karya sastra
bernilai praktis bagi masyarakat atau tidak. Tujuannya sama dengan kritik
pragmatis meskipun dengan nama yang berbeda.
19) Kritik Baru
Bagi para kritikus aliran kritik baru, tujuan pokok seni adalah menghasilkan
analisis sang kritikus mengenai seni itu sendiri. Fungsi kritik adalah melatih
kritikus lainnya untuk melatih kritikus yang lain dalam suatu urutan akademik
bagi para cendekiawan. Kecenderungan yang dilakukan para kritikus jenis ini
adalah pemanfaatan sarana-sarana ilmiah, epigraf dan statistik yang tidak
begitu diperhatikan orang saat memberikan kritik sastra.
20) Kritik Psikologis
Kritik psikologis adalah salah satu jenis kritik sastra yang mendalami
segi-segi kejiwaan suatu karya sastra, yang mencangkup segi-segi kejiwaan
penulis, karya, dan pembaca. Kita tahu bahwa hubungan antara psikologi
dan kritik sastra adalah sama tuanya dendan usia kedua cabang ilmu tersebut.
Dan yang paling berpengaruh terhada kritik sastra adalah Sigmund Freud
dendan psikoanalisisnya.
21) Kritik Mitopoeik
Kritik Mitopoeik adalah jenis kritik yang menyangkut penciptaan mitos
dalam suatu karya sastra.kritik Mitopoeik ini adalah kritik yang paling baru
dan yang paling ambisius diantara pendekatan-pendekatan kritik kontemporer
dan barang kali juga yang paling provokatif dalam tindakan-tindakan dan
kemungkinannya.
22) Kritik Sosiokultural
Kritik sosiokultural adalah interpretasi sastra dalam aspek-aspek social
ekonomi dan politisinya.yang merupakan pokok pada kritik ini adalah
interaksi karya sastra dengan kehidupan dan interaksi ini tidak hanya
mencakup implikasi-implikasi sosial, ekonomi, serta politis karya tersebut,
tetapi juga dalam pengertian yang amat luas, mencakup implikasi-implikasi
moral dan kulturalnya.
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams (1981: 36-37)
membagi kritik sastra ke dalam empat jenis yakni kritik mimetik, kritik
pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
a) Kritik Mimetik
Menurut Abrams, kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai
tiruan aspek-aspek alam. Karya sastra dianggap sebagai cerminan
atau penggambaran dunia nyata, sehingga ukuran yang digunakan
adalah sejauh mana karya sastra itu mampu menggambarkan objek yang
sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita yang ada,
semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh
paham Aristoteles dan Plato, yang menyatakan bahwa sastra adalah
tiruan kenyataan. Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada
Angkatan 45.
Contoh lain adalah:
1) Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo
2) Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo.
b) Kritik Pragmatik
Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai alat untuk mencapai
tujuan (mendapatkan sesuatu yang diharapkan). Tujuan karya sastra
pada umumnya bersifat edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain,
kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai
tujuan. Ada yang berpendapat bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada
pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan
Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis kritik jenis
ini yang dibukukan dengan judul "Perjuangan dan Tanggung Jawab
dalam Kesusastraan".
c) Kritik Ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada diri penulis karya sastra itu.
Kritik ekspresif meyakini bahwa sastrawan (penulis) karya sastra merupakan
unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, dan
perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Dengan menggunakan
kritik jenis ini, kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan
kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin penulis
atau keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan
pengalaman-pengalaman sastrawan yang, secara sadar atau tidak,
telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik
zaman Balai Pustaka atau Pujangga Baru menggunakan orientasi
ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh
kritik sastra jenis ini antara lain:
(1) "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" karya Arif Budiman.
(2) "Di Balik Sejumlah Nama" karya Linus Suryadi.
(3) "Sosok Pribadi dalam Sajak" karya Subagio Sastro Wardoyo.
(4) "WS Rendra dan Imajinasinya" karya Anton J. Lake.
(5) "Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan" karya
Korrie Layun Rampan.
d) Kritik Objektif
Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri,
bebas terhadap lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia
sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi
dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara
batiniah dan menghendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria
intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan,
integritas, dan saling berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema,
tokoh, dsb.; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan,
integritas, dsb.. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada
karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun
20-an dan melahirkan teori-teori:
(1) New Critics di AS
(2) Formalisme di Eropa
(3) Strukturalisme di Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok kritikus
aliran Rawamangun:
(1) "Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia" karya Boen S. Oemaryati.
(2) "Novel Baru Iwan Simatupang" karya Dami N. Toda.
(3) "Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia" karya Th. Rahayu Prihatmi.
(4) "Perkembangan Novel-Novel di Indonesia" karya Umar Yunus.
(5) "Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern" karya Umar Yunus.
(6) "Tergantung pada Kata" karya A. Teeuw.
2. Kritik Sastra Puisi
a. Pengertian Puisi
Puisi berasal dari bahasa Yunani “proesis” yang berarti penciptaan.
Puisi disebut poetry dalam bahasa Inggris. Puisi ditulis berdasarkan susunan
kata- kata yang indah dan memiliki daya tarik yang tinggi dan luar biasa,
hasil pengungkapan perasaan dan pikiran penulisnya.
Ada beberapa ahli berpendapat bahwa puisi karya sastra yang mengutamakan
permainan bunyi atau kata-kata. Suroso dalam bukunya Ikhtisar Sastra
(2000:62) membatasi puisi sebagai bentuk
karangan yang terikat oleh aturan tertentu, bait, baris, dan sajak.
Sementara Sumardi dan Abdul Rozak lebih menspesifikan pengertian
puisi, yaitu karangan bahasa yang khas yang memuat pengalaman yang
disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi
disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara
estetik. Kekhasan susunan bahasa dan susunan peristiwa itu diharapkan
dapat menggugah rasa terharu pembaca. Lain halnya dengan Herman
Waluyo yang secara tidak langsung mendukung pendapat Sumardi dan
Razak dikatakannya bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang
dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu
dan pemilihan kata-kata
kias/imajinatif (2003:19).
Di dalam seni sastra, dapat dipahami bahwa puisi sebagai suatu struktur
makro dan keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan,
sistem tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana
kontak dengan pembaca, dan pembaca sebagai addressee. Komponen
yang lazim disebut. sebagai struktur makro sebagai struktur makro yakni
komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Untuk
memahami keberadaan puisi sebagai suatu struktur makro perhatikan
kutipan puisi di bawah ini yang berjudul “ Sedih” karya Moh. Yamin
SEDIH
Hijau tampaknya bukit barisan
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang
Putuslah nyawa hilanglah badan
Lamun hati terkenal pulang
Gunung tinggi diliputi awan
Berteduh langit malam dan siang
Terdengar kampung memanggil taulan
Rasakan hancur tulang belulang
Habislah tahun berganti zaman
Badan merantau sakit dan senang
Membawakan diri untung dan malang
Di tengah malam terjaga badan
Terkenang Bapa sudah pulang
Diteduh selasih, kemboja sebatang
Termuat dalam ST. Alisjahbana 1969. Kebangkitan Puisi Baru Indonesia.
Jakarta: PT Dian Rakyat
Bandingkan puisi di atas dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar
di bawah ini!
DO’A
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Chairil A nwar: 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan
Ditinjau dari segi makronya, kedua puisi di atas mem iliki perbedaan
dalam hal (1) penutur, (2) konteks, (3) sesuatu yang digambarkan,
gagasan, perasaan, sikap maupun pendapat, (4) paparan bahasanya,
dan (5) tanggapan masyarakat pembaca. Dilihat dari sosok penyairnya,
terdapat perbedaan antara Moh. Yamin dan Chairil Anwar. Pemahaman
perbedaan sikap dan pandangan kedua penyair tersebut sedikit banyak
akan membantu kelancaran kita dalam memahami puisi yang
diciptakan. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mutlak karena
pembaca sudah dapat mengapresiasi puisi di atas dengan bertum pun
pada teks puisi itu sendiri.
Meskipun menunjukkan perbedaan, kedua kutipan di atas ditinjau
dari aspek bentuk kebahasaan/sistem yang digunakan memiliki kesamaan.
Kedua puisi di atas sama-sama memanfaatkan (1) bunyi kebahasaan,
(2) kata-kata, dan (3) penggunaan gaya bahasa dalam menciptakan kontak
dengan pembacanya. Penggunaan bahasa dalam puisi karakteristiknya sangat
beragam. Ada penyair yang dalam menggunakan bahasa tersebut begitu
memperhatikan penataan bunyi, pilihan kata, gaya bahasa, penataan
lirik, bait, maupun tipografi atau bentuk penulisannya. Penyair Chairil Anwar
misalnya merupakan salah seorang penyair yang begitu cermat
menggunakan paduan bunyi,
pilihan kata, gaya bahasa, maupun tipografi.
Pada sisi lain ada juga yang menggunakan bahasa seakan-akan sebagai
“main-main” karena penyair menggunakan bahasa hanya sebagai sarana
untuk membangkitkan asosiasi pembacanya. Selain itu ada juga penyair
yang pilihan kata mupun gaya bahasanya seakan-akan tidak ada bedanya
dengan bahasa sehari-hari. Pilihan kata dan gaya bahasanya tidak
memberi kesan rumit sehingga isinya mudah dipahami. Perbedaan
demikian lebih lanjut akan berimplikasi pada tingkat kesulitan dalam
kegiatan apresiasi puisi.
b. Struktur Pembangun Puisi
Puisi pada hakikatnya dibangun oleh struktur fisik dan struktur batin. Strukturfisik
meliputi unsur diksi, bahasa kias, pencitraan dan persajakan. Struktur batin mencakup
unsur pokok pikiran, tema, nada, suasana, dan amanat. Jakob Sumarjo mementukan
unsur pembentuk puisi adalah tema, latar, simbol/perlambangan, musikalitas/
persajakan, gaya bahasa. Puisi sebagai karya sastra yang unik menggunakan baasa
sebagai media pengungkapannya. Berbeda dengan bahasa sehari-hari bahasa
dalam puisi khas karena bahasa yang diungkapkan dalam tulisan puisi merupakan
hasil pengolahan rasa, batin, dan imajinasi penulisnya (penyair). Bahasa puisi
adalah bahasa konotatif.
1) Struktur fisik
a) Diksi
Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair dengan secermat-cermatnya
untuk menyampaikan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya agar
terjelma ekspresi jiwanya seperti yang dikehendaki penyairnya secara maksimal
sehingga pembaca pun akan merasakan hal yang sama. Dalam diksi diperhatikan
juga kosa kata, urutan kata, dan daya sugesti kata. Kosa kata dipilih untuk
kekuatan ekspresi, menunjukkan ciri khas, suasana batin, dan latar belakang
sosio budaya si penyair.
Seorang penyair dalam menulis puisi harus menggunakan diksi yang tepat.
Apa maksudnya? Menulis puisi menggunakan pemiliha kata yang cermat dan
sistematis agar menghasilkan suasana yang
tepat dan cocok dengan pengungkapannya. Abdul Hadi (Eneste, 1984:142)
pemilihan diksi yang tepat akan menghasilkan sugesti (daya gaib) yang muncul
dari diksi berupa kata atau ungkapan.
b) Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu pengiasan dan
perlambangan. Gaya bahasa diciptakan dan dipergunakan penyair dalam
puisi dengan tujuan menghasilkan kesenangan bersifat imajinatif,
menghasilkan makna tambahan dalam puisi, menambah intensitas
dan menambah konkret sikap dan perasaan penyair, juga agar makna
yang diungkapkan lebih padat (Perine, 1974:610 )
Bahasa kiasan mencakup semua jenis ungkapan yang bermakna lain dengan
makna harfiahnya, yang bisa berupa kata, ataupun susunan kata yang
lebih luas. Bahasa kiasan berfungsi sebagai sarana untuk menimbulkan
kejelasan gambaran angan supaya menjadi lebih jelas, menarik, dan hidup.
Perhatikan kata-kata yang dicetak miring dalam penggalan kutipan puisi
berjudul “Di Meja Makan” karya Rendra berikut ini :
Ia makan nasi dan isi hati pada mulut terkunyah duka tatapan matanya
pada lain isi meja lelaki muda yang dirasa tidak lagi dimilikinya.
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa
….
Ada banyak jenis bahasa kiasan yang dimanfaatkan dalam puisi, misalnya:
perbandingan (bahasa kiasan yang menggunakan kata-kata pembanding),
metafora (perbandingan yang tidak menggunakan kata-kata pembanding),
dan personifikasi (mempersamakan benda-benda dengan sifat manusia).
c) Pencitraan
Pengimajian atau pencitraan adalah pengungkapan sensoris penyair ke
dalam kata dan ungkapan sehingga terjelma gambaran suasana yang lebih
konkret. Ungkapan itu menyebabkan pembaca seolah-olah melihat sesuatu,
mendengar sesuatu, atau turut merasakan sesuatu. Jika seolah-olah pembaca
melihat sesuatu pada saat membaca puisi maka yang dilukiskan penyair
adalah imaji visual (shape image). Jika pembaca mendengar pada saat
membaca puisi maka yang dilukiskan adalah imaji auditif (sound image/
auditory image). Jika pembaca merasakan ada gerak yang ditampilkan
dalam membaca puisi maka yang dilukiskan penyair adalah imaji gerak
(image of movement/kinesthetic image). Jika pembaca merasakan perasaan
penyair maka yang dilukiskan adalah imaji indera (tachtich image, image
of touch) – (Perine, 1974 : 616 ; Achmad, 1986 : 14, Waluyo, 1986 : 23).
Citraan adalah sebuah efek dalam gambaran angan atau pikiran yang
sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh ungkapan penyair
terhadap sebuah objek yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan,
pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman.
Perhatikan puisi karya Rendra berjudul “Episode” berikut ini
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran
Tiba-tiba ia bertanya:
"Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?“
Aku hanya tertawa
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
Aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
(Rendra, Empat Kumpulan Sajak, h.18)
d) Persajakan
Bunyi dalam puisi atau persajakan memiliki peran penting dalam menentukan
makna. Puisi jika dibacakan baru terasa indah. Itu artinya persajakan dalam
puisi dapat menentukan berhasil tidaknya pembaca puisi membawakan
puisinya kepada penikmat / pendengar. Pembahasan bunyi dalam puisi
mencakup masalah rima, ritma, dan metrum. Rima berarti persamaan
atau pengulangan bunyi dalam puisi. Rima berfungsi untuk membentuk
orkestrasi, yang dapat berbentuk asonansi (ulangan bunyi vokal pada
kata yg berurutan), dan aliterasi (ulangan bunyi konsonan pada awal
kata yg berurutan). Ritma berarti pertentangan bunyi yang berulang
secara teratur membentuk gelombang antar baris puisi. Metrum adalah
variasi tekanan kata atau suku kata (Bolton, 1979 : 42-68).
Makna puisi akan konkret bila puisi itu dibacakan secara estetik hal ini
didasaari suatu asumsi penerimaan dengan menggunakan indera visual l
ebih sulit dibandingkan dengan indera auditif.
2) Struktur Batin
Struktur batin puisi terdiri dari: tema, perasaan, nada, dan amanat.
a) Tema
Tema adalah gagasan pokok atau pokok persoalan yang dikemukakan
oleh penyairnya. Secara garis besar hanya ada empat tema besar yang
biasanya digeluti oleh para penyair, yaitu keindahan alam, masalah manusia
dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, masalah manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain, dan masalah manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan yang menyangkut semangat hidup
manusia dalam mempertahankan kehidupannya yang lebih baik
dan bermanfaat.
b) Perasaan
Perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan (objek puisi)
yang digarapnya. Unsur perasaan terkait erat dengan unsur tema atau
pokok persoalan dalam puisi. Dalam lingkungan
awam pun jika kita menghadapi sesuatu atau tingkah seseorang, kita
bisa bersikap simpatik, acuh tak acuh, atau bahkan muak.
c) Nada
Nada adalah sikap penyair terhadap pembacanya (bisa menggurui,
penuh kesinisan, mengejek, menyindir, humor, atau secara lugas).
Dengan demikian nada sajak sangat erat kaitannya dengan rasa dan
pokok persoalan yang dikandung puisi tersebut.
d) Amanat
Amanat adalah tujuan atau pesan yang secara eksplisit maupun
implisit ingin disampaikan penyair melalui puisi-puisinya kepada pembacanya.
c. Contoh Kritik Sastra Puisi
Kritik Sastra Puisi "Aku" Karya Chairil Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
a) Tema
Tema dalam puisi diatas adalah perjuangan. Hal ini dapat terlihat dari
kalimat “Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang”.
Puisi Chairil adalah semangat merebut hidup yang pastilah tidak mudah,
apalagi bagi penyair yang penuh kesulitan hidup ini. Bahkan meskipun
dia berbicara tentang sesuatu yang perih-pedih, semangat hidupnya
tetap terasa menggelora. Adalah karakter penyair ini tampaknya,
bahwa dia tidak mudah menyerah melawan hidup yang begitu pedih.
b) Rasa
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan
kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau
menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya
yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau
terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-
bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari
sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan
luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih bergairah hidup.
Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi. Uraian di atas
merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah
sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Puisi Aku ini
adalah puisi Chairil Anwar yang paling memiliki corak khas
dari beberapa sajak lainnya.
c) Nada
Dalam Puisi ‘Aku’ terdapat kata ‘Tidak juga kau’, Kau yang dimaksud
dalam kutipan diatas adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini.
Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang
yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu
baik, atau pun buruk. Disamping Chairil ingin menunjukkan
ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat
pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang
tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang
seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan
ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya.
Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
d) Diksi
Untuk ketetapan pemilihan kata, penyair banyak menggunakan diksi yang
tepat, bermakna konotatif untuk memperindah puisinya seperti :
Ku mau tak seorang’kan merayu = ku tahu
Kalau sampai waktuku = kalau aku mati
Tak perlu sedu sedan = tak ada gunanya kesedihan itu
Binatang jalang = orang hina
Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani
melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak
sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain
orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jeleknya
dalam dirinya.
e) Citraan
Di dalam puisi ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :
‘Ku mau tak seorang’kan merayu (Imaji Pendengaran)
‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)
‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)
‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
Citraan yang disampaikan oleh Chairil Anwar sangat bermakna dan
mempunyai ciri khas tersendiri. Ia memberikan kesan yang berbeda
saat pembaca membaca puisi ini. Berbeda dengan karya sebelumnya,
dalam puisi Aku Chairil Anwar membuat para pembaca ikut merasakan
apa yang dirasakannya.
f) Gaya bahasa
Dalam bahasa “Aku” penyair banyak menggunakan majas hiperbola.
Selain itu, terdapat campuran bahasa indonesia yang tidak baku seperti
perduli dan peri. Walaupun begitu ia sangat mahir dalam membuat
pembaca terbius dengan puisi-puisinya.
g) Kata Konkret
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu
sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas
menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya,
puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah,
seperti Chairil itu sendiri. Puisi Aku ini adalah puisi Chairil Anwar yang
paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya.
Alasannya, sajak Aku bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap
yang biasa digunakan penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah
sekalipun. Idiom ’binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut
pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga
Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
h) Irama
Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena
ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’. Vokal ‘U’pada
larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik pertama ‘Kalau sampai waktuku.’
Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.
Larik kedua ‘Tidak juga kau’.
Pengulangan vokal ‘I’:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
i) Rima
Dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan rima yang jelas berbeda
dengan “Krawang-Bekasi”, hal ini terlihat dalam larik
• Rima tak sempurna
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
• Rima Terbuka à yang berima adalah suku akhir suku terbuka dengan vokal yang sama.
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dalam puisi ”Aku” gaya bahasa yang diberikan oleh Chairil Anwar
juga hiperbola seperti yang tergambar dalam larik
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Hal ini jelas hiperbola tersebut merupakan penonjolan pribadi Chairil Anwar,
ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya. Sehingga membuat
pembaca terhanyut dalam rima yang indah.
j) Amanat
Amanat dalam Puisi ‘Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan
dan dapat kita rumuskan adalah sebagai berikut :
(1) Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun
rintangan menghadang.
(2) Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya
menonjolkan kelebihannyasaja.
(3) Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya
agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
Penyair memberikan pengalaman kepada para pembaca agar lebih mengerti
tentang karya sastra dan tidak teracuni dengan karya sastra tersebut danme
motivasi pembaca untuk lebih mengenal karya sastra. Kiasan-kiasan yang
dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam
dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan
mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging,
seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa
citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat,
dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan
sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup
yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu
tahun lagi”. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa
Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk
pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu
tahun adalah semangatnya bukan fisik.
3. Kritik Sastra Prosa
a. Pengertian Prosa
Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku
tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita
tertentu yang bertolak dari hasil im ajinasi pengarangnya sehingga menjalin
suatu cerita. Dalam cerita prosa nonkonvensional tujuan pengarang
umumnya menampilkan gagasan secara aktual lewat karya prosa
yang ditampilkannya.
Karya prosa fiksi dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah
cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang
habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang
mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku
perjalanan dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita
fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak
sampai tutup usia.
Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun,
sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama
dengan novel. Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas
(jumlahnya sedikit), dan mencakup peristiwa yang terbatas pula.
Kualitas tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh.
Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya langsung
ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan
oleh pengarangnya melalui narasi,
deskripsi, atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup
rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari,
seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan
cerpen. Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi
karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang dan
kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan
kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih
komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang
lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan
yang diangkat menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks
dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen. Permasalahan hidup
manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah rumit dan kompleks.
Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan antarmanusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan masyarakat, dan
manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis, tetapi
bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi
bumbu cerita.
Perbedaan berbagai bentuk dalam karya prosa itu, pada dasarnya
hanya terletak pada kadar panjang-pendeknya isi cerita, kompleksitas
isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri.
Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk karya
prosa fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki
kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan.
Oleh karena itu, hasil telaah sebuah cerpen dapat diterapkan dalam
menelaah novel.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh
unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun
karya sastra lazim disebut dengan unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud
dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya
sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat,
dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka
dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi,
politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu
yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal
tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu
pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang
lahir dari kekosongan budaya.
b. Unsur-Unsur Prosa
1) Unsur Intrinsik
a) Setting dalam Prosa Fiksi
Peristiwa-peistiwa dalam cerita fiksi selalu dilatarbelakangi oleh
tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi, dalam karya
fiksi, seting bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal
untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Ia juga mempunyai fungsi
psikologis sehingga setting pun mampu m enuansakan makna tertentu
serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakan
emosi, atau aspek kejiwaan pembacanya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seting adalah latar
peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tem pat, waktu, maupun
peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
b) Gaya Bahasa dalam Karya Fiksi
Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara
seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan
media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Unsur-unsur gaya yang terdapat dalam suatu cipta sastra yang
akan melibatkan masalah (1) unsur-unsur kebahasaan berupa kata
dan kalimat, serta (2) alat gaya yang melibatkan masalah kiasan
dan majas. Dalam rangka menganalisis unsur gaya dalam suatu
cerpen, pembaca dapat berangkat dari beberapa pertanyaan
tertentu seperti berikut.
(1) Jenis gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam cerpen tersebut?
(2) Mengapa pengarang menggunakan gaya bahasa dem ikian?
(3) Adakah pilihan kata atau penataan kalimat yang istimewa?
(4) Bagaimana efek pemilihan gaya bahasa, kata, dan penataan
kalimat sehubungan dengan makna dan suasana penuturnya?
(5) Mengapa pengarang menggunakan cara demikian?
c) Penokohan dan Perwatakan
Peritiwa dalam karya sastra fiksi, seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari,
selalu dilakoni oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang melakoni
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.
Adapun cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut
dengan penokohan.
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang
berbeda-beda. Seorang tokoh yang m emiliki peranan penting
dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama.
Adapun tokoh yang tidak memiliki peranan tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku
utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Untuk menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan
dalam suatu cerpen dapat ditentukan dengan melihat keseringan
muncul dalam suatu cerita atau tokoh yang sering diberi komentar
atau yang sering dibicarakan oleh pengarangnya. Tokoh tambahan
hanya muncul sesekali atau tokoh yang hanya dibicarakan ala
kadarnya. Selain itu, tokoh utama dapat ditentukan juga lewat
judul cerita. Misalnya, dalam cerita yang berjudul Siti Nurbaya,
maka Anda akan segera dapat menentukan bahwa nama yang diangkat
sebagai judul cerita itu merupakan tokoh utama.
Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan
sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu.
Tokoh yang memiliki watak baik sehingga disenangi pembaca
disebut tokoh protagonis, dan pelaku yang tidak disenangi
karena mem iliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang
diidamkan oleh pembaca disebut tokoh antagonis.
Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya
lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya,
(2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan sosok
pelakunya, (4) melihat cara tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri,
(5) memahami jalan pemikirannya, (6) melihat tokoh lain di dalam
membicarakannya, (7) m elihat tokoh lain berbincang dengannya,
(8) melihat tokoh lain memberikan reaksi terhadapnya, dan
(9) melihat tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
Selain terdapat pelaku utama, terdapat beberapa istilah pelaku
lainnya: pelaku tambahan, pelaku protogonis dan pelaku yang antagonis.
Di samping itu, ada istilah (1) simpel karakter, yakni pelaku yang
tidak banyak menunjukkan kompleksitas masalah. Pemunculannya
hanya dihadapkan pada satu
permasalahan tertentu yang tidak banyak menimbulkan adanya obsesi-
obsesi batin yang komplek. (2) Komples karakter, yaitu pelaku yang
pemunculannya banyak dibebani permasalahan. Selain tu, kompleksitas
karakter ditandai dengan munculnya pelaku yang memiliki obsesi
batin yang cukup kompleks sehingga kehadirannya banyak memberikan
gambaran perwatakan yang komplek. Dalam prosa fiksi simpel karakter
umumnya adalah pelaku tambahan, sedangkan kompleks karakter
adalah pelaku utama. (3) Pelaku dinamis, adalah pelaku yang memiliki
perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya.
(4) Pelaku statis, adalah pelaku yang tidak menunjukkan adanya
perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai
cerita berakhir.
d) Alur dalam Prosa Fiksi
Alur dalam prosa fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk
oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu yang dihadiri
oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan
istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin
suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian berbagai macamperistiwa.
Contoh alur dalam kehidupan sehari-hari
Saat terjadi tubrukan antara dua pengendara motor di jalan, tanpa
saling menyebut nama masing-masing terlebih dahulu atau tanpa
berkenalan terlebih dahulu, kedua pengendara motor itu bertengkar
saling menyalahkan dan menuntut ganti rugi. Bisa saja pertengkaran
itu semakin memuncak sehingga datang orang lain meleraikannya.
Setelah polisi datang, masalah diselesaikan dengan baik, kedua
orang itu dapat damai. Setelah berdamai, barulah kedua orang itu
saling memperkenalkan diri: Siapa nama, di mana rumahnya?
Jika diurutkan, cerita singkat di atas berada dalam tahapan-tahapan
peristiwa yang diawali oleh komplikasi, yakni penyebab yang
menimbulkan konflik, dalam hal ini adalah saling bertubruknya
kedua motor. Setelah itu, timbulnya konflik, yakni sewaktu kedua
orang itu bertengkar mencari menang sendiri; klimaks yakni
kedua orang itu bertengkar semakin memuncak, mungkin
berkelahi, sehingga menuju ke peleraian, yakni pada saat
orang-orang datang meleraikannya. Setelah tahap peleraian,
rangkaian cerita itu akhirnya masuk pada penyelesaian,
yakni pada waktu keduanya mau berdamai. Setelah itu,
rangkaian cerita di atas diakhiri dengan perkenalan, yakni
sewaktu kedua pengendara motor itu saling menyebutkan
nama dan alamat rumahnya. Jika diurut secara ringkas,
maka cerita di atas akan berada dalam rangkaian komplikasi,
konfliks, peleraian, penyelesaian, dan pengenalan.
e) Titik Pandang
Titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya. Titik pandang atau biasa diistilahkan dengan point of view
atau titik kisah meliputi:
(1) narrator omniscient adalah narator atau pengisah yang juga berfungsi
sebagai pelaku cerita, pengarang atau pengisah menyebut pelaku utama
dengan nama pengarang sendiri, saya atau aku, (2) narrator observer
adalah pengisah hanya berfungsi sebagai pengam at terhadap permunculan
para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku
batiniah para pelaku, (3) narrator observer omnisceint, dalam cerita
narrator observer pengarang menyebut nama pelakunya
dengan ia, dia, nama-nama lain, maupun mereka, dan narrator he third
person omniscient.
f) Tema dalam Prosa Fiksi
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Tema berkaitan dengan hubungan antara makna dengan
tujuan pemaparan `prosa fiksi oleh pengarangnya. Untuk memahami
tema,pembaca terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan
yang membangun suatu cerita, menyimpulkan
makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan
penciptaan pengarangnya. Dalam upaya pemahaman tema, pembaca
perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat.
(1) Memahami seting dalam prosa fiksi yang dibaca.
(2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam
prosa fiksi yang dibaca.
(3) Memahami satuan peristiwa pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam
prosa fiksi yang dibaca.
(4) Memahami plot atau cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang
disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
(5) Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang
ditampilkannya
(6) Mengidentifikasi tujuan pengarang m emaparkan ceritanya dengan
bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok
pikiran yang ditampilkannya.
Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya
dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita
yang dipaparkan pengarang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa pemahaman tentang
tema tidaklah mudah, akan tetapi cobalah berlatih menemukan tema
secara berkelanjutan dan berupaya memahami isi prosa secara keseluruhan.
Cara ini dapat mengantar kita memahami sastra dalam kehidupan.
2) Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik prosa adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi
penciptaan karya sastra, seperti faktor pendidikan pengarang, faktor
kesejarahan, dan faktor sosial budaya.
Setiap karya sastra, termasuk prosa, tidak bisa tercipta tanpa melibatkan
unsur-unsur kebudayaan. Semua karya sastra akan terkait dan melibatkan
dinamika suatu kehidupan masyarakat, yang punya adat dan tradisi tertentu.
Unsur Ekstrinsik Kepengarangan Sosial Budaya Kesejarahan
Selain itu, M. Atar Semi berpendapat bahwa struktur ekstrinsik mencakapi
faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, kegamaan,
dan tata nilai yang dianut dalam masyarakat (1993:35).
Hampir sama dengan itu adalah pendapat Frans Mido yang berpendapat
bahwa struktur ekstrinsik mencakupi semua unsur-unsur seperti : sosiologi,
ideologi, politik, ekonomi, dan kebudayaan (1994:14). Mengutip Wellek
dan Warren (1956:75-135), Nurgiyantoro (2000: 24) menyebutkan
bahwa unsur-unsur yang termasuk dalam lingkup struktur ekstrinsik
ini antara lain:
a) Keadaan subjektifitas individu pengarang (seperti: sikap, keyakinan,
dan pandangan hidup);
b) Psikologi, meliputi psikologi pengarang, psikologi pembaca, dan psikologi terapan;
c) Keadaan lingkungan di sekitar pengarang (seperti : politik, ekonomi, dan sosial);
d) Pandangan hidup suatu bangsa (ideologi) ; dan Karya sastra atau karya seni lainnya
c. Contoh Kritik Sastra Prosa
Kritik Sastra Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya A.A Navis Cerpen Robohnya
Surau Kami karya A.A Navis menyajikan cerpen yang bermuatan religius
dengan sangat baik, beliau mengemas dengan amat hati-
hati agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dianggap sebagai karya sesat.
Cerpen Robohnya Surau Kami, sebenarnya yang terjadi pada cerpen tersebut
bukanlah tentang suaru yang roboh atau runtuh, melainkan ideologilah
keagamaan yang runduh. Cerpen Robohnya Surau Kami menceritakan
tentang seorang yang biasa dipanggil Kakek, Kakek adalah seorang
yang tidak mempunyai pekerjaan, yang dilakukan setiap harinya adalah
menjaga surau dan beribadah di surau tersebut. Kakek pandai mengasah
pisau dan gunting, serta banyak juga yang meminta tolong kepadanya
untuk diasah pisau atau guntingnya. Namun, ia tidak pernah meminta
imbalan apapun, dan orang yang meminta tolong pun memberi imbalan
seperti rokok dan makanan. Kakek tidak mempunyai penghasilan dari mana
pun, ia hanya mendapatkan dari sedekah dan uang-uang hari raya.
Sekarang suarau itu sudah tidak terawat lagi, orang-orang yang mencabuti
papan pada surau untuk keperluan pribadi, anak-anak kecil bermain
di dalam surau, dan banyak pula yang mengambil bahan-bahan
bangunan yang masih bisa dimanfaatkan. Sekali lihat pun orang-orang
yang lewat di sekitar suarau pasti mengetahui bahwa tidak lama lagi
surau tersebut akan roboh. Itu semua dikarenakan tidak ada lagi yang
mengurus surau, karena Kakek telah meninggal dunia. Sebelum meninggal
dunia. Kakek didatangi oleh Ajo Sidi, seorang pembual yang kerjanya hanya
menyebarkan cerita-cerita yang tidak dapat dipercaya.
Suatu hari Ajo Sidi mendatangi Kakek dan menceritakan tentang keadaan di neraka.
Dia bercerita bahwa disaat penghitungan amal, terdapat seorang haji, yang
bernama Haji Saleh. Tuhan bertanya kepada Haji Saleh tentang kehidupannya
dan Haji Saleh pun menjelaskan kehidupannya yang selalu taat beribadah dan
selalu bertaqwa kepada Tuhan. Namun Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka
oleh Malaikat atas perintah Tuhan. Haji Saleh yang tidak terima atas hukuman
yang dijatuhi kepadanya, memprotes kepada Tuhan.
Akhirnya Tuhan menceritakan kenapa Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka.
Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka karena semasa hidupnya, ia hanya
memikirkan keadaan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya,
Tuhan menganjurkan untuk beribadah dan beramal kepada yang kurang mampu,
tetapi Haji Saleh hanya beramal kepada orang lain, namun keluarganya sendiri
dilupakan. Kesalahan lainnya adalah karena Haji Saleh hanya beribadah dan
malasbekerja sehingga tidak mempunyai apa-apa untuk
dimalkan lagi., padahal sesungguhnya ia mampu bekerja dan beramal.
setelah mendengar kata-kata Tuhan, Haji Saleh dan pengikutnya yang ikut
protes terdiam dan kembali dimasukkan ke dalam neraka.
Mendengar cerita itu, Kakek secara tidak langsung merasa tersindir
dan marah kepada Ajo Sidi. Kemudian sepeninggal Ajo Sidi, Kakek
menjadi pemurung, berbeda dari tingkat lakunya yang biasa.
Bahkan Kakek sempat mengasah pisau untuk menggorok leher
si Ajo Sidi karena tersinggung dengan ceritanya.
Keesokan harinya, didapati kabar bahwa Kakek meninggal di surau.
Keadaanya sangat mengerikan, ia menggorok lehernya sendiri dengan
pisau cukur. Ajo Sidi menjadi orang yang pertama terjadi, mengingat
karena ulah dialah Kakek bunuh diri, akibatdari cerita yang ia kabarkan.
Namun setelah didatangi,Ajo Sidi tidak ada di rumah dan ketika ditanya
istrinya menjawab bahwa suaminya sedang pergi bekerja.
Setelah membaca cerpen ini, saya seperti memaca kembali
dongeng-dongeng anak muslim yang menceritakan sisi lain
dari kehidupan beragama. Seperti yang diketahui, tokoh Kakek
atau pun Haji Saleh dalam cerita Ajo Sidi mempunyai suatu
kesamaan, yaitu hanya orang yang giat beribadah. Namun
mereka berdua lupa akan perintah Tuhan yang sederhana,
yaitu memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sehingga
dapat dikatakan bahwa dibalik kesempurnaan yang tampak,
di dalamnya pasti ada kecacatan besar yang tidak tampak.
Di dalam cerpen ini juga tersirat beberapa simbol, salah
satunya adalah robohnya suarau. Surau dapat diumpamakan
sebagai suatu ideologi keagamaan Kakek yang runtuh seketika
karena cerita Ajo Sidi. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan
makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh
pengarang adalah keruntuhan ideologi beragama akibat sebuah
kesalahan kecil yang sangat fatal.
Melihat isi cerpen Robohnya Surau Kami, saya berpendapat
bahwa unsur keagamaan yang ditampilkan sangat kental,
oleh karena itu sangat memungkinkan bahwa pengarang yaitu,
A.A Navis sangat cermat melukiskannya. Secara logika, tidak
mungkin cerpen religius seperti ini dibuat oleh orang yang tanpa
pengetahuan agama atau orang yang tidak taat beragama.
A.Anavis merupakann seorang Haji dan budayawan yang bergerak
di bidang kemanusiaan. Cerpen ini dibuatdengan latar belakangi
dua alasan tadi, Semua cerita itu dikemas secara sinkronisasi
oleh A.A Navis menggabungkan antara unsur-unsur kemanusiaan
dan keagamaan. Memang keduanya sangat berkaitan erat, bagaimana
sikap untuk memanusiakan manusiadan saling tolong-menolong antar
umat beragama terdapat dalam ajaran agama manapun. Secara tidak
langsung pesan yang disampaikan menyangkut semua umat beragama,
bukan hanya agama Islam saja.
Mungkin batasan agama yang terdapat dalam cerpen terdapat pada
pemilihan kata “surau”. Kata “surau” identik dengan tempat beribadah
umat muslim.
Sehingga para pembaca awam yang memeluk agama selain Islam merasa
cerpen ini diperuntukkan hanya untuk umat muslim saja. Seandainya kata
“surau” diganti dengan “tempat beribadah” saja mungkin akan lebih menaikan
nilai jual cerpen ini. Lalu kekurangan lainnya terdapat pada tokoh “aku”. Tokoh
Aku pada cerpen ini seharusnya tidak perlu ditampilkan, karena tidak
berpengaruh pada jalannya cerita. Gaya flashback yang digunakan juga
terasa kurang tepat karena pembaca sudah mengetahui riwayat tokoh Kakek
pada awal cerpen, gaya flashback ini justru mengurangi susspence pada
cerita.
4. Kritik Sastra Teks Drama
a. Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Greek; tegasnya dari kata kerja dran
yang berarti “berbuat, to act atau to do”. Drama berarti perbuatan,
tindakan, atau beraksi (action). Drama cenderung memiliki pengertian ke
seni sastra. Di dalam seni sastra, drama setaraf dengan jenis puisi,
prosa/esai. Drama juga berarti suatu kejadian atau peristiwa tentang
manusia. Cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan
pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan
penonton (audience).
Sementara Bethaazar Verhagen yang dikutip oleh Slamet Mulyana,
mengatakan bahwa drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat
manusia dengan gerak. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa dram a pada dasarnya adalah salah satu cabang seni
sastra yang mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan menjadi suatu
lakon yang dipentaskan di atas panggung. Drama juga adalah seni yang
menggarap lakon-lakon mulai sejak penulisannya hinggga pementasannya
44 Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional J
yang membutuhkan ruang, waktu, dan khalayak atau hidup yang
disajikan dalam gerak yang memuat sejum lah kejadian yang memikat dan
manarik hati.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah “sandiwara”. Istilah ini diambil
dari bahasa Jawa “sandi” dan “warah”, yang berarti pelajaran yang
diberikan secara diam-diam atau rahasia (sandi artinya rahasia, dan
warah artinya pelajaran). Istilah sandiwara seperti yang dipakai pada
sandiwara radio atau sandiwara pentas menunjukkan bahwa kata
sandiwara dapat menggantikan kata drama.
Selain kedua istilah di atas, kita juga mengenal istilah teater. Teater dan
drama pada dasarnya memiliki arti yang sama, tetapi berbeda uangkapannya.
Teater berasal dari kata yunani kuno "theatron" yang secara harfiah
berarti gedung/tem pat pertunjukan. Dengan dem ikian maka kata teater
selalu mengandung arti pertunjukan/tontonan. Jika peristiwa atau cerita
tentang manusia kemudian diangkat ke suatu pentas sebagai suatu
bentuk pertunjukan, maka menjadi suatu peristiwa Teater. Kesimpulannya
teater tercipta karena adanya drama.
Hal senada diungkapkan oleh Henri G. Tarigan bahwa dalam sastra
Indonesia drama dipisahkan atas dua pengertian. Pertama, drama sebagai
text play atau naskah karya sastra milik pribadi, yaitu naskah bacaan milik
penulis drama yang masih mem butuhkan pembaca soliter dan perlu digarap
yang baik dan teliti jika ingin dipentaskan. Kedua, drama sebagai teater
atau pementasan adalah seni kolektif atau pertunjukan yang siap
dipentaskan sehingga berfungsi sebagai tontonan pertunjukan.
b. Unsur-unsur Drama
1) Unsur Instrinsik
Unsur-unsur drama pada dasarnya tidak jauh berberbeda dengan unsur-
unsur dalam prosa fiksi. Unsur-unsur tersebut adalah plot atau alur,
tokoh atau karakter, dialog, latar atau setting. Apabila drama sebagai
naskah itu dipentaskan maka dilengkapi dengan unsur gerak atau
action,tata busana dan tata rias, tata panggung, tata bunyi atau suara,
dan tata lampu atau sinar.
a) Plot atau Alur
Plot atau alur dalam drama tidak jauh berbeda dengan plot atau
alur dalam prosa fiksi. Drama juga mengenal tahapan plot, seperti
tahapan permulaan (beginning), pertengahan (middle), menuju akhir
(ending). Dalam drama istilah tersebut dikenal dengan nama
eksposisi, komplikasi, dan resolusi. Eksposisi mendasari dan
mengatur gerak dalam masalah-masalah waktu dan tempat.
Eksposisi memperkenalkan pelaku, yang akan dikembangkan
dalam bagian utama lakon itu, dan memberikan suatu indikasi
resolusi. Komplikasi bertugas mengembangkan konflik. Pelaku
utama mengalami gangguan, penghalang dalam mencapai
tujuannya, membuat kekeliruan, yang akhirnya kita dapat meneliti
tipe manusia bagaim anakah sang tokoh itu. Resolusi harus
berlangsung secara logis dan mempunyai hubungan yang wajar
dengan apa yang mendahuluinya, yang terdapat dalam komplikasi.
Butir yang memisahkan komplikasi dari resolusi disebut dengan
klimaks atau turning point. Akhir pertunjukan mungkin berupa happy
end, mungkin sebaliknya unhappy-end.
Plot dalam drama dapat disajikan dengan pelbagai jalinan, antara lain:
(1) Jalinan sirkuler, bila plot disusun dari peristiwa A dan akhirnya
kembali ke peristiwa A. Misalnya, drama Aduh karya Putu
Wijaya. Drama tersebut dimulai dengan datangnya orang yang
sedang sakit, lalu berakhir pula dengan sebuah adegan yang
sama yaitu hadir orang yag sedang sakit, bahkan dengan
dialog yang persis sama dengan peristiwa sebelumnya.
(2) Jalinan linear, bila plot disusun secara kronologis dari peristiwa A
sampai peristiwa Z.
(3) Jalinan episodik, bila jalinan plotnya terpisah. Maksudnya
dalam satu drama mengandung dua atau lebih jalinan peristiwa
46 Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional J
b) Babak dan Adegan
Dalam drama plot atau alur itu dibagi di dalam babak-babak dan
adegan-adegan. Walaupun tidak sem ua, kebanyakan naskah
drama dibagi dalam beberapa babak. Pembagian ke dalam babak-
babak itu dilakukan dengan seksama oleh pengarang, atas
pertimbangan yang matang, yakni didorong oleh kebutuhan nyata.
Kebutuhan berhubungan dengan pementasan, karena peristiwa yang
dilukiskan tidak selamanya terjadi di satu tempat dan waktu. Itu berarti
para awak pementasan harus m engubah dan mempersiapkan
berbagai peralatan yang dapat menggambarkan tempat dan waktu
peristiwa. Jadi satu babak dalam naskah drama adalah bagian
dari naskah drama itu yang merangkum semua peristiwa yang
terjadi di suatu tempat dan pada waktu tertentu. Dengan kata lain
babak adalah bagian dari plot atau alur dalam sebuah drama yang
ditandai oleh perubahan setting atau latar.
Dalam satu babak dibagi lagi dalam beberapa adegan, yaitu bagian
dari babak yang batasnya ditentukan oleh perubahan peristiwa
berhubung datangnya atau perginya seorang atau ebih tokoh cerita
ke atas pentas. Yang tidak kalah pentingnya adalah dialog,
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dialog adalah bagian dari
naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan
yang lain. Jadi, adegan merupakan bagian dari babak yang
ditandai oleh perubahan jumlah tokoh ataupun perubahan masalah
yang dibicarakan.
c) Tokoh atau Karakter
Tokoh adalah pelaku cerita yang menggerakan plot dari suatu
tahapan ke tahapan lain. Kalau drama sebagai naskah
dipentaskan, tokoh itu akan diperagakan seorang pelaku atau
aktor. Pada saat itu, karakteristik dari karakter-karakter akan
semakin jelas dan hidup daripada karakteristik tokoh dalam prosa
fiksi. Dalam drama gambaran tentang tokoh-tokoh cerita akan
lebih jelas dan konkret, juga akan leboh hidup. Hal tersebut karena
dalan drama tokoh-tokoh itu ditampilkan secara jelas, dapat dilihat
bentuk tubuhnya, dapat diperhatikan gerak-geriknya, dapat dilihat
mimik atau gerak raut mukanya, bahkan dapat didengar suaranya.
Seperti halnya dalam prosa, dalam drama pun terdapat tiga jenis
tokoh bila dilihat dari sisi keterlibatannya dalam menggerakkan alur,
yaitu tokoh sentral, tokoh bawahan, dan tokoh latar. Tokoh sentral
merupakan tokoh yang amat potensial menggerakkan alur. Ia
merupakan pusat cerita, penyebab munculnya konflik. Sedangkan
tokoh bawahan merupakan tokoh yang tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap perkembangan alur, walaupun ia terlibat
juga dalam pengembangan alur itu. Sedangkan tokoh latar
merupakan tokoh yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap
pengembangan alur. Kehadirannya hanyalah sebagai pelengkap
latar, berfungsi menghidupkan latar.
d) Dialog atau Percakapan
S. Effendi dalam Liberatus berpendapat bahwa ciri utama sebuah
drama adalah dialog. Hal tersebut menandakan pentingnya dialog
dalam drama. Terdapat beberapa macam fungsi dialog dalam drama,
di antaranya yaitu:
(1) Melukiskan watak tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.
(2) Mengembangkan dan menggerakan plot serta m enjelaskan isi
cerita drama kepada pembaca atau penonton.
(3) Memberikan isyarat peristiwa yang mendahului.
(4) Memberikan isyarat peristiwa yang akan datang.
(5) Memberikan komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi
dalam drama tersebut.
Ada dua sifat yang dimiliki oleh dialog, yaitu estetis dan alat
teknis. Sifat estetis terlihat pada saat menyusun dialog. Menyusun
dialog hendaknya tetap memperhatikan keindahan bahasa tidak
vulgar dan bombastis. Keindahan bahasa atau ketepatan bahasa
akan berpengaruh terhadap keindahan seluruh lakon. Alat teknis,
maksudnya dialog ini memiliki fungsi terentu dalam keseluruhan
lakon. Untuk itu, dialog harus memiliki sifat komunikatif dan
mudah ditangkap maknanya oleh pembaca atau penonton.
e) Latar atau Setting
Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam drama, yaitu
kesatuan gerak (unity of action), kesatuan waktu (unity of time), dan
kesatuan tempat (unity of place). Berdasarkan hal itu, latar belakang
tempat dan waktu dalam drama itu sangat penting. Latar belakang
tempat dan waktu inilah yang sering disebut latar atau setting.
Penjelasan bagaimana suasana, tempat, dan waktu biasanya
dalam naskah drama dituliskan. Bila drama itu dipentaskan, hal-
hal tersebut diwujudkan dalam bentuk tata panggung, tata lampu, dan
tata suara/bunyi.
f) Petunjuk Pengarang
Bagian lain yang ada dalam naskah drama adalah petunjuk
pengarang, yaitu bagian yang memberikan penjelasan kepada
pembaca atau kru pementasan mengenai keadaan, suasana,
peristiwa, perbuatan dan sifat tokoh. Yang ada dalam kurung dan
yang ditulis dengan huruf kapital adalah petunjuk pengarang.
Bagian naskah lainnya adalah prolog, yaitu bagian naskah yang
ditulis pengarang pada bagian awal, yang merupakan pengantar
naskah yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan atau
pendapat pengarang tentang cerita yang akan disajikan. Keterangan
itu dapat mengenai masalah, gagasan, pesan, jalan cerita, latar
belakang cerita, tokoh ceria, dan lain-lain yang diharapkan dapat
membantu pembaca memahami, menghayati, dan menikmati cerita.
Selain itu ada bagian lain dari drama, yaitu epilog. Epilog berisi
kesimpulan pengarang mengenai cerita. Jadi ada di belakang. Baik
prolog maupun epilog dalam naskah drama sekarang sudah jarang
sekali disertakan oleh pengarang. Pengarang masa kini lebih
memberi kebebasan pembaca atau penonton hingga mereka
merasa tak perlu menyertakan pendapat, sikap, kesim pulan
pengarang tentang karyanya.
g) Gerak atau Action
Terdapat tiga komponen ketika naskah drama dipentaskan, yaitu
naskah drama, pelaku atau aktor, dan penonton (audience). Gerak
atau action dalam drama merupakan ekspresi dari aktivitas para
tokoh dalam drama tersebut. Melalui gerak, penonton akan dapat
menafsirkan secara konkret watak dari masing-masing tokoh.
Selain itu, juga dapat menikmati rangkaian peritiwa yang dijalin
dalam drama tersebut secara nyata. Dalam drama terdapat istilah
mimik, pantomimik, dan blocking. Mimik adalah gerak raut muka
atau gerak wajah. Pantomimik adalah gerak anggota tubuh yang
lain, misalnya gerak tangan, kaki, dan sebagainya. Blocking
adalah posisi aktor di atas pentas. Gerak-gerak tersebut harus
ditampilkan secara efektif dan selektif, jangan sampai terjadi gerak
itu berlebih-lebihan (over acting).
h) Tata Busana dan Tata Rias
Tata busana dan tata rias akan memperkuat kesan dan watak
yang ditampilkan oleh seorang aktor. Fungsi tata busana dan tata rias
adalah:
(1) menunjukkan latar belakang sosial atau tingkat sosial tokoh;
(2) menunjukkan usia tokoh; dan
(3) menunjukkan latar belakang geografis dan kebudayaan tokoh.
i) Tata Panggung
Tata panggung merupakan gambaran di mana peristiwa dalam
drama itu terjadi yang diwujudkan secara jelas di atas panggung.
Benda-benda yang dipakai untuk melengkapi dekorasi panggung
dan membantu seluruh proses pementasan disebut propertis.
j) Tata Bunyi dan Tata Lampu
Tata bunyi dibedakan atas efek bunyi dan musik. Kedua-duanya
memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk menghidupkan suasana
dalam drama. Yang termasuk dalam efek bunyi adalah bunyi
angin, bunyi air, bunyi hujan, dan sebagainya. Musik mampu
membangkitkan imajinasi penonton sehingga penafsiran terhadap
suasana cerita lebih tepat. Tata lampu memiliki dua peranan, yaitu
penyinaran dan pencahayaan. Sebagai sebuah penyinaran, tata
lam pu berfungsi memproduksi sinar pentas agar situasi pentas
tidak gelap. Selain itu, juga berfungsi mengubah adegan satu ke
adegan lain. Sedangkan sebagai sebuah pencahayaan, tata
lampu mampu menciptakan efek dramatik. Tata lam pu akan
mem bantu imajinasi penonton untuk memasuki situasi lakon yang
romantis, yang tragis, yang bergolak, dan sebagainya.
2) Unsur Ekstrinsik
Di atas kita telah membicarakan unsur intrinsik yang membangun karya
sastra dari dalam, berikut ini akan dipaparkan unsur ekstrinsik, ialah unsur
luar yang dapat menjadi bahan pengarang dalam menciptakan karya
sastra atau menjadi pertimbangan bagi pembaca, antara lain biografi
pengarang, pemikiran, dan unsur sosial budaya masyarakatnya (Wellek &
Warren, 1989: 82-153).
a. Biografi Pengarang
Menurut Wellek & Warren penyebab lahirnya suatu karya sastra
(termasuk drama) adalah pengarangnya sendiri. Itulah sebabnya
biografi sang pengarang dapat dipergunakan untuk menerangkan dan
menjelaskan proses terciptanya suatu karya sastra. Biografi pengarang
dianggap dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan
karya sastra atau sejauhmana biografi pengarang dapat memberi
masukan tentang penciptaan karyanya.
b. Pemikiran
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai
pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Dengan kata lain
sastra sering dianggap untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran
yang hebat, baik pemikiran psikologis ataupun falsafat.
Secara langsung ataupun melalui kiasan-kiasan dalam karyanya,
kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia menganut aliran
filsafat tertentu, atau mengetahui garis besar ajaran paham-paham
tersebut.
C. Sosial Budaya Masyarakat
Unsur ekstrinsik lain yang paling banyak dipermasalahkan adalah
unsur yang berkaitan dengan biografi pengarang yang menyangkut
latar sosial budaya masyarakat yang terkait dengan karya sastra. Hal
tersebut karena adanya hubungan timbal balik antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat. Hubungan timbal balik itu di antaranya: (1)
menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang
bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping
mempengaruhi isi karya sastranya, yang disebutnya sebagai konteks
sosial pengarang; (2) menyangkut sejauh mana karya sastra dianggap
sebagai pencerminan keadaan masyarakat, yang disebutnya sebagai
sastra sebagai cermin masyarakat; dan (3) menyangkut sampai
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan
sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.
c. Contoh Kritik Sastra Drama
Contoh Kritik Sastra Drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami?" Karya Seno
Gumira Adjidarma
Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” karya Seno Gumira Ajidarma
merupakan naskah drama tiga babak, yang dikemas dan diangkat dari
permasalahan di Jakarta. Kumpulan drama tersebut memaparkan sebuah kisah
nyata yang disajikan dalam dunia rekaan. Peristiwa ini menimbulkan
penderitaan bagi warga akibat tindak kerusuhan yang terjadi dan konflik sosial
antara pemerintah, gerilyawan, pejabat yang ingin berkuasa dan warga Jakarta.
Masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan naskah drama ini yaitu adanya
pemerkosaan, penculikan, penganiayaan masyarakat Jakarta yang dilakukan
oleh orang yang ingin menguasai negara Indonesia. Dibuktikan dengan kutipan
berikut ini:
IBU
Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika
sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang
disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana
orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu.
(Ajidarma, 2001: 8).
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja.
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil
menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es.
Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan? (Ajidarma, 2001: 26).
Naskah drama ini tokoh yang dimunculkan hanya seorang ibu dan bapak
bercerita tentang anaknya yang diculik oleh seorang pemerintah karena
kekritisan pemikiran yang dimiliki oleh anaknya, anaknya itu bernama Satria.
Naskah ini dikarang pada masa penculikan aktivis sekitar tahun 1997/1998
pada masa Pemerintahan Orde Baru. Satria digambarkan sebagai seorang
anak yang manja, dan sangat dekat dengan ibunya. Kemanjaan itu muncul
karena Satria adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, akan tetapi ia memiliki
pemikiran yang kritis dan tajam. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini :
BAPAK
Kurus dan sakit-sakitan. Tapi pikirannya tajam (Ajidarma, 2001: 24).
BAPAK
Dia kan lebih dekat sama kamu bu!
IBU
Yah, anak itu, sudah segede itu masih suka cerita sambil tidur dipangkuanku.
BAPAK
Anak mami!
IBU
Memang anak mami! Cerita macam-macam hal sambil tiduran. Impian-
impiannya, harapan-hrapannya, kekecewaannya, kepahitannya. Dia memang
peduli sekali dengan politik. Aku sendiri nggak suka ngerti omongannya. Aku
pernah bilang, hati-hati dengan politik. Kubilang “kamu datang dengan pikiran-
pikiran hebat, tapi orang bisa menyambut kamu dengan pikiran ingin
menyembelih. Dia bilang “politik yang dewasa tidak begitu bu. Setiap orang
harus mau mendengar pikiran orang lain. “aku bilang lagi, “pokoknya hati-hati,
di negeri ini politik selalu ebrarti kekerasan, bukan pemikiran.” (Ajidarma, 2001:
28).
Latar ceritanya berlangsung di sebuah ruangan di rumah mereka. Pada suatu
malam, pasca penculikan aktivis menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto.
Mereka memperbincangkan nasib anaknya dan berbagai kondisi lainnya dari
pukul 22.00 hingga 01.00 pagi sampai mereka tidak bisa tidur. Dalam drama ini
tokoh Bapak digambarkan memakai sandal kulit silang, ibu berselop tutup.
Bapak menonton TV, ibu membaca buku. Mereka sudah berusia paruh baya
sekitar 50-an, Bapak mengenakan kaos oblong putih dan sarung, sedangkan
ibu mengenakan kain dan kebaya Sumatera.
Melalui dialog kedua tokoh utama ini, munculah sejumlah karaker yang dapat
dikategorikan sebagai tokoh tambahan dalam drama ini. Tokoh-tokoh tersebut
antara lain:
o Satria (anak bungsu mereka yang hilang diculik karena pemikirannya yang
kritis terhadap penguasa)
o Si Mbok (orang tua yang mengalami trauma terhadap peristiwa pembantaian
tiga puluh tahun yang lalu)
o Para tentara dan komandan (yang melakukan tindak penculikan terhadap
para aktivis sebagai bentuk melaksanakan perintah atasan guna
mengamankan negara)
o Penguasa (yang mengidentikan dirinya sebagai negara)
54 Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional J
o Saras (pacar Satria)
o Ibu Saleha (ibu Saras, calon besan tokoh Ibu dan Bapak)
o Yanti (orang yang memberikan kaos Hard Rock Cafe kepada Satria).
Tokoh Ibu dan Bapak dideskripsikan oleh pengarang sebagai mahapeserta
didik yang pernah ikut mogok makan dan demonstrasi. Hal ini dijelaskan pada
kutipan berikut.
BAPAK
Apa kamu tidak keras kepala? Siapa dulu yang mogok makan?
IBU
Yah, kan itu masih muda.
BAPAK
Waktu sudah tua juga! Siapa yang bawa poster di depan kantor menteri
wanita?
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok menterinya diam saja
(Ajidarma, 2001: 25).
Keadaan keluarga pada naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”
merupakan gambaran sebuah kelurarga yang hangat, harmonis serta penuh
kasih sayang. Hal ini dibuktikan pada kutipan dialog berikut ini :
IBU
Kalau satria bisa bertahan, kenapa aku ibunya tidak? Tapi aku merasa seolah-
olah ia masih berada di sini. Aku masih selalu menyiapkan sarapannya setiap
hari, siapa tahu dia pulang. Kamu tahu pak, dia selalu sarapan roti, pakai telur
isi ceplok setengah matang dilapisi beef bacon yang kalau dia iris lantas
kuningnya meleler memenuhi piringnya. Lantas ia sapu dengan rotinya itu.
Minum kopi susu. Hampir tidak pernah bosan ia dengan telur. Tapi tidak pernah
ia jerawatan pak. Tahun belakangan ia sering tidak pulang, tapi paling lama
juga dua- tiga hari, itu pun selalu menelpon ke rumah. Sibuk rapat katanya.
Atau demo ini-itu. Aku selalu menyediakan vitamin karena tubuhnya kurus
begitu. Tapi semangatnya itu pak, kalau sudah ngomong, waduh, matanya
berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan dalam penderitaan (Ajidarma, 2001: 24).
Tema drama ini yaitu mengenai kegelisahan kedua orang tua Satria yang
menunggu kembalinya Satria putra bungsu mereka yang hilang karena kasus
penculikan. Kedua orang Satria itu mempertanyakan apakah negara
(penguasa) berhak melakukan pembungkaman para pengkritiknya dengan cara
penculikan melalui aparatur negara?. Alur yang terdapat dalam naskah drama
ini yaitu menggunakan alur campuran, dimana pada awal cerita ada pada masa
sekarang, namun inti dari dialog ibu dan bapak menceritakan pada masa lalu.
Sudut pandang yang dipakai pengarang dalam drama ini yaitu menggunakan
sudut pandang orang ketiga. Amanat yang disampaikan pada naskah drama ini
yaitu bahwa kita harus tetap menegakan keadilan dan kebenaran terutama
untuk kepentingan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara.
Lewat drama ini, pengarang telah melakukan konstruksi ideologis atau formasi
ideologi terhadap kelompok dominan yang dalam konteks kehidupan sosial
politik Indonesia yaitu pemerintah Orde Baru, pemerintahan Soeharto yang
neo-fasisme militer. Konstruksi yang dibangun atau proses strukturasi yang
dilakukan oleh drama ini yaitu berupa counter hegemoni atau resistensi
terhadap pihak penguasa.
Meski demikian drama ini tidak mendapat pelarangan atau pembredelan seperti
yang terjadi pada sejumlah karya sastra lainnya (seperti yang terjadi pada
pengarang Lekra) mengingat Seno Gumira Ajidarama adalah pengarang
hegemonik dalam kesusastraan Indonesia. Selain itu, drama bersifat imajinatif
bukan berita yang faktual.
Jika dilihat dari segi sosial drama ini menggambarkan keadaan pemerintah
yang otoriter, tidak berpihak kepada rakyat hanya mementingkan kekuasaan
demi kelompok-kelompok yang merasa dirinya sebagai negara.
Dari segi hukum drama ini tidak mencerminkan dan menerapkan pancasila dan
UUD sebagai landasan negara Indonesia. Mereka dipaksa untuk sependapat,
jika ada yang memiliki pendapat yang sedikit menentang terhadap kekuasaan
pemerintahan maka pemerintah tidak akan segan-segan menangkap ataupun
menculik orang tersebut. Bagi pemerintahan orang yang memiliki pemikiran
kritis itu sangatlah berbahaya. Berikut kutipan yang menjelaskan tentang hal ini.
BAPAK
Kritis. Kritis itu berbahaya bagi Negara.
IBU
Lho, kritis itu berguna untuk Negara.
IBU
Yang namanya kritis itu, di zaman apapun, di Negara manapun selalu berguna.
Kenapa dianggap berbahaya?
BAPAK
Pada dasarnya sikap kritis memang berguna untuk Negara, tapi yang
menganggap berbahaya ini sebetulnya bukan Negara, melainkan orang-orang
yang me-ra-sa di-ri-nya adalah Negara! (Ajidarma, 2001: 15).
Dari segi moral penculikan tidak mencerminkan keprimanusiaan dan keadilan,
karena mereka merenggut kebebasan para aktivis menyuarakan pendapatnya.
Selain itu, mereka juga melakukan tindakan kekerasan terhadap para aktivis
yang diculik. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut.
BAPAK
Mereka bertanya sambil mengemplang. Bertanya sambil menyetrum. Mereka
menginginkan jawaban seperti yang mereka kehendaki. Interogasi kok seperti
itu. Maksa! Dan satria itu orangnya ngeyelan. Mana mau dia ngaku meski
disakiti
BAPAK
Kamu harus siap dengan penderitaan. Orang-orang yang dilepaskan bercerita
bagaimana mereka bukan Cuma ditanyai sambil dikemplang, ditanyai sambil
diestrum. Belum bener juga lantas kepalanya dimasukkan ke air sampai
mereka megap-megap. Rata-rata pengalamannya hampir sama (Ajidarma,
2001: 25).
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil
menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es.
Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan? (Ajidarma, 2001: 26).
Dari segi politik drama ini menggambarkan keadaan pemerintahan orde baru
yang penuh kekuasaan dibandingkan dengan masa pemerintahan sekarang
yang demokratis sehingga orang bebas berpendapat.
Dari segi pendidikan naskah drama ini dapat dijadikan sebagai bahan ajar,
karena dalam cerita ini para tokoh merupakan sosok yang pernah mengenyam
pendidikan perguruan tinggi sehingga mereka memiliki pemikiran-pemikiran
yang kritis terhadap apa yang terjadi. Diharapkan bagi para pembaca dapat
melihat segi positif dari tokoh Satria yang memiliki pemikiran kritis, agar
pembaca tidak merasa takut ataupun khawatir jika mereka ingin
mengungkapkan pendapat mereka.
Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” karya Seno Gumira Ajidarma
ini dikaji dengan menggunakan jenis kritik historis, yaitu kritik sastra yang
mengadakan survei terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah
tertentu, ataupun menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta
menunjukkan hubungannya dengan kelompok tersebut, dan sebagainya
(Tarigan,1984: 206).
Dalam pengkajiannya kami menyoroti tentang peristiwa-peristiwa pada tahun
1997-1998 yaitu peristiwa penculikan para aktivis ketika akan diadakannya
Pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1997 dan Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 1998. Bagaiman konflik-konflik terjadi akibat kekuasaan politik.
Orang-orang yang berani menentang kekuasaan itu tidak segan-segan dihabisi,
mereka diculik dan diasingkan. Hal ini tercantum pada sumber lain, yakni
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara.
Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang
dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini (Wikipedia,
Penculikaan Aktivis 1997/1998).
Dalam drama ini aktivis yang belum diketahui keberadaannya digambarkan
sebagai Satria yaitu anak dari tokoh Bapak dan Ibu. Hal ini tergambar pada
kutipan dialog berikut:
BAPAK
Gila! Mereka menculik anak kita! Bagaimana aku bisa lupa? (Ajidarma, 2001:
21).
Penulis mengkaji dengan pendekatan historis karena pengarang pernah
menyaksikan baik secara langsung atau tidak terhadap peristiwa pada tahun
1997/1998, dikuatkan dengan latar belakang pengarang yang pernah menjadi
seorang waratawan pada salah satu surat kabar di Jakarta. Latar belakang
yang menunjang peristiwa ini lah pengarang berhasil menciptakan dan
menggarap nasakah drama yang bertajuk tentang kekerasan dan gambaran
peristiwa tahun 1997/1998. Meskipun karya sastra bersifat imajinatif, namun hal
itu tidak menjadikan pengarang menciptakan karya sastra semata-mata bersifat
imajinatif, akan sutau hal kejadian yang dialami atau dirasakan pengarang
melalui pengalamannya untuk menciptakan karya sastra tersebut. Naskah
drama ini merupakan bentuk kritikan terhadap pemerintahan masa Orde Baru
yang dinilai ada yang pro dan kontra. Pengarang menggambarkan kondisi
keluarga yang menjadi salah satu korban penculikan pada masa pemerintahan
tersebut, agar pemerintah menyadari betapa berharganya sebuah keutuhan
dalam berkeluarga.
Mengenai pengarangnya sendiri yaitu Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di
Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Puisinya
yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy
Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan
esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan
Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-
buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan. Pada tahun
yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar
Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama
Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga
menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah
berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan dijalani
Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.Selama menganggur, Seno kembali
ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut
Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah
sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali
diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi
majalah hiburan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak,
kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi.Atas prestasinya di
bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan
dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari
majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari
harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran
Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga
Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya
Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan
cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write
Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997).
D. Aktivitas Pembelajaran
1. Pendahuluan
Silakan Anda pahami tujuan, kompetensi, dan indikator pencapaian
kompetensi pada kegiatan pembelajaran ini supaya pembelajaran lebih terarah
dan terukur.
2. Curah Pendapat
Pada kegiatan ini Anda diminta untuk menyebutkan berbagai masalah yang
dihadapi dalam pembelajaran, khususnya pada saat menulis kritik sastra.
Sebagai langkah awal dan agar kegiatan curah pendapat berjalan dengan baik,
Anda dapat mengisi pertanyaan berikut ini
3. Telaah Materi
Masing-masing Anda dibagi ke dalam empat kelompok besar. Masing-masing
anggota kelompok membentuk empat kelompok baru yang disebut kelompok
ahli, yaitu Kelompok Hakikat kritik sastra, Kelompok Kritik Sastra Puisi,
Kelompok Kritik Sastra Prosa dan Kelompok kritik Sastra Drama. Setelah itu,
setiap kelompok membaca, mengkaji, dan menelaah sumber belajar yang
berhubungan dengan hal yang ingin dipahami tersebut. Adapun sumber belajar
yang dirujuk adalah bahan bacaan yang terdapat pada bagian uraian materi
dan sumber belajar lainnya yang relevan.
Setelah setiap kelompok ahli mengkaji dan menelaah masing-masing sumber
belajar yang terkait, mereka diminta kembali ke kelompok asal. Di kelompok
asal silakan Anda kerjakan LK 1.1, LK 1.2, LK 1.3, dan LK 1.4 sebagai laporan
hasil diskusi.
4. Presentasi Materi
Setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya dan
kelompok lain menanggapinya. Setelah selesai, guru pemandu
memberikan penguatan. Agar pembelajaran lebih menarik dan kontekstual,
guru pemandu memperlihatkan tayangan pementasan drama atau meminta
beberapa peserta untuk mementaskan penggalan drama. Penguatan guru
diarahkan berdasarkan tayangan atau pementasan penggalan drama tersebut.
5. Latihan Menulis Kritik Sastra
Bacalah kembali contoh kritik sastra pada bagian materi. Setelah itu, silakan
Anda berlatih menulis kritik sastra dan kerjakan di LK 1.5, LK 1.6, dan LK 1.7.
Kegiatan ini dapat Anda lakukan berkelompok (maksimal empat orang per
kelompok).
• Pernahkah Anda menulis kritik sastra, baik puisi, prosa, maupun drama?
• Apakah Anda mengalami kesulitan dalam hal melakukan kegiatan tersebut?
Coba Anda sebutkan apa yang menyebabkannya?
• Bagaimanakah teknik menulis kritik sastra?
Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia Kelompok Kompetensi Profesional J 61
6. Presentasi
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil latihannya dan kelompok
lain menanggapi. Setelah itu, fasilitator memberikan penguatan. Agar
pembelajaran lebih menarik dan kontekstual, sebelum memberikan
penguatan, fasilitator meminta peserta untuk membacakan dan memerankan
karya sastra yang dikritiknya tersebut.
7. Penutup
Setelah mengerjakan semua LK, Anda dapat mencocokan jawaban dengan
kunci jawaban yang tersedia untuk mengukur dan menilai ketuntasan
pembelajaran. Langkah terakhir silakan Anda melakukan kegiatan refleksi
dengan menjawab pertanyaan pada bagian umpan balik dan tindak lanjut.
Rangkuman
Secara etimologis, istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani
yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein
”menghakimi, membanding, menimbang”; kriterion yang berarti
”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”
Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik. Secara
harafiah, kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki
karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan,
memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.
Fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1. Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat
membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini
tersirat dalam ungkapan Rene wellek “karya sastra itu tidak dapat
dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan
prinsip-prinsip kritik sastra.”.
2. Untuk perkembangan kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra
membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan
menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan
menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3. Sebagai penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan
penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan
(mengsnalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar
masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi
pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra.
Untuk menulis kritik sastra penulis harus memahami
tahapan kritik yang sistematis
dan operasional sebagai berikut :
1. Tahap Deskripsi karya sastra merupakan tahap kegiatan mamaparkan
data apa adanya, misalnya mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau
novel berdasarkan urutan cerita, mendeskripsikan nama-nama tokoh
utama dan tokoh-tokoh bawahan yang menjadi ciri fisik maupun
psikisnya, mendata latar fisik ruang dan waktu atau latar sosial
tokoh-tokohnya,dan mendeskripsikan alur setiap bab atau setiap episode.
2. Tahap Penafsiran karya sastra merupakan penjelasan atau
penerangan karya sastra. Menafsirkan karya sastra berarti menangkap
makna karya sastra, tidak hanya menurut apa adanya, tetapi menerangkan
juga apa yang tersirat dengan mengemukakan pendapat sendiri.
3. Tahap Analisis merupakan tahap kritik yang sudah menguraikan
data. Pada tahap ini kritikus sudah mencari makna dan membanding-
bandingkan dengan karya sastra lain, dengan sejarah atau dengan
yang ada di masyarakat.
4. Tahap Evaluasi merupakan tahap akhir suatu kritik sastra.
Dalam suatu evaluasi dapat dilakukan melalui pujian, seperti berbobot,
baik, buruk, menarik, dan unik. Sebaliknya, dapat pula dilakukan
pencemohan, ejekan, dianggap jelek dan tidak bermutu, serta tidak
menyentuh nilai-nilai kemanusiaan. Jadi kritik sastra mencapai
kesempurnaan setelah diadakan evaluasi atau penilaian.
Berdasarkan pendekatannya kritik sastra dibagi ke dalam empat
jenis yakni kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
Kritik sastra puisi mengacu pada struktur pembangun puisi, yaitu diksi,
gaya bahasa, pencitraan, dan persajakan. Kritik sastra prosa mengacu
pada sruktur pembangun prosa, yaitu setting, gaya bahasa, penokohan
dan perwatakan, alur, titik pandang, tema, dan amanat. kritik sastra
drama mengacu pada struktur pembangun drama, yaitu alur, babak
dan adegan, tokoh atau karakter, dialog, latar, petunjuk pengarang,
gerak action, tata panggung, dan tata bunyi.
Menulis kritik sastra merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru bahasa Indonesia. kompetensi ini tidak akan
dimiliki jika tidak memilki atau memahami konsep tetang sastra secara
utuh, baik puisi, prosa, maupun drama. Oleh karena itu, pengembangan
materi dan pembelajaran pada modul ini diarahkan untuk mempelajari
hal tersebut. Penjelasan konsep dan pembelajaran dalam modul ini
diharapkan dapat membangkitkan kembali pemahaman tehadap
konsep puisi, prosa, dan drama Selain itu, agar pembelajaran berlatih
menulis kritik lebih mudah, modul ini memberikan contoh kritik
sastra puisi, prosa, dan drama. Dengan tuntasnya mempelajari
materi dalam modul ini, Anda diharapkan tidak lagi menjadi
penghambat di dalam pengembangan pembelajaran efektif
di kelas. Apalagi materi tersebut tidak bisa hindari. Guru
sepatutnya mendapatkan pemahaman terhadap kompetensi
tersebut secara ideal sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
http://greanfiction.blogspot.co.id/2014/04/kritik-sastra-puisi-aku.html
http://imehhatimah.blogspot.co.id/2013/06/kritik-historis-pada-naskah-drama.html)
https://niningpujiastuti.wordpress.com/2012/12/28/pengertian-kritik-sastra/
http://id.shvoong.com/social-sciences/1687586-seno-gumira-
ajidarma/#ixzz1wEggdc30/29/05/2012/12:45
I. G. A. K. Wardani. 1984. Pengajaran Apresiasi Prosa. Departemen P dan K.
Luxemburg, Jan Van dkk, 1986. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick Hartoko).
Jakarta: Gramedia.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman Group LTD.
Padmodarmaya, Pramana. 1990. Pendidikan Seni Teater Buku Guru Sekolah Dasar .
Jakarta: Depdikbud.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta: Pustaka Jaya.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Adang : Sridharma.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.
Sudjiman, Panuti. (Peny). 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumiyadi. 1992. “Drama sebagai Seni Sastra dan Pertunjukan” dalam Mimbar
Pendidikan Bahasa dan Seni No. XVIII.
Tarigan, Henri Guntur. 1984. Prisip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi.
Flores-NTT: Nusa Indah.
Tjahjono, Liberatus Tengsoe dan Heny Subandiyah. 2003. Pengembangan
Kemampuan Membaca Sastra Bahan Pelatihan Terintegrasi Guru SMP.
Jakarta: Depdiknas, Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah.
Waluyo, Herman J.. 2001. Teori Drama dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia.
www.pustaka.com/temaskripsi/naskah+drama+mengapa+kau+culik+anak+kami/29/05/2012/14:18
Zaidan, Abdul Razak. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka
GLOSARIUM
drama: bentuk karya sastra yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan
manusia melalui gerak percakapan di atas panggung ataupun suatu karangan
yang disusun dalam bentuk percakapan dan dapat yang dipentaskan.
ekspresi: mengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan
atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb)
karakter : ciri, sifat diri, akhlak atau budi pekerti, kepribadian dari
seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik.
penokohan adalah permasalahan bagaimana cara menampilkan tokoh
point of view adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
struktur lahir puisi: metode puisi dan struktur fisik puisi
dramatic-action, adalah dialog yang mampu menimbulkan pertentangan di antara
tokoh protagonis dan tokoh antagonisnya
klimaks/krisis, titik balik yang terjadi pada tokoh protagonis dan pada titik inilah
biasanya perhatian penonton mencapai puncak emosinya
konflik, merupakan pertentangan antara dua kekuatan atau dua tokoh dalam drama
yang dapat terjadi dalam diri seorang tokoh, antara seorang tokoh dengan
masyarakatnya dan antara dua orang tokoh yang masing-masing mencoba
memaksakan kehendaknya kepada orang lain
penokohan, adalah proses penampilan tokoh-tokoh dengan pemberian watak, sifat,
atau kebiasaan tokoh pemeran dalam drama
setting (b. Inggris), dialihbasakan menjadi latar, adalah segala keterangan mengenai
waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam drama
tipografi adalah bentuk/susunan larik-larik dalam puisi
Tokoh, adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam
berbagai peristiwa di dalam cerita drama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar