Linguistik
fungsional dipelopori oleh Roman Jakobson dan Andre Martinet, kehadirannya sangat
berarti dalam upaya menjembatani kesenjangan (gap) antara linguistik struktural
Amerika dan Eropa. Linguistik struktural (Eropa) banyak dipengaruhi oleh
gagasan fungsi-fungsi linguistik yang menjadi ciri khas aliran Praha. Trubeckoj
terkenal mengembangkan metode-metode deskripsi fonologi, maka R. Jakobson
terkenal karena telah menyatakan dengan pasti pentingnya fonologi diakronis
yang mengkaji kembali dikotomi-dikotomi F. de Saussure antara lain dikotomi
yang memisahkan dengan tegas sinkronis dan diakronis.
Andre Martinet
banyak mengembangkan teori-teori aliran Praha. Dengan tulisannya tentang
netralisasi dan segmentasi. Pikiran-pikirannya telah memperkaya dan
mengembangkan studi linguistik, terutama fonologi deskriptif, fonologi
diakronis, sintaksis, dan linguistik umum, disamping ia menerapkan metode dan
linguistik modern dengan menaruh perhatian yang luar biasa pada kenyataan
bahasa aktual.
Gagasan Jakobson merupakan pengembangan dari pemikiran-pemikiran
aliran Praha. Selain fungsi linguistik sebagai ciri khas sekolah Praha, ia juga
menyoroti fungsi-fungsi unsur tertentu dan fungsi-fungsi aktivitas linguistik
itu sendiri. Jakobson memandang suatu tindak linguistik dari enam sudut, yaitu
(1) dalam hubungan dengan pembicara, (2) pendengar, (3) konteks, (4) kontak,
(5) kode, dan (6) pesan. Sehingga ia menemukan enam fungsi, yaitu:
1. Ekspresif, berpusat pada pembicara, yang ditujukan oleh
interjeksi-interjeksi;
2. Konatif, berpusat pada pendengar, yang ditujukan oleh vokatif
dan imperative;
3. Denotative, berpusat pada konteks, yang ditujukan oleh
pernyataan-pernyataan faktual, dalam pelaku ketiga, dan dalam suasana hati
indikatif;
4. Phatic, berpusat pada kontak, yang ditujukan oleh adanya jalur
yang tidak terputus antara pembicara dan pendengar. Misalnya, dalam pembicaraan
melalui telefon, kata-kata ‘hello, ya..ya…, heeh’ yang dipergunakan untuk
membuat jelas bahwa seseorang masih mendengarkan dan menunjukan jalur
percakapan tidak terputus;
5. Metalinguistik, berpusat pada kode; yang berupa bahasa pengantar
ilmu pengetahuan, biasanya berisi rumus-rumus atau lambang-lambang tertentu;
6. Puitis, berpusat pada pesan.
Selanjutnya gagasan dan
pandangan Jakobson lain adalah telaah tentang aphasia dan
bahasa kanak-kanak. Aphasia yang dimaksud adalah gejala
kehilangan kemampuan menggunakan bahasa lisan baik sebagian maupun seluruhnya,
sebagai akibat perkembangan yang salah. Gangguan afasik dapat dikelompokkan
menjadi dua, yakni:
1. Similarity disorders, yang mempengaruhi
seleksi dan subtitusi item, dengan stabilitas kmbinasi dan konsstektur yang
bersifat relative.
2. Contiguity disorders, yang seleksi dan
subtitusinya secara relative normal sedangkan kombinasi rusak dan tidak
gramatikal, urutan kata kacau, hilangnya infleksi dan preposisi, konjungsi, dan
sebagainya
Jakobson juga
menekankan pentingnya korelasi-korelasi fonologis sebagai seuntai
perbedaan-perbedaan arti yang terpisah. Menurut buku Jakobson dan
Halle Fundamentals of Language, 1956, menyatakan
ciri-ciri expressive, configurative, dan distinctive:
1. Expressive, meletakan tekanan pada bagian
ujaran yang berbeda atau pada ujaran yang berbeda; menyarankan sikap
emosi pembicara;
2. Configurative, menandai bagian
ujaran ke dalam satuan-satuan gramatikal, dengan memisahkan ciri kulminatif
satu persatu, atau dengan memisahkan membatasinya (ciri-ciri demarkatif);
3. Distinctive, bertindak untuk memperinci
satuan-satuan linguistik, dimana ciri-ciri itu terjadi secara serempak dalam
untaian, yang berujud fonem.
Fonem-fonem dirangkaikan
ke dalam urutan; pola dasar urutan serupa itu berujud suku kata. Dalam setiap
suku kata terdapat bagian yang lebih nyaring yang berupa puncak. Bila puncak
itu berisi dua fonem atau lebih, maka salah satu daripadanya adalah puncak
fonem atau puncak suku kata.
Tokoh lain dalam
linguistik fungsional adalah Andre Maertinet,
ia juga mengembangkan teori-teori
Sekolah Praha. Pikiran-pikiran Martinet
mengenai fonologi deskriptif, fonologi diakronis, sintaksis, dan linguistik
umum merupakan sumbangan pemikiran bagi linguistik modern. Fonologi sebagai
fonetik fungsional harus berdasarkan fakta-fakta dasar atau mengetahui
fungsi-fungsi perbedaan bunyi bahasa sebagaimana mestinya.
Martinet
mencurahkan perhatian pada fonologi diakronis, dengan mencoba membuat deskripsi
murni, dimana fonologisasi dan defonologisasi direkam, disertai keterangan
tentang perubahan-perubahan menurut prinsip-prinsip umum. Kriterium
interpretasi dasar diberikan oleh dua unsur yang berlawanan:
(1) efisiensi dalam komunikasi, dan
(2) tendensi pada upaya yang minimum.
Ia juga
menyatakan analisis fonem ke dalam ciri-ciri distingtif mengungkapkan adanya
korelasi-korelasi, dimana sebuah fonem yang terintegrasi dalam untaian
korelatif akan menjadi stabil. Ia telah mengembangkan gagasan artikulasi
rangkap yang menarik. Ucapan bahasa pertama-tama melalui suatu artikulasi
dalam monem-monem yang berupa unit-unit dasar gramatis yang
oleh para linguis Amerika disebut morphem. Sejumlah ujaran yang tak
terbatas dapat diidentifikasikan oleh monem-monem yang terbatas jumlahnya.
Setiap artikulasi melibatkan ekspresi dan isi. Monem adalah satuan dwimuka:
ekpresi dan isi. Bagi Martinet, konsep dasar analisis fonologi yaitu fonem
sedangkan bagi Jakobson yaitu ciri distingtif.
Martinet juga
menerapkan wawasan fungsionalnya pada sintaksis, dan telah mensintesakan
teori-teorinya itu dalam tulisan-tulisan yang ringkas dan seimbang: Elements
of General Linguistics, dan A Functional View of Language. Didalam karya tersebut dirumuskan dengan jelas perbedaan antara (i)
monem fungsional, seperti preposisi, kasus akhiran, yang konetif dan centrifugal yang
menunjukkan adanya hubungan diantara satu unsur dengan bagian ujaran; dan (ii)
monem pengubah, seperti satuan gramatikal artikel yang centripetal;
nilai tunggal atau jamak dan unsur-unsur yang dibutuhkan.
Martinet juga
menggarisbawahi juga fungsi sintaksis sebagai gagasan yang sentral. Gagasannya
ini berupa kelanjutan wawasan fungsional yang telah disarankan oleh Sekolah
Praha. Fungsi-fungsi bahasa dan fungsi-fungsi unsur linguistik sebagai suatu
sistem unsur-unsur atau struktur unsur-unsur, dipelajari untuk menjelaskan
perbedaan bahasa dengan sistem tanda buatan yang mungkin distrukturkan dalam
suatu cara yang sama tetapi tak dapat memiliki fungsi-fungsi yang sama seperti
bahasa. Bagaimanapun pandangan struktural itu dapat dirujukkan kembali dengan
pandangan fungsional, meskipun hal itu bagi Martinet adalah pelengkap logisnya.
Pilihan nama fungsional sebagai pengganti struktural, menunjukkan bahwa aspek fungsional
adalah paling membuka pikiran, dan bahwa hal itu tidak mesti dipelajari secara
terpisah dari yang lain.
Pada khasanah kebahasaan, bila memahami gagasan dan
pandangan linguistik Fungsional, maka aliran ini sangat mempengaruhi tata
bahasa dalam khasanah perkembangan linguistic sebelumnya, sekaligus membuka
cakrawala baru agar aspek fungsional menjadi pertimbangan penelitian bahasa.
Dengan menelurkan istilah fungsional, praktis landasan yang digunakan dalam
melihat bahasa berdasarkan fungsi, khususnya tataran fonologi, morfem, dan
sintaksis. Keunggulan aliran ini adalah kita dapat mengetahui bahwa setiap
fonem (bunyi) itu memiliki fungsi, sehingga dapat, membedakan arti. Setiap
monem (istilah Martinet) yang diartikulasikan memiliki isi dan ekspresi, dengan
begitu dapat dilihat fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar yaitu
sintaksis, aliran ini menekankan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat,
maksudnya unsur linguistik dalam sebuah kalimat dapat dijelaskan dengan merujuk
pada fungsi sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi, aliran ini
telah berhasil melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi dan
menginspirasi gagasan adanya relasi antara struktur dan fungsi bahasa.
Sementara dalam
dunia sastra, gagasan Jakobson tentang enam fungsi bahasa menjadi pijakan dalam
menelaah karya sastra. Idenya tersebut melahirkan istilah model komunikasi
sastra, yang memusatkan pada pesan yang terkandung dalam karya sastra. Model
ini banyak diadopsi untuk menggali fungsi bahasa dalam wacana baik wacana
ilmiah maupun non ilmiah, sastra maupun non sastra.
Dalam kebahasaan,
aliran ini tentunya memiliki beberapa titik lemah,diantaranya gagasan
fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen fungsional untuk menentukan
makna dalam penelitian bahasa, seperti pada tataran sintaksis hanya menyebutkan
adanya fungsi dalam setiap struktur bahasa, namun tidak menjelaskan terminologi
apa saja yang tercakup di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun kalimat
yang benar berdasarkan fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada tataran
fonologi dan morfologi. Jadi, kelemahan aliran ini adalah tidak mampu
menguraikan fungsi unsur linguistik lebih rinci, khsususnya . pada tataran
sintaksis. Dalam struktur kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan komponen
apa saja yang tercakup dalam aspek fungsional pada kalimat. Sebagaimana kita
ketahui ada fungsi lain dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi
pragmatis.
Sementara dalam
dunia sastra, fungsi bahasa yang dinyatakan oleh Jakobson, ketika diterapkan dalam
menganalisis karya sastra memiliki kekurangan. Model komunikasi sastra Jakobson
tidak memperhatikan potensi kebahasaan yang lain. Model mengabaikan relevansi
sosial budaya. Padahal, sosial budaya memainkan peranan penting dalam memahami
makna bahasa, terlebih dalam karya sastra karena di dalamnya melibatkan aspek
sosio cultural yang sangat kental. Mengacu pada model komunikasi sastra, karya
sastra hanya bertumpu pada pesan yang disampaikan, padahal pemahaman karya
sastra sangat tergantung pada pemahaman pembaca. Adanya unsur keterkaitan
intertektualitas dan intratekstualitas dalam memahami karya sastra perlu
diperhatikan, karena setiap karya sastra tidak ada yang berdiri sendiri.
Lalu, bagaimana
aplikasi aliran ini dalam bahasa Indonesia? Ketika berbicara fungsi maka kita
harus memahami konsep fungsi dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bisa
jadi konsep yang ditawarkan oleh aliran ini tidak dapat diserap dalam semua
bentuk, struktur dan fungsi sesungguhnya dalam bahasa Indonesia. Sebagian kita
dapat memperhatikan contoh berikut ini:
Fonologi
|
Morfologi
|
Sintaksis
|
|
Me
+ tulis
Pe
+ tulis
|
Letusan
Gunung Merapi itu telah menewaskan 200 orang.
|
I.
Jika dilihat dari contoh
fonologi, penggunaan fonem /b/ pada kata dan /p/ pada
tidak mempunyai makna. Namun karena diposisikan bersama sebagai pasangan
minimal (minimal pairs), dimana keduanya daerah artikulasi yang sama yakni
bilabial, maka penggunaan fonem /b/ dan /p/ menjadi memiliki fungsi pembeda
makna.
II.
Dari aspek morfologi
dapat dilihat contoh penggunaan awalan Me- dan Pe-. Awalan me-tulis dan
pe-tulis memiliki fungsi pembeda. Me-tulis menjadi ‘menulis’ sebagai kata kerja
dan pe-tulis menjadi ‘penulis’. Penggunaan morfem bebas atau kata dasar yang
sama namun didahului oleh morfem terikat yang berbeda maka fungsinya pun
menjadi berbeda.
III.
Selanjutnya dari tataran
sintaksis, kalimat tersebut memiliki struktur yang benar. Jika disegmentasikan
kalimat itu menjadi /letusan gunung Merapi/, /menewaskan/, dan /200 orang/.
Pemenggalan struktur kalimat dilakukan
berdasarkan fungsi masing-masing unsur. Kemudian penerapan fungsi
bahasa menurut Jakobson dapat kita aplikasikan dalam analisis wacana baik
berupa teks maupun non-teks. Penerapan aliran fungsional dalam bahasa Indonesia
tidak sepenuhnya dapat diterima. Selain adanya konsep bahasa yang berbeda,
namun juga sulit mencari padanan istilah dalam bahasa Indonesia. Namun demikian
aliran ini sangat mempengaruhi dalam perkembangan tata bahasa bahasa Indonesia.
Dengan mengenal fungsional maka kita mengetahui fungsi bahasa bukan hanya
sebagai sistem ‘langue’ (istilah Sassure), tetapi juga dalam bentuk tuturan ‘parole’.
Dalam ranah
kesusasteraan, enam fungsi bahasa dapat dimanfaatkan untuk menelaah karya sastra.
Model komunikasi sastra yang lebih dikenal dengan model komunikasi Jakobson
dapat digunakan dalam kajian, puisi, novel, drama, dan hal lain yang
menggunakan bahasa. Jadi, sebagai pijakan awal dalam mengkaji bahasa baik dalam
sastra mapun linguistik, enam fungsi bahasa dapat diterapkan dalam analisis
bahasa Indonesia. Kendati demikian, sangat diperlukan adanya pengembangan
konsep dan gagasan yang dapat menjawab problematika kebahasaan secara tuntas.
Ø
Baik
Jakobson maupun Martinet menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang
bermakna yang memiliki fungsi. Bahasa merupaka semiotika sosial. Kirsten
(1991:160)
Ø
Linguistik
Fungsional merupakan gerakan linguistik yang beranggapan bahwa struktur
fonologis, gramatikal dan semantic ditentukan oleh fungsi yang dijalankan oleh
masyarakat dan bahwa bahasa itu sendiri memfunyai fungsi yang beraneka
ragam.Kridalaksana (2008:68)
Ø
Gagasan-gagasannya
merupakan pengembangan dari Aliran Praha.
Ø
Daya
tarik pemikiran fungsionalisme ini diadopsi oleh pemikiran-pemikiran dan
gagasan linguistik selanjutnya, seperti MAK Halliday.
Daftar Rujukan
1)
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Gramedia.
Jakarta.
2)
Kirsten, Malkmajaer. 1991. The Linguistics Encyclopedia.
Routledge. London & New York.
3)
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik. Dikbud. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar